Stay Up Late

4.8K 475 55
                                    

Vote sama follow dulu lah, sayang :)








Denting keramik cangkir beradu sendok yang diputar konstan mengisi ruang dengar di area dapur saat malam menyaji kuasa. Hampir pukul setengah sebelas, dan hanya Sena yang tampak masih beraktivitas di rumah Pramudya.

Secangkir kopi susu dengan asap mengepul mencapai hidung dibawa menuju ruang perpustakaan, dimana biasanya Anita atau Ananta bekerja dengan berkas-berkasnya. Tapi kini meja kerja di sana diisi si anak termuda. Barsena tengah sibuk dengan tugas akhir bulannya, menyusun laporan evaluasi training yang ia tutori untuk segera dikirim pada Boss Johan.

Tentang Johan Sanjaya, si pemegang tahta tertinggi manajemen yang menaungi mereka, hari ini Sena datang menemuinya di kantor tanpa membawa Yasa. Pagi menjelang siang setelah membantu mencucikan baju-baju Muffin yang kata Lidya tidak boleh pakai mesin cuci, Sena berbenah diri dan berpamitan kembali ke ibu kota, menyelesaikan urusan dengan Johan.

Do'a restu dari orang tuanya beserta satu kecupan semangat di pipi dari Yasa menjadi modal yang membuat Sena begitu sumringah ketika menyetir. Bahkan semprotan Johan yang menyambut karena ia mangkir melatih juniornya beberapa waktu tak dijadikan beban pikiran.

"HEH?? JADI KALIAN BENERAN PUNYA ANAK??"

Sena masih ingin tertawa ketika mengingat respon Boss Johan saat ia mengatakan bahwa Yasa sudah melahirkan seorang bayi tampan yang mereka beri nama Arsean.

"Sssttt, jangan kenceng-kenceng Boss nanti ada media yang denger." Ujar Sena waktu itu. Mereka memang sepakat untuk tak mempublikasikan kelahiran Sean terlebih dahulu. Mungkin nanti saat mereka mengeluarkan lagu baru. Atau sekalian saja saat konser tunggal yang bahkan proposal acaranya saja belum disiapkan.

Kembali pada malam penuh tugas yang dibawa pulang oleh Barsena. Macam mahasiswa yang dikejar deadline tugas oleh dosen yang mengajar, esok hari Johan meminta laporan evaluasi anak asuhnya sudah harus ia terima di e-mail pribadinya. Entah Johan lupa atau memang tak tahu kalau ada sembilan orang termasuk Chandra yang ia ampu.

"Papa?" Kenapa tiba-tiba ada Ananta yang duduk di meja kerjanya sambil membaca buku?

Pria yang lebih tua melepaskan tatap pada buku serta membenarkan letak kaca mata bacanya. Melalui gerakan kepala ia titah sang putra untuk duduk di hadapannya.

"Jangan kebanyakan kopi, nanti asam lambungmu naik." Adalah kalimat pertama yang diucap Ananta malam itu.

"Baru gelas pertama, Pa. Starter pack biar nggak ngantuk." Timpal si pemuda.

Ananta tak merespon. Kembali menunduk pada buku yang kini ia angkat sehingga deret kata dan gambar lelaki berkaca mata yang menghias sampul tertangkap penglihatan Sena.

"John Lennon?" Ada kerut ragu saat buku biografi berjudul John Lennon : You May Say I'm a Dreamer tersebut ia lihat di tangan sang papa.

Yang Sena tahu Ananta bukan penggemar musik yang sampai mengulik jauh soal penyanyinya, bahkan membaca buku biografinya.

"Kenapa? Apanya yang aneh? Papa cuma suka isi bukunya. Banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari kehidupannya."

Satu seruputan kopi dan Sena mulai fokus, tertarik akan cara pandang bagaimana yang Papanya sirat pada tokoh musisi kontroversial tersebut.

"Dia front man-nya The Beatles kan? Mirip kaya kamu di FATE."

"Sena nggak sehebat dia, Pa."

"Jelas. Ngesahin Yasa aja kamu masih ragu." Kali ini tatap mirip Sena mengarah pada si anak kedua. Sepenuhnya melepaskan buku yang ia tutup sempurna.

UNPREDICTABLE (BoysLove, Mpreg)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang