Panic Attack

4.5K 423 26
                                    

Vote dulu baru scroll baca ;)




Deras rinai hujan bersahut gemuruh petir di puncak malam. Udara dingin menusuk tulang ditambah riuh tangis bayi dari kamar seberang, membuat sepasang penghuni kamar di sisi kanan apartment FATE setia terjaga membuka mata.

Dipa Lesmana dan Edwin Satriatama. Dua pemuda yang lahir di tahun yang sama. Saling duduk bersandar di kepala ranjang masing-masing, dengan selimut menutupi kaki mereka.

Hampir satu jam mereka larut dalam diam tanpa ada yang berujar kata. Sok memainkan smartphone padahal canggung merongrong sampai tak tahu harus melakukan apa.

"Arsean kenapa ya?" Adalah kalimat pertama yang diucap Dipa setelah tadi masuk kamar dan terjebak kaku bersama Edwin.

Yang lebih muda menggeleng. "Mungkin rewel. Tadi kan baru imunisasi."

Asumsi yang bisa diterima Dipa. Sang keyboardist mengangguk kepala.

Lagi, sepi antara mereka tak tahu harus diisi apa. Saling putar otak mencari ide, tapi belum satu jua jadi realita.

"Eung, Dip....  main PS yuk." Kini giliran Edwin. Menawarkan kebiasaan mereka dulu, jauh sebelum sang keyboardist tahu perasaannya.

"Hujan geledek begini, Win. Nggak ah."

Gagal. Penolakan Dipa toh jelas beralasan. Tak patut Edwin curiga jika Dipa menghindarinya.

Baru beberapa hari ini Edwin kembali rutin tidur di apartment FATE. Itupun biasanya ia kembali saat tengah malam setelah Dipa direnggut lelap. Dan kali ini saat keduanya terjaga, rasanya canggung. Bukan tak nyaman, hanya resah yang sama-sama dikekang badan.

"Udah ke butik buat ngukur jas belum, Dip?" Lagi, Edwin membuka kata. Mengusik soal jas seragam yang akan mereka gunakan di pernikahan Sena dan Yasa.

Kedua orang tua Arsean itu bilang, para member tinggal datang ke butik yang alamatnya sudah disahare di grup chat untuk diukur dan menentukan modelnya. Urusan kain, biaya dan lain-lain itu urusan mereka.

"Belum, Win. Belum sempet."

"Gue rencananya besok kesana. Mau bareng nggak?"

"Ah, besok gue ada urusan sama Bang Aji. Sama Bang Andi juga." Kalimat terakhir ditambahkan Dipa selang detik setelah kalimat sebelumnya. Seperti penegas saja.

"Kantor?"

"Bukan. Mau ketemu penyanyi yang pakai lagu kita."

"Oh, ok." Edwin kembali meluruskan badan yang sempat menghadap Dipa di ranjang seberang. "By the way soal Bang Aji, ada perkembangan?" Ragu sebenarnya Edwin menanya soal itu. Tapi jika bukan sekarang, mau menunggu sampai kapan?

"Ada."

Deg.

Ada katanya. Apa ini pertanda langkah Edwin betulan dijagal di depan?

"Kalian udah berhenti break-nya??" Penuh penasaran. Rasa keingin tahuan.

"Iya." Tenang. Tak tergambar emosi seperti apa yang tengah berkecamuk di benak Dipa sekarang.

"Oh, congrats deh kalau gitu."

Kemudian tawa terkikik Dipa nyaring terdengar di indera pendengar yang lebih muda. Memaksa Edwin lekat menatapnya, menaruh penuh fokus ke arahnya.

"Lo ada-ada aja, Win. Masa orang putus lo selametin?" Lalu tertawa lagi. Miris membercandai nasib percintaannya sendiri.

"Dip... sorry.." walau penuh tawa tapi Edwin yakin jauh di dalam sana Dipa menangis luka.

"Ck, no need Win. Emang udah harusnya begini. Gue bebas, Bang Aji bebas. Impas."

"Maksud lo? Bukannya kalian saling mencintai?"

UNPREDICTABLE (BoysLove, Mpreg)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang