30. Kelompok 3 dan 4

205 49 25
                                    

”Kayaknya... gue jatuh cinta.”

Senya, Hadi, Haikal, Hessa, dan Rendra tersedak oleh minuman yang baru saja mereka telan. Mata-mata dengan berbagai reaksi memandang Chacha yang kini duduk bertompa dengan tangan menerawang jauh. Eli sedikit melebarkan matanya, menoleh pada Chacha dengan kerjapan lucu ikut terkejut, begitu pula Xafier spontan menggerakkan kepala pada satu titik mengikuti yang lain.

”Jangan bilang Nathan!” Senya lebih dulu menyahut, menebak kemungkinan paling besar yang bisa terjadi.

”Jangan bilang Yoga!” Eli ikut membuka suara, mengabaikan kertas vanila di hadapannya.

”Jangan bilang Jeiden!” Haikal mengangkat tangannya sudah semangat sendiri walau berikutnya kakinya ditendang dari bawah meja cafe oleh Chacha.

”Denger ya! Gue segatel apapun sama Nathan atau Yoga, gue juga mikir-mikir kalik kalau beneran suka sama mereka tuh!” Chacha melotot, memandang Senya, Eli, dan Haikal bersamaan. ”Lagian, pacaran sama sekelas tuh banyak gak enaknya, mending gak usah.”

”Kayak lo pernah ngerasain aja,” cibir Hessa tak suka, ”peluang barengnya lebih gede tauk, Cha, lebih enak.”

”Cowok mah mana tau,” ujar Chacha dengan ekspresi berlebihan, ”nih denger ya, kalau pacaran terus putus, posisi sekelas tuh bakal awkward banget, duh gak bayangin gue, jadi mending skip aja deh.”

Senya di sisi Chacha mengangguk. ”Betul juga sih, apalagi ada kutukan cowok seganteng dan sekeren apapun kalau udah sekelas tuh harga dirinya pasti ilang, kayak Jeiden noh contohnya.”

Giliran Chacha yang menggerakkan kepalanya menyetujui sepenuhnya. Gadis Chinese dengan rambut yang sore ini diikat asal itu menunjuk masing-masing dari cowok di meja cafe termasuk Xafier di sisi Eli, membantu gadis lugu itu dengan kertas vanila tugas mereka. Setelah sampai di Xafier, jari telunjuk Chacha kembali membidik Hadi, Haikal, Hessa, dan Rendra dengan urutan terbalik.

”Lo, lo, lo, lo, sama lo, kalau suka sama cewek kelas mending mundur, cewek-cewek XI-IPA5 tuh calon-calon cewek gak pekaan semua kecuali gue.”

”Kecuali gue.” Senya menyahut cepat tak ingin tertinggal.

”Kecuali gue.” Eli jadi ikut-ikutan menunjuk dirinya sendiri bangga.

Chacha menghela nafas panjang, menunjuk Senya dan Eli bergantian. ”Lo sama lo, kalau suka cowok sekelas juga mending mundur, cowok-cowok XI-IPA5 tuh calon cowok-cowok gak tau diri.”

”Kecuali gue,” sela Hadi tak kalah cepat.

”Kecuali gue.“

”Kecuali gue.”

"Kecuali gue.”

Pemuda dengan garis wajah tenang mendongak tak mendengar lagi adanya suara terdengar, ia jadi mengerjap pelan menyadari pandangan mata orang-orang tertuju padanya. ”Kecuali gue,” lanjut Xafier melengkapi walaupun sejujurnya tak terlalu peduli.

”Jadi, lo jatuh cinta sama siapa?”

Pertanyaan Rendra mengembalikan fokus semua orang pada topik awal yang membuat kedua kelompok ini mengabaikan dua kertas vanila di masing-masing sisi meja. Chacha terlonjak kecil, melontot pada Rendra terkejut sendiri. Gadis itu menggerakkan dirinya tak nyaman dengan deheman kecil.

”Kalau gue kasih tau, kalian jangan cepu ya!” katanya lebih dulu memperingati, ”Jangan diketawain juga.”

"Iya deh iya, gak bakal diketawain,” jawab Haikal tak sabar, ”gue tempeleng muka lo kalau bercanda.”

Chacha kembali berdeham, kali ini dengan suara lebih keras. ”Sama Pak Teo,” jawab gadis itu dengan senyum merekah dan wajah kasmaran.

Suara umpatan sudah terdengar tidak jelas dari Haikal, Hessa, Hadi, dan Senya secara bersamaan. Rendra terkekeh kecil, kembali menggerakkan tangannya di atas kertas vanila jadi mengacuhkan sepenuhnya. Haikal sudah berdiri, berlagak ingin membanting gelas jus mangganya sore ini dengan wajah frustasi.

Win CrownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang