Arina segera mengemasi barang-barangnya begitu suara bel pulang berbunyi. Gadis cantik itu dengan gerakan tergesa keluar dari bangkunya, berjalan cepat ke bangku lain yang berada di depan bangku guru. Chacha hampir saja mengumpat, tapi gadis dengan rambut gelombang panjang mencapai punggung tersebut hanya mengibaskan tangan untuk menyingkirkan sang teman.
”Gue ada rapat Teater, minggir-minggir!”
”Gak jadi pulang sama gue?” tanya Arina memelas, merasa kebahagiannya diruntuhkan begitu saja.
”Gak,” jawa Chacha galak, ”cukup kemarin lo bikin gue nyungsep, gak lagi.”
”Yah, Cha, itu kan gak sengaja.”
”Bodo amat! Lagian lo semangat banget sih naik motor, heran gue,” balas Chacha tak habis pikir lagi, ”SIM hasil nembak aja bangga.”
Arina berdecak kasar, menggeser kakinya dari bangku Chacha ke belakang. Ke tempat Lia yang sama sekali tak menoleh sejak tadi karena keributan di hadapannya. Gadis yang siang ini mengikat rambutnya sederhana itu jadi mendesah lelah begitu mata Arina terus berfokus siap menjadikannya mangsa.
”Ya,” panggil Arina pelan, ”lo kalau Senin kosong kan ya?”
”Enggak, penuh gue,” balas Lia asal, masih mengemasi buku-bukunya di atas meja, ”mau apa lo?”
”Lo kalau Senin kan gak ada OSN sama gak ada bimbel, gue niatnya mau nginep. Orang tua gue lagi ke Bandung tauk, jengukin Nini. Boleh? Lo buat seragam besok punya double kan ya?”
Lia menjatuhkan pandangannya dari ujung rambut Arina sampai ujung kaki gadis itu. Untuk tinggi, mereka hanya terpaut 1 cm dengan Arina 163 cm dari Lia 162 cm. Tidak masalah dengan rok karena Lia memang terbiasa membeli seragam dengan ukuran yang paling tidak masih longgar di tubuhnya, jika dilihat pun bentuk tubuh mereka hampir sama. Hanya saja Arina tampak lebih berisi pada bagian atas tubuhnya sedangkan Lia sebaliknya.
”Kebesaran gak ya Rin?”
”Enggak enggak, udah ayok pulang, gue bawa motor.”
”Motor?” Lia tampak menghentikkan pergerakannya untuk bangun. ”Lo bawa motor?”
Dengan semangat Arina mengangguk. ”Lo tenang aja, gue udah simulasi nganterin Mama kemarin ke Minimarket, gue udah bisa nyalain sein motor dengan benar, udah bisa nyebrang, gue udah punya SIM. Lagian rumah lo deket juga, jadi gak bakal nyungsep.”
”Naik Go-car aja Rin.” Hessa dari arah belakang menyahut. ”Nanti biar motor lo dibawa anak Basket.”
Arina menggeleng keras. ”Gak mau! Udah ayok, Ya!” ajaknya kembali bersemangat, meraih lengan Lia untuk memaksa gadis itu bangun dari bangkunya. ”Eli, mau ikut nginep di rumah Lia?” tanya Arina menyempatkan berdiri di sisi bangku Eli.
Gadis dengan wajah yang cenderung bulat di sisi depan segera mendongak, bibirnya yang agak naik menambah kesan lucu tersendiri bagi mata bulat dan hidung mancung mungil gadis itu. Ia sempat mengedipkan mata beberapa kali dengan pandangan bingung pada Arina dan Lia bergantian sebelum akhirnya menggeleng pelan. Rambutnya yang baru saja dipotong sedada tergerai tanpa pernak-pernik apapun, membuat ada sedikit sentuhan dewasa pada wajahnya.
”Gue udah minta jemput Ibu soalnya,” kata gadis itu pelan, kembali merunduk pada ponselnya, ”lain kali deh, Rin.”
”Oke-oke, hati-hati ya El pulangnya,” pesan Arina lebih dulu sebelum berlalu.
Eli beberapa kali tampak melirik, menatap kepergian Arina dan Lia yang sempat mendatangi bangku Chaerra dan Senya untuk diajak menginap bersama dengan pandangan sanyu. Suara Chaerra dan Senya yang pamit untuk pulang lebih dulu membuat Eli mengangguk dengan senyum kecil, melambai riang pada kedua gadis yang tampak sama-sama berwibawa itu. Entah kenapa jadi merasa bersyukur karena ia ada di kelas ini, dengan gadis-gadis hangat yang selalu melibatkannya dalam segala hal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Win Crown
Подростковая литератураRated: 15+ Mentahan cover from Pinterest Dialy life from XI-IPA5. Tentang 12 siswa laki-laki dengan 6 siswa perempuan dan kisah SMA mereka. Kalau kamu tanya apakah ini cerita tentang Ketua OSIS yang jatuh cinta? Mungkin saja. Kalau kamu tanya apakah...