Evil 66

3.9K 505 1
                                    

Aku berdiri di pintu masuk hutan para elves.

Hanya dengan melihat bagian luarnya pun aku sudah tahu kalau tempat ini sangat menyeramkan. Aura hutan ini benar-benar bisa membuat bulu kuduk siapapun jadi berdiri. Bau anyir dari darah dan aroma bangkai pun bisa tercium di pintu masuk. Aku benar-benar tidak bisa membayangkan akan seperti apa nasib hidungku jika aku masuk ke dalam hutan. Pepohonan gersang berwarna hitam menambah kesan menyeramkan hutan ini.

Sekarang, aku merasa salut pada para kusir kereta kuda pengantar barang yang sudi masuk ke dalam hutan ini demi memperkaya bangsawan yang sudah kaya.

"Apa aku benar-benar harus masuk?" tanyaku pada diriku sendiri.

Aku menatap ke dalam hutan sekali lagi. Rasa takut dan gelisah semakin menghantuiku. Aku yakin, Russel yang tidak memiliki rasa takut pun akan enggan masuk ke hutan ini. Apalagi hanya untuk mencari seseorang yang kemungkinan malah akan membunuhnya. Kalau boleh jujur, aku juga enggan masuk ke dalam hutan menyeramkan ini. Tapi, aku tidak punya pilihan lain.

Aku harus menyingkirkan pamanku agar Abercio bisa menduduki takhta dengan tenang. Juga agar Charice bisa beristirahat tanpa beban. Tidak masalah jika aku tidak bisa menyembuhkan ayahnya. Karena aku sudah berusaha dengan sangat keras.

Aku menghela nafas panjang. Berusaha mengumpulkan keberanian.

"Ayo, Novana! Kau pasti bisa! Aku percaya kau bisa!" kataku pada diriku sendiri.

Aku mengambil nafas panjang beberapa kali. Setelah keberanianku terkumpul, aku menatap hutan itu sekali lagi.

"Baiklah! Ayo masuk dan selesaikan semuanya!" kataku.

Kakiku mulai melangkah masuk ke dalam hutan. Kesunyian menyambutku diriku. Tanah tandus yang retak dimana-mana menjadi pijakan bagiku. Tidak ada daun atau ranting kering di atas tanah. Yang ada hanyalah pohon hitam yang sekarat. Kalau kalian terus memperhatikan pohon itu, kalian akan sadar kalau pohon itulah yang lebih dulu memperhatikan kalian.

Menyeramkan bukan?

Kabut asap berwarna hitam mulai mengisi setiap sudut hutan. Membuat pandanganku jadi terbatas.

Sejauh ini, belum ada tanda-tanda keberadaan elves. Mungkin, mereka berada jauh di dalam hutan.

Aku memperhatikan setiap langkahku dengan begitu hati-hati. Walaupun tidak ada ranting atau dedaunan yang akan membuat langkahku menimbulkan suara. Tapi, aku harus tetap berhati-hati. Karena para elves memiliki indra pendengaran yang begitu hebat. Jangankan suara langkah kaki, suara nafas pun bisa mereka dengar.

Karena itu, aku harus berhati-hati jika masih ingin hidup.

"Grrrrrrrr!" terdengar suara geraman yang cukup keras dari dalam hutan.

Tidak ada hewan buas maupun hewan liar di dalam hutan para elves karena mereka sudah dijadikan menu makan. Jadi jika ada suara geraman yang mirip seperti hewan, jawabannya hanya satu.

Elves.

Merekalah asal suara geraman itu.

Aku menghentakkan kakiku dengan perlahan di atas tanah yang tandus. Sebuah akar hijau muncul. Mengangkatku naik ke atas dahan pohon.

Tak berselang lama, seorang elves muncul dari balik lebatnya pepohonan hutan. Aku tersentak ketika melihat penampakan elves itu. Elves ini jelas berbeda dari yang aku tahu.

Dia mirip seperti manusia dan kembarannya, para elf. Telinga mereka runcing. Tubuh mereka berwarna hitam. Nampak seperti kulit kadal. Gigi taring bagian atas dan bawah mencuat. Panjang dan tajam sekali. Gigi taring itu bisa melubangi tubuh bayi. Kuku kaki dan tangan mereka juga panjang dan tajam. Aku yakin kalau kuku itu bisa melubangi dahan pohon dengan mudah. Mata mereka berwarna hitam. Benar-benar hitam.

Dan, tidak ada warna yang mengerubungi elves itu seperti sebelumnya.

Dengan kata lain, dia adalah elves yang asli. Atau, para manusia yang diubah jadi elves sudah sepenuhnya menjadi elves.

"Grrrrrrrrr!"

Elves itu menggeram sekali lagi. Dia menatap sekitar. Telinga runcingnya bergerak. Aku menutup hidung dan mulutku dengan tangan. Jika elves ini mengetahui posisiku lewat suara maka bisa dipastikan kalau aku akan mati di sini dan tidak akan pernah ditemukan. Para elves yang rakus jelas akan berebutan memakan dagingku yang tak seberapa ini!

Argh! Aku tidak mau masuk ke dalam mulut bau mereka meski sudah mati sekalipun!

Elves itu mendangak. Aku mematung. Nafasku tertahan untuk beberapa saat.

Elves buta. Jarak pandang mereka hanya 1 meter. Dan, untunglah tinggi pohon ini sekitar 2 meter. Jadi, elves ini tidak akan bisa melihatku.

Aku pikir begitu. Tapi, elves sialan itu tiba-tiba menyayat dahan pohon dengan kukunya yang tajam.

"Grrrrrr!"

Suara geraman itu nampak semakin nyaring. Dan, dari geraman itu, aku bisa mengambil kesimpulan kalau dia sedang marah.

"Hei! Apa yang kau lakukan?! Kau seharusnya tidak bisa melihatku!" seruku panik.

Elves di bawahku tidak peduli. Dia terus menyayat dahan pohon dengan kukunya. Membuat pohon yang aku jadikan tumpuan bergetar. Dan, hampir roboh. Kuku tajam sialan itu bergerak seperti kapak. Jika aku tidak turun. Maka, aku terpaksa jatuh bersamaan dengan pohonnya. Dan melihat arah pohon ini jatuh, aku akan mendarat di sebuah pohon mati dengan ujung yang lancip. Sepertinya, elves sialan ini ingin membunuhku.

Dia tahu aku tidak akan turun hanya dengan disuruh. Jadi, dia berencana membuatku turun dengan sedikit pilihan. Turun dan mati di tangannya. Atau, menunggu pohon ini roboh dan mati tertancap dahan pohon. Hahaha....dia baik sekali karena memberiku pilihan ingin mati dengan cara apa.

"Hei! Berhenti! Hentikan!" teriakku.

Aku juga tahu kalau elves sialan ini tidak akan berhenti hanya karena aku menyuruhnya begitu. Tapi, aku tidak punya pilihan lain.

Atau, mungkin aku punya.

Srukkk!!!

Sebuah sulur rambat muncul dari balik lenganku. Sulur itu bergerak ke arah sebuah pohon yang cukup besar. Melingkar di dahan yang paling kuat. Aku lantas melompat turun. Sulur itu dengan ajaib menarikku. Membuatku berpindah ke dahan pohon lain. Cepat sekali hal itu terjadi sampai elves itu tidak menyadari kepergianku.

"Aku harus kabur dari sini sebelum elves lain datang karena mendengar suaraku!"

Aku terus menggunakan sulur itu untuk kabur. Sekarang tidak ada lagi rencana untuk menemukan Marquiss Gabrela di antara para elves. Aku hanya memikirkan cara untuk bisa keluar dari hutan ini. Ketika mataku menangkap selarik matahari yang bersinar di pinggie hutan. Dan, ketika hanya tersisa satu lompatan untuk bisa keluar dari tempat ini, sesuatu memukul punggungku dengan cukup keras.

Aku terjatuh dari ketinggian 2 meter. Kepalaku dan punggungku terasa sakit. Tubuhku terasa seperti remuk.

Mataku mengerjap.

Sebelum aku benar-benar kehilangan kesadaran, aku menangkap sosok seseorang. Seseorang yang aku kenal.

Pamanku.

Dan, di belakangnya ada puluhan elves yang berbaris rapi. Termasuk orang yang aku cari, Marquiss Gabrela.

"Bawa dia!"

Kalimat itu yang aku dengar untuk terakhir kalinya.

Mataku sempurna tertutup.

The Devil Become A Princess✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang