Russel menatapku. Sedikit bingung kenapa aku yang tidak terlalu peduli soal kekayaan orang lain ini tiba-tiba meminta hartanya. Tapi, wajah kebingungan Russel langsung menghilang saat ia menyadari kalau ini adalah bagian dari rencana yang aku rancang.
Russel menatapku dan berkata, "kekayaan yang aku miliki setara dengan kekayaan semua Marquiss yang dikumpulkan menjadi satu!"
Aku tidak tahu berapa jumlah Marquiss yang ada di kekaisaran dan berapa jumlah harta mereka jika dikumpulkan jadi satu. Tapi, yang jelas pasti banyak, kan? Walau tak sebanyak jumlah harta yang dihabiskan pamanku untuk memanjakan kedua anak sialannya itu.
"Apa aku boleh meminjam sedikit?" tanyaku dengan mata yang terus berkedip. Mengirimkan pancaran melas pada Russel yang tentu saja tidak peduli dengan hal itu.
Dia malah tersenyum. Aku meneguk ludah. Senyuman pria berhati dingin ini bisa jadi pertanda buruk. Jadi, aku harus berhati-hati jika Russel sudah tersenyum. Apalagi ketika aku meminta sesuatu darinya. Sebab balas budi yang harus aku berikan jauh lebih banyak dari apa yang Russel berikan padaku. Bisa dibilang, anak ini suka mengambil kesempatan dalam kemiskinan orang lain.
Sekarang, entah apa yang akan dia minta sebagai balasan atas harta yang ia berikan.
Apa sebaiknya aku meminta beberapa sisik Violet saja? Naga kan selalu berganti sisik setiap sebulan sekali. Violet dan para naga lain pasti punya tumpukan sisik yang tidak terpakai di salah satu sudut gua mereka, kan? Aku bisa menjual sisik-sisik itu. Puluhan sisik saja sudah cukup untuk menghidupi semua rakyat kekaisaran selama sebulan. Tapi, aku sudah terlalu banyak meminta bantuan Violet. Aku tidak mau merepotkannya lagi. Air matanya saja aku minta selama 2 tahun.
"Apa yang bisa kau berikan padaku sebagai gantinya?" tanya Russel. Masih dengan senyuman yang sama.
Aku menghela nafas.
"Ada banyak hal yang bisa aku tawarkan padamu jika seandainya rencana ini berhasil membuat Kak Arci jadi kaisar! Jabatan. Kehormatan. Harta. Kekuasaan. Kau bisa meminta semuanya!" kataku tegas.
Yah, semua itu sudah dimiliki oleh Russel. Tapi, hanya itu yang bisa aku tawarkan padanya. Karena memang hanya semua benda itu yang ada di Janeiro.
"Tepat sekali!"
"Apanya?" tanyaku bingung.
"Kau hanya bisa memberikan semua itu jika rencananya berhasil. Tapi, jika rencanamu gagal, apa yang bisa kau tawarkan padaku? Aku tidak mau hartaku terbuang dengan sia-sia!" kata Russel. Lagi-lagi masih tersenyum.
Aku mengepalkan kedua tanganku. Bibirku terangkat ke atas. Mataku terpejam. Berusaha meredam amarah yang aku rasakan.
Dia ini sebenarnya sekutu atau orang yang menawarkan jasa, sih? Kami kan berada di pihak yang sama. Jadi, dia harusnya membantuku tanpa mengharapkan pamrih. Padahal, dia selalu datang setiap hari ke istana untuk menyemangati diriku agar aku kembali menyusun rencana. Tapi, kenapa sikapnya langsung berubah begini?!
Menyebalkan sekali!
Usianya baru 12 tahun. Tapi, dia jago sekali menipu anak kecil yang 4 tahun lebih muda darinya. Walau begitu, aku tidak bisa melepaskan Russel begitu saja. Tidak ada orang lain yang bisa memberiku banyak bantuan selain dirinya. Jadi, mari kesampingkan amarah dan harga diri. Setidaknya sampai aku berhasil membuat Abercio jadi kaisar. Saat itu, akan aku siksa anak sialan ini sampai dia tidak lagi bisa mengambil kesempatan apapun dariku.
"Apa yang kau mau dariku?" tanyaku. Masih berusaha meredam amarah.
"Mudah saja! Tanda tangan!"
Russel meluruskan tangan kanannya ke samping. Sebuah titik kecil muncul. Kemudian, membesar hingga 30 cm. Russel memasukkan tangannya ke dalam portal yang terhubung dengan kamarnya. Ia mengambil sebuah kertas di atas meja. Kemudian, menutup portal itu.
Russel menatapku. Aku balas menatapnya.
Tanda tangan? Dan, sebuah kertas? Apa dia ingin aku menandatangani perjanjian atau kontrak? Entah kenapa rasanya tawaran yang satu ini terlalu menyeramkan.
"Kenapa kau meminta tanda tanganku?" tanyaku waspada.
"Tentu saja untuk membuat perjanjian ini menjadi sah!" kata Russel sembari menyodorkan selembar kertas.
Aku mengambil kertas itu dari tangannya dengan kasar. Kemudian, membacanya.
"Charice De Janeiro akan menuruti permintaan Russel Zen Balthasar."
Hanya kalimat itu yang ada di sana. Aku menatap Russel yang tersenyum. Tanganku bersiap menyobek kertas itu ketika Russel mengambilnya terlebih dahulu.
"Kau sudah gila, ya? Aku tidak mau! Batalkan saja persekutuan kita!" kataku kesal.
Kalau aku menandatangani hal itu, sama saja seperti menyerahkan nyawaku pada Russel. Aku memang percaya padanya. Tapi, rasa percayaku tidak sampai ada di batas dimana aku akan menyerahkan nyawaku dengan senang hati.
"Aku tidak akan meminta hal yang aneh atau membahayakan!" kata Russel.
Aku memicingkan mataku. Menatap Russel tajam. Keningku berkerut.
"Menurutmu kenapa hanya ada satu kalimat di sana?"
"Tidak tahu!" kataku tanpa mengubah ekspresi wajahku.
Russel menghela nafas, "Itu karena aku ingin kau mengisinya."
Ekspresi wajahku berubah. Tatapan tajamku berubah jadi tatapan bingung.
"Aku tahu kau tidak akan menuruti semua permintaanku. Jadi, aku membiarkanmu menulis apa yang tidak kau mau. Bukankah itu cukup adil?"
Aku berpikir sejenak. Russel sepertinya tahu kalau hanya dia satu-satunya orang yang bisa membuat rencanaku berjalan lancar. Dia pasti akan menggunakan surat perjanjian ini untuk kepentingan dirinya sendiri tanpa memikirkan diriku. Pada akhirnya, walau Abercio berhasil menduduki takhta, aku tetap akan rugi karena surat perjanjian itu. alau begitu, bagaimana jika aku membuat surat perjanjian itu jadi menguntungkanku?
Aku tersenyum.
Russel ternyata tidak cukup hebat dalam menipu anak perempuan berusia 8 tahun.
"Baiklah! Aku setuju! Sama seperti isi surat perjanjiannya. Aku juga hanya akan menuliskan satu kalimat."
Russel menatapku.
"Semua permintaan dilakukan atas persetujuan kedua belah pihak!" kataku penuh percaya diri.
Dengan begini, Russel tidak akan bisa meminta macam-macam dariku.
Russel tersenyum, "Baiklah!" katanya.
Aku langsung menandatangani perjanjian itu tanpa banyak bertanya atau pun protes lagi. Tapi, bukankah Russel terlalu mudah mengiyakan ucapanku? Kalau begini caranya kan dia hampir tidak bisa memintaku melakukan apapun karena aku jelas akan menolak semua permintaannya. Yah, bodo amat, sih! Yang penting aku bisa menyelamatkan diriku dan menjalankan rencanaku.
Russel juga menandatangani surat perjanjian itu. Sebuah portal kembali muncul. Russel memasukkan tangannya. Meletakkan surat itu kembali ke atas mejanya.
"Aku akan mengirimkan semua yang kau butuhkan besok. Sekarang, aku akan kembali ke kamarku! Selamat tinggal, tunanganku tersayang!" kata Russel sembari melambaikan tangannya.
Dia kemudian menghilang ditelan sebuah portal yang tiba-tiba muncul di belakangnya.
Aku menatap Russel datar. Kenapa anak itu terus saja memanggilku 'tunanganku'? Kami kan hanya pasangan palsu.
Aku tidak suka dipanggil begitu sama anak kecil yang 5 tahun lebih muda dariku. Tapi, kenapa pipiku rasanya hangat?
KAMU SEDANG MEMBACA
The Devil Become A Princess✔
Fantasy[Bukan Novel Terjemahan - END] Novana awalnya adalah iblis yang hidup di jalanan dan berhasil menjadi kaisar setelah membunuh kaisar yang asli. Dia kemudian dibunuh oleh seorang pria yang dia cintai. Yang tak lain adalah putra dari kaisar yang dia b...