Midnight

4.2K 423 32
                                    

Suka dan duka secara dinamis bergantian mengisi tahap demi tahap kehidupan. Tak selamanya bahagia, terkadang manusia juga harus siap berada di titik nestapa.

Dan ini giliran Cakrayasa. Resah membekap gulana dengan air mata lelah meratapi kondisi putra semata wayangnya, Finanda Arsean Pramudya. Si bayi didiagnosis demam oleh dokter Gina yang memeriksanya.

Datang tengah malam, Arsean masuk kamar rawat saat subuh menjelang. Rewel, menangis menahan sakit karena jarum infus yang menancap di tangan.

Yasa awalnya menolak jika sang putra akan diinfus oleh perawat yang ditugaskan. Namun kondisi Sean yang makin drop serta obat yang dimuntahkan dan asi yang masih ditolak sang bocah membuat dokter Gina tak memberi pilihan selain diinfus untuk memasukkan obat dan vitamin bagi Arsean.

"Kak, makan dulu ya." Edwin datang menjenguk membawa dua porsi nasi padang untuk Sena dan Yasa makan siang.

Sebelumnya juga Dipa dan Aji sudah lebih dulu datang membawakan baju-baju dan keperluan Arsean seperti yang Yasa mandatkan. Namun dua orang tersebut harus pulang satu jam setelahnya karena panggilan dari Boss Johan sehingga harus ke kantor manajemen.

"Nanti Win, tunggu Sean tidur." Yasa menjawab sambil masih menggendong si bayi yang merengek susah ditenangkan.

Di samping Yasa, Sena berdiri sigap membawakan tiang infus Arsean mengikuti kemanapun Yasa berjalan.

"Aku gendong Sean-nya dulu sini, biar kamu bisa makan." Tawar Sena sambil melirik Edwin memberi kode agar meletakkan bawaannya di atas meja.

Tapi Yasa menggeleng. "Nanti aja."

Kekeras kepalaan Yasa sepertinya datang di waktu yang tak tepat. Sena berdecak, menatap si lelaki manis dengan nyalang lelah. "Yas, makan dulu aku tau kamu pasti capek, laper."

"Tapi Sen..."

"Jaga kesehatan, Cakrayasa! Gimana mau jaga Sean kalau nanti kamunya sendiri malah ikut sakit???"

"Loh, kamu do'ain aku sakit?"

"Bukan gitu astagaaa..." Barsena jadi serba salah sendiri menghadapi keresahan Yasa.

"Sssttt, udah udah Kak, Bang. Makin kejer tuh anaknya denger kalian berantem." Lerai sang drummer ikut berdiri menunjuk si bayi yang masih merengek meski matanya tak basah lagi.

Sontak bersamaan Sena dan Yasa melempar tatap pada Arsean.  Memperhatikan si bayi yang seolah mengenal suara Edwin dan mengerjap mata ketika Abangnya berkata.

"Sean gendong Abang dulu yuk.." kedua orang tua sang bayi terbengong saat Edwin maju mengambil alih gendongan Sean. Dengan hati-hati ditimangnya si bayi laki-laki di kedua lengan.

"Ssssttt cup cup. Sean capek nggak nangis terus, Dek?" Celoteh Edwin menatap miris merasakan suhu tubuh sang Adik yang masih lumayan tinggi saat digendongnya.

"Udah yuk makan dulu. Sean biar sama Edwin." Sena kembali berujar ke arah Yasa sambil mengikuti Edwin yang berjalan duduk di ranjang rawat Arsean dan meletakkan tiang infus yang dibawanya di samping sana.

Mau tak mau Yasa menurut. Dengan tatap sulit lepas dari putra kecilnya, ia menurut diseret Sena duduk di sofa membuka dua bungkus nasi yang dibawa Edwin untuk mereka.

"Dihabisin, nanti kalau kurang biar Edwin beliin lagi." Perintah dan canda Sena tak digubris.

Yasa makan dengan ogah-ogahan karena rasa hati yang sedang tak karuan. Gulai nangka dan ayam pop hanya hambar di lidah tak bisa dikecap nikmat oleh si pemetik bass.

Sedang di tepi ranjang Edwin sebenarnya sedikit kewalahan menggendong Arsean. Bukan apa, lengannya pegal tapi si bayi pasti akan menangis kencang kalau ia letakkan di tempat tidur saja. Mungkin ini saatnya ia berkorban, mengalah bagi adik kecilnya.

UNPREDICTABLE (BoysLove, Mpreg)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang