Letting Go

4.9K 443 46
                                    

Selang waktu berganti, bersama bahagia yang direguk Sena dengan Yasa dan putra kecil mereka. Selang dua kali purnama setelah hari kelahiran Finanda Arsean Pramudya, hubungan kedua orang tuanya semakin lekat menjelang hari bahagia yang lama dipersiapkan matang.

"Sen, anaknya jangan dijahilin terus. Biar mandi dulu sini." Suara Yasa yang baru saja keluar dari kamar mandi menyiapkan air hangat untuk mandi si bayi.

Di atas ranjang vokalisnya tak terlalu peduli. Masih memainkan telunjuk kanannya yang digenggam oleh tangan kecil Arsean.

"Masih pagi, Sayang." Keluh Sena. Sesekali membuat ekspresi lucu dengan wajahnya untuk menggoda sang putra. Yang akan direspon senyum atau tawa kecil si bocah.

Di usia ke dua bulan ini perkembangan Arsean terlihat semakin pesat saja. Selain sudah mampu tengkurap sendiri, Arsean juga sudah mampu merespon dengan senyum atau tawa saat diajak bercanda. Mata turunan Sena itu juga akan mengikuti rangsangan saat ditunjukkan mainan-mainan berwarna terang dengan bunyi-bunyian.

"Kan katanya nanti kamu ada janji sama WO, Sen." Sambil berujar, Yasa sambil mengambil alih Sean dalam pangkuan. Melucuti pakaiannya bersiap memandikan sang putra.

Buru-buru Sena bangkit. "Ah, iya. Kok aku bisa lupa??? Padahal nanti ada meeting sama Boss Johan juga." Mereka sudah kembali ke apartment seminggu yang lalu ngomong-ngomong.

"Meeting sama Boss jam berapa??" Tanya Yasa dengan suara agak nyaring karena ia sudah di dalam kamar mandi namun pintunya ia biarkan terbuka.

"Habis makan siang sih."

"Paginya kamu ketemu WO dulu aja."

"Sama kamu kan?"

"Nggak bisaaaa. Aku mau anter Sean imunisasi ke dokter Maya."

"Dianter siapa? Mau aku anterin dulu?"

"Nggak usah, aku sama Edwin."

Sembari Yasa memandikan Sean, sang leader bangkit mengambilkan beberapa keprluan sang putra. Diapers, minyak telon, baju bayi, disiapkan di ranjang sebelum Yasa datang.

Beruntung sekali Cakrayasa punya pendamling yang peka dan cekatan. Bahkan setelah ini Sena masih punya pekerjaan tetap setiap paginya yang berlanjut semenjak di rumah orang tuanya. Mencucikan baju-baju dan selimut Arsean yang tidak boleh menggunakan mesin cuci, harus pakai tangan.

Bagian depan kemeja pendek  Yasa menjadi sedikit basah karena mendekap tubuh Arsean yang baru mandi. Meski memakai handuk, tapi badan si bayi tak sepenuhnya kering sepertinya.

Mata bulat sewarna malam mirip sang Papa bersinar indah saat dipakaikan baju sambil diajak bicara oleh Yasa.

"Wah, gantengnya yang mau pergi sama Papi. Mau kemana sih, Dek?"

"Mau imunisasi, Papi. Biar Sean nggak gampang sakit." Yang menjawab malah Sena yang ikut berbaring tengkurap di samping Sean. Menirukan suara bayi dengan intonasi kecilnya.

"Rambutnya tebel banget deh, kaya kamu Yas." Lanjut Sena dengan tangan kanan terulur mengelus, memainkan rambut Arsean yang kini menatapnya seolah memohon minta digendong.

"Iya-lah, kan anakku."

"Anak kita, sayang. Aku yang nanem bibitnya ini dulu."

Yasa hanya diam, menggelengkan kepala. Tak mau melayani obrolan dewasa Barsena yang pasti akan melebar kemana-mana nantinya.

"Udah sana nyuci dulu. Sekalian selimut yang di box bayi kamu turunin semua ikut dicuci." Kini Yasa sudah memangku Arsean, bersiap membuka tiga kancing teratasnya.

Sena mendengus. "Sumpah ya, Yas. Kita tuh personel band terkenal. Uang kita di rekening juga nggak sedigit dua digit tapi kenapa kamu nggak mau bawa pakaian anak kita ke laundry aja sih? Atau kita sewa ART aja biar kerjain semua pekerjaan rumah??"

UNPREDICTABLE (BoysLove, Mpreg)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang