(+) Seven

3.9K 386 87
                                        

Extra chapter sebanyak ini, too much ga sih? Takut kalian bosen :(













Dingin menyapa raga tak berdaya Cakrayasa yang terduduk lemah di lantai kamar putra semata wayangnya. Gelap membekap meski mentari sudah naik semenjak beberapa jam tadi. Pendarnya kalah, tak mampu menembus tirai tebal jendela yang dibiarkan tertutup di semua sudut rumah.

Netra sehangat karamel mengintip lewat perih kelopak yang membengkak, basah. Isaknya habis, tapi jejak laranya masih jelas tergurat di wajah si manis.

"Habis, semuanya habis. Selesai." Meracau kosong dengan suara mendesis tak mau membangunkan sang putra yang terlelap di atas ranjang.

Semalam setelah Yasa mengutarakan permintaan bodoh untuk minta cerai dari suaminya, Barsena Pramudya tersentak seketika. Kelereng jelaganya membulat, nafasnya tercekat. Tak sepatah kata keluar dari sang pengolah vokal yang mengepalkan jemarinya kuat.

Bahkan seolah tak ingat Arsean tengah tertidur di kamarnya, Barsena melangkah keluar kamar, keluar rumah dengan menutup pintu teramat keras.

BRRAAAKK!!

Sean terbangun, menangis.

Yasa terduduk, lemas penuh tangis.

Dan sisa malam itu dihabiskan sang bassis dengan menenangkan Sean yang rewel serta sulit dibawa lelap lagi dengan keadaan badan yang semakin panas, demam.

Mondar-mandir menggendong Sean, menopang perut besarnya sulit mencari obat bagi si bocah. Yasa masih harus pula menahan tangis yang berkali ia hapus, tak mau ia tampakkan di depan Arsean yang kini hanya bersandar padanya.

Hampir fajar menjelang, baru sang buah hati kembali ke alam mimpi. Tertidur dengan nafas teratur setelah demamnya perlahan turun. Menyisakan Yasa sendirian dibekap perasaan gundah gelisah. Terduduk kehabisan daya di lantai, tepat di bawah ranjang putranya.

Yasa kalah. Pada akhirnya air mata yang ditahan si manis tumpah ruah. Menunduk, berharap isaknya tak menganggu tidur sang pangeran. Yasa menangis tanpa peduli waktu. Menyuarakan lara yang dirasanya pahit macam empedu.

Inikah akhir dari jalinan pernikahannya dengan Barsena?








....









Hari ini Edwin punya schedule bertemu dengan Boss Johan untuk membahas tawaran bermain di salah satu film adaptasi anime yang akan digarap akhir tahun ini. Perlu persetujuan manajemennya dalam hal ini Bosa Johan tentu saja untuk proyek sebesar ini yang nantinya bisa melambungkan lagi namanya semakin tinggi di dunia seni peran.

"Tali sepatu lo benerin dulu, Win. Nanti nyerimpet."

Andi masih setia mengantar sang anak asuh, mengantarnya menemui Johan di kantornya sepagi ini karena siang nanti sang Boss sudah punya jadwal lain, meeting dengan salah seorang pemilik stasiun televisi.

"Bentar, Bang." Sang drummer berjongkok, membenarkan simpul tali sepatunya yang lepas sebelah. Membuat Andi yang memimpin tadinya berdiri di belakangnya kini ikut menghentikan langkah menunggu si anggota FATE termuda.

"Udah? Ayo lanjut." Andi.

"Eh, bentar." Simpul talinya selesai. Edwin juga sudah berdiri. Tapi entitas seorang pria yang baru saja melintas sambil menenteng kopi dari arah pantry membuat fokusnya dipaksa beralih.

"Kenapa?" Tanya Andi saat Edwin masih memicingkan mata ke arah lift yang baru saja tertutup.

Sang drummer menoleh. "Itu tadi Bang Sena, bukan?"

"Hng? Sena? Mana?"

Ck, apa Andi masih mengantuk? Walaupun penampilan pria tadi tampak berantakan dengan rambut acak-acakan dan kemeja kusut di badan, tapi Edwin yakin jika itu adalah Sena, leadernya. Hidup bertahun-tahun dengan sang vokalis membuatnya terbiasa melihat Sena di segala penampilan. Tertampan bahkan terjelek sekalipun tak Edwin lewatkan.

UNPREDICTABLE (BoysLove, Mpreg)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang