Evil 64

3.9K 492 1
                                    

3 hari.

Hanya tersisa waktu 3 hari sampai Abercio dan Dimitri kembali ke Janeiro. Semua pelayan di istana sudah sibuk menyiapkan upacara penobatan Abercio yang akan pulang besok. Meski kekalahannya sudah berada di depan mata, pamanku tidak melakukan pergerakan apapun. Seolah tujuan utamanya bukanlah kursi takhta lagi. Atau, sudah bukan?

Klennox bilang kalau pemilik tubuh orang yang bersekutu dengan raja iblis perlahan akan diambil alih. Jadi, sekarang mungkin saja orang yang mengendalikan tubuh pamanku adalah raja iblis sendiri. Dan, seorang raja iblis tidak mungkin bersekutu dengan manusia hanya demi takhta.

Kalau begitu, apa tujuannya?

"Apa anda yakin akan pergi berlibur, Tuan Putri?" tanya Nori yang membawa nampan berisi sarapanku.

Aku mengangguk. Nori dengan perlahan meletakkan piring berisi kentang tumbuk dan sup jamur yang diambil Nori dari hutan kekaisaran. Dia kemudian berdiri di sampingku.

"Duduklah, Nori!" kataku.

Nori menggeleng pelan, "Terima kasih, Tuan Putri. Tapi, saya harus bersikap sesuai posisi saya!" katanya.

Padahal dulu Nori selalu duduk bersamaku. Bahkan, kadang kami makan bersama. Tapi, sejak penobatan Abercio semakin dekat, Nori jadi menjaga jarak lagi. Dia bersikap layaknya seorang pelayan pada majikannya. Dan, hal itu membuatku tak nyaman. Karena bukan aku majikan yang seharusnya ia perlakukan dengan baik. Tapi, aku tidak mungkin memberitahu Nori kalau aku bukanlah Charice. Melainkan hanya tokoh fiksi yang dia buat.

Aku menghela nafas. Tanganku mulai menyendok kentang tumbuk. Memasukannya ke dalam mulutku. Gigiku mengunyah kentang yang sudah lembut itu. Kemudian menelannya.

"Aku akan berlibur ke wilayah Varety. Aku akan pulang sehari sebelum penobatan Kak Arci!"

"Bukankah Varety terlalu jauh, Tuan Putri? Selain itu, wilayah itu terlalu dekat dengan hutan para elves. Apakah anda yakin ingin berlibur ke sana? Bagaimana kalau Carety saja? Di sana ada danau yang berbentuk hati dan berwarna merah. Pemandangan alamnya juga indah."

"Tidak apa, Nori! Aku sudah memutuskan untuk pergi ke Varety. Aku akan baik-baik saja. Jadi, tolong siapkan keperluanku!" kataku sembari terus makan.

Wilayah Varety. Wilayah yang dipimpin oleh Duke Honsrom. Letaknya ada di bagian paling barat kekaisaran. Varety adalah wilayah yang paling dekat dengan hutan para elves. Jaraknya hanya sekitar 200 meter. Karena para elves terpenjara dalam hutan, Varety jadi bisa tetap berdiri tanpa mendapatkan gangguan dari para elves. Di wilayah Varety memang tidak ada satu pun hal yang bisa dijadikan alasan untuk berlibur. Kecuali jika wisatawan itu tertarik pada kegiatan bongkar pasang kereta kuda barang. Karena wilayah Varety adalah tempat dimana kereta kuda pengantar barang antar kekaisaran akan diperiksa.

Berbeda dengan tetangganya, Carety yang merupakan daerah dengan sumber daya alam yang hebat. Jadi, wajar saja jika Nori khawatir padaku.

"Baiklah, Tuan Putri! Tolong berhati-hatilah! Yang Mulia Putra Mahkota dan Pangeran Dimitri pasti merasa khawatir pada anda!" kata Nori lagi.

Aku mengangguk.

Khawatir padaku? Abercio dan Dimitri? Apa mereka tetap akan khawatir padaku meski tahu jika aku bukanlah adik mereka? Apa sebaiknya aku jujur saja pada mereka berdua? Jika aku beruntung, Abercio mungkin akan membiarkan aku tetap hidup. Mengingat aku sudah berusaha keras menyelamatkan ayah mereka. Kalau aku beruntung, mungkin saja Abercio akan memberiku uang untuk bertahan hidup. Bahkan juga gelar. Mungkin baron atau earl. Tapi, kalau aku bernasih buruk, aku akan berakhir menjadi mayat dengan kepala yang terpisah dari badan. Haha... lebih baik aku diam saja dan terus hidup jadi Charice. Kan Charice sendiri yang memintaku untuk hidup sebagai dirinya. Jadi, bukan salahku jika aku mendapatkan kasih sayang dan perhatian yang seharusnya ia dapatkan.

Hah! Hidup ini memang sulit!

"Apa anda sudah selesai makan, Tuan Putri?" tanya Nori sembari menatap piringku yang masih penuh.

Aku tersentak. Menatapnya. Kemudian mengangguk. Aku tidak selera makan sekarang. Dan, Nori sepertinya menginginkan makananku. Untunglah aku tidak memutuskan untuk menjadikan kentang tumbuk itu jadi mainan.

"Kau bisa membereskannya sekarang, Nori!" kataku.

Nori mengangguk. Dia dengan hati-hati mengembalikan piring dan mangkoknya ke atas nampan. Sama sekali tidak menimbulkan suara. Sepertinya dia tahu kalau aku tengah berada dalam suasana hati yang buruk.

"Kalau begitu saya permisi terlebih dahulu, Tuan Putri!" kata Nori sembari membungkukkan badannya.

Aku mengangguk. Nori berjalan keluar dari kamarku. Aku menatap punggung Nori sampai gadis itu menghilang ditelan pintu kamarku.

Jika semuanya sudah kembali seperti seharusnya, aku akan membuat Nori menjadi seorang bangsawan. Itupun jika aku masih bernafas sebagai Charice.

Hidupku benar-benar menyedihkan bahkan tanpa harus berusaha membuatnya jadi menyedihkan.

"Chie, apa kau sudah menangkap pembunuhnya?" tanya Russel yang keluar dari balik portal.

Melihat dia mempertanyakan pembunuh bayarannya, artinya dia belum tahu kalau si pembunuh tengah bersembunyi di ruang bawah tanah keluarganya. Apa aku harus memberitahunya? Tidak usah, deh. Toh, nanti Russel juga akan tahu dengan sendirinya.

Aneh! Padahal katanya Balthasar tahu segalanya. Tapi, Russel bahkan tidak tahu kalau ruang bawah tanah keluarganya didiami oleh dua manusia.

"Atau, apakah kau menyembunyikan pembunuhnya di ruang bawah tanah keluargaku? Ah, haruskah aku memanggilnya Klennox?" tanya Russel sembari tersenyum.

Aku memalingkan wajahku. Bibirku seketika tertutup rapat. Keluarga Balthasar memang tahu segalanya, ya.

Russel menghela nafas.

"Melihat kau yang biasanya banyak bicara jadi diam saja, sepertinya ucapanku benar!"

Aku mengangguk.

Russel kembali menghela nafas. Aku menatapnya datar. Kenapa dia terus menghela nafas seolah sedang melepaskan beban berat? Aku kan hanya sedang berusaha menyelamatkan kakak beradik yang kehilangan ayah mereka dan terancam dibunuh. Russel bersikap seolah aku membawa seluruh penduduk bumi ke ruang bawah tanahnya saja. Walau harus aku akui kalau aku salah karena tidak meminta ijin padanya terlebih dahulu. Tapi, keadaan kemarin kan adalah hal yang darurat.

"Baiklah! Mari anggap kau punya alasan yang tepat atas sikapmu memasukkan orang asing ke ruang bawah tanah rahasia keluargaku!" kata Russel.

Ucapannya sama sekali tidak menunjukkan orang yang sudah memaafkan kesalahan orang lain.

"Sekarang, lihat aku!" kata Russel.

Aku refleks memutar kepalaku. Menatap Russel seperti yang ia perintahkan. Aku sendiri juga tidak tahu kenapa aku menuruti perintah bocah ini. Mungkin, karena perasaan bersalah dalam diriku. Atau, karena ucapan Russel terdengar begitu mempesona. Maksudku, mengintimidasi. Tapi, sejak kapan ucapan bocah berusia 12 tahun bisa mengintimidasi diriku?

"Waktu penobatan si Abercio hanya tinggal 3 hari. Apa kau punya rencana yang bagus? Karena aku yakin si sialan itu akan melakukan sesuatu!"

Aku menatap Russel datar. Usianya memang bertambah. Tapi, rasa takut dan sopan santunnya malah berkurang. Bisa-bisanya dia memanggil anggota keluarga kekaisaran sesantai itu.

"Tentu saja! Aku akan pergi berlibur!" kataku dengan riang.

The Devil Become A Princess✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang