Bruises

6.1K 623 47
                                    

Sunyi mengisi apartment yang dihuni para anggota FATE saat Dipa, Aji dan Edwin sampai duluan meninggalkan Yasa dan Sena yang katanya ada urusan. Syuting seharian membuat badan mereka terasa remuk, terutama Edwin yang memang kurang tidur karena malam sebelumnya ia hanya tidur tiga jam saking kelewat asyiknya bermain game di ponsel.

Begitu sampai Edwin langsung masuk kamar merebahkan badan, larut dalam lelap tanpa perlu mandi atau sekedar membersihkan diri. Untung tak ada Sena yang selalu menasehati sekaligus memarahi kelakuan malas adik-adiknya.

Sang keyboardist, Dipa yang merasa lapar membawa beberapa snack dari kulkas untuk menemaninya menonton acara komedi malam bersama Aji yang lebih dulu menatap televisi. Genrenya memang komedi, tapi tak seulas tawa bahkan senyum-pun yang Dipa tangkap dari raut lelah Aji. Gitarisnya sedang tak dalam keadaan baik sejak di mobil tadi.

Beberapa menit Dipa menimbang, haruskah ia menanyakan keadaan Aji? Meski sebenarnya hanya percuma, karena Dipa yakin semua resah yang Aji gambarkan lewat raut muka pasti ada hubungannya dengan perginya Yasa bersama Sena yang hanya berdua. Aji cemburu?

"Bang......"

"Gue ke kamar bentar, Dip. Mau ambil laptop Yasa. Catetan kunci kemaren masih di lo kan? Sini biar gue rapihin." Belum juga sapaan Dipa selesai diucap, Aji sudah memotong lebih panjang.

"Gue ambil dulu di kamar."

Sofa di depan televisi kembali kosong. Dua entitas yang sedari tadi mengisi dalam diam kini masuk kamarnya masing-masing.

Ketika masuk ruangan miliknya, Dipa tertawa tanpa suara melihat Edwin yang lelap dengan mulut terbuka. Bahkan kaos kaki yang dipakainya tak sempat dilepas, hanya sepatu saja yang berserakan di bawah ranjang.

"Kebo, dasar."

Setelah kertas coretan kunci lagu yang dimaksud Aji berada di tangan, Dipa langsung kembali membuka pintu kamarnya pelan. Tak mau suara yang ditimbulkan akan mengganggu lelap si bungsu.

Krieet..

BRAKKK!!!

Tapi kenyataannya, di saat ia tak mau menimbulkan banyak suara, Aji malah membuka kamarnya sendiri dengan keras sampai kayu pintu membentur dinding.

"BARSENA, BANGSAT!!"

Mendengar teriakan geram Aji, Dipa langsung buru-buru keluar menghampiri. Mendapati Aji yang mukanya merah padam, kesal dengan selembar kertas kecil di tangan.

Itu kertas apaan? Foto? Eh, USG bukan sih? -dalam hati Dipa memperhatikan

"BANG MAU KEMANA??" Dipa bertanya khawatir saat Aji menuju pintu apartment untuk keluar.

"BUNUH BARSENA."

Merasa situasinya sudah teramat kacau, Dipa buru-buru kembali ke kamarnya untuk membangunkan Edwin dan menyusul Aji.

"Gue ngantuk banget anjir, Dip. Besok aja.." dengan rengekan dan gumam malas Edwin merespon ketika badannya digoyang Dipa kasar.

"SEKARANG NJING, BURUAN. KEBURU BANG SENA MATI DIBUNUH BANG AJI."

"HAHH?"









....










Gelenyar nyeri Sena rasakan membekap pembuluh darah di wajah kala sapuan demi sapuan kapas dioles bersama cairan iodine oleh Edwin. Namun rasanya, nyeri di wajahnya tak sepadan dengan sakit di ulu hati mendapati Yasa yang terisak tangis di sampingnya meski ditenangkan Dipa.

Saat ini kelima pemuda yang tergabung dalam satu band itu duduk di ruang tamu. Meleseh di lantai, bersandar pada dingin tembok. Membiarkan empuk kursi tamu melompong kosong menyaksikan ketegangan yang berpusat pada anggota tertua.

UNPREDICTABLE (BoysLove, Mpreg)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang