Remang ruangan apartment menyambut kedatangan Aji yang pulang hampir larut malam. Tujuan awalnya yang hendak menyervice kendaraan mendadak melipir ke arah club malam saat merasa otak penatnya butuh asupan.
Beberapa sloki alkohol mengguyur kerongkongan dengan rasa panas. Hanya menimbulkan sedikit pening, karena toleran tingginya atas si barang haram.
Sampai di kamarnya sendiri ia meraba dinding, menyalakan lampu sehingga benderang menampakkan seisi ruang.
Loh, kok dia tidur di sini. Bukannya tadi gue denger............ -batin Aji mendapati ranjang milik Yasa terisi dengan siluet tersebut terbungkus selimut sampai kepala
Padahal tadi saat lewat ruang tengah Aji mendengar jelas desahan laknat dari arah kamar Sena. Lalu siapa?
"Baaang, lampunya matiin dong silau."
Aji menghembus nafas lega. Suara rengekan itu jelas milik anggota termudanya. Ia mendekat menyibak selimut yang menutupi wajah Edwin, secara tak langsung memaksa drummernya bangun.
"Ngapain lo disini?"
"Ya tidur lah. Emang lo liatnya apa? Masa bikin jamu?" Sewot si bungsu berniat memasang selimutnya lagi namun ditahan oleh Aji.
"Kenapa nggak di kamar lo sendiri?" Aji duduk di ranjangnya sendiri setelah yakin Edwin tak tidur lagi.
"Dikunciin pintunya sama Dipa. Mau tidur di sofa tapi Bang Sena sama Kak Yasa berisik banget, makanya gue ke sini aja." Jawab si pemuda yang kini mengambil smartphone di nakas mengecek beberapa media sosialnya.
"Kaya pasutri pisah ranjang aja kalian pakai dikunciin segala. Mau nyaingin Yasa Sena apa gimana?"
"Pasutri apanya, dia aja maunya sama lo." Cibir Edwin sangat lirih. Beruntung Aji yang sedang mengganti bajunya dengan yang lebih santai tak cukup jelas mendengarnya.
"Hah? Bilang apa lo barusan?"
"Elo. Bengkel mana yang buka sampai tengah malem gini?" Sang drummer berhasil mengalihkan topik. Belum siap hati membuka lukanya pada si sulung yang tanpa sengaja ikut andil mencipta sayatannya.
"Gue mampir nyari ciu. Biasa, lagi pening."
Edwin agak terkikik atas candaan Aji. Bar atau club mana yang kira-kira jual ciu?
"Kali ini soal apa?"
Sebutir painkiller dari laci nakas ditenggak Aji dengan bantuan air mineral. "Pribadi sih. Urusannya hati."
"Buset, sok banget lo."
"Bangsat."
Beberapa waktu diisi hening saja. Sampai Aji memutuskan kembali memulai kata. "Win, menurut lo kalau kita mau ngelupain seseorang dengan perantara orang lain, adil nggak sih?"
"Maksud lo gimana, Bang? Kok gue nggak paham?"
"Ck, jadi gini. Seumpama gue suka sama si A, tapi nggak bisa bersatu. Terus gue mau coba move on lupain si A ini dengan cara jalanin hubungan sama si B yang kayaknya cinta sama gue."
"Lo nya cinta nggak sama si B?"
Aji mengangkat bahu. "Mungkin belum. Disitu masalahnya. Menurut lo kalau gue jalanin sama si B, bakal adil nggak sih buat dia?"
"Itu namanya pelarian, Bang. Iya kalau udah dijalanin lama-lama lo cinta juga sama si B, kalau tetep nggak cinta gimana? Mau lo tinggalin? Lagian cinta sepihak tuh nggak enak, Bang. Kasihan si B."
Diam-diam si sulung membenarkan kalimat demi kalimat nasehat dari si bungsu. Kali ini ia akui Edwin lebih dewasa darinya. Bukan secara fisik, tapi problem solvingnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNPREDICTABLE (BoysLove, Mpreg)
RomanceCerita tentang lima pemuda yang tergabung dalam satu grup band. Dimana impian, perjuangan, luka, dan segala hal tak terduga terlewati bersama di antara mereka. Warning!! * Boys love * Mpreg * 18+ * Local * Once again, it's Mpreg * Don't like, don't...