Growing Pains

4.5K 465 58
                                    

Dingin menusuk tulang kala punggung ringkih kurang istirahat menyentuh sandaran kursi tunggu berbahan stainless steel tebal. Hampir habis daya Barsena dipaksa bertahan sampai lebih jam sepuluh malam.

Di lorong yang sama ada Edwin dan Dipa yang sama kalutnya dengan Sena. Menunggu kabar dari para tenaga kesehatan yang menangani operasi Aji di dalam ruang. Lengan kiri sang gitaris patah akibat dikeroyok dua bodyguard Arik yang tak sepadan.

Sedang di depan pintu ada Andi yang mondar-mandir menelfon Johan dan pengacara sewaannya yang mengurus soal press conference esok hari.

"Boss Johan udah umumin press conference besok di medsos manajemen." Satu pemberitahuan dari Andi membuat ketiga member FATE langsung membuka smartphone-nya sendiri-sendiri, memastikan.

"Disini ditulis yang bakal bicara Kak Yasa sama Bang Sena, Bang?" Andi mengangguk atas pertanyaan Edwin. "Tapi kan Kak Yasa.........." Tanpa dilanjut-pun yang lain paham kemana arah kalimat Edwin selanjutnya.

Andi berdecak. Mengacak rambutnya yang sudah kusut menjadi semakin masai. Telfon sang putri yang merengek ingin tidur dengannya malam ini terpaksa ditolak halus karena tuntutan pekerjaan yang mendera terus. "Terpaksa gue yang maju. Tapi tanpa Sena."

Tentu saja anak-anak asuhnya terperanjat. "Kok gitu??"

"Karena Boss Johan mau main aman. Kalau Yasa nggak ada, Boss mau kita keluarin statement bahwa Yasa memang hamil, tapi bukan anak Sena. Bilang kalau kita nggak tau siapa ayahnya dan kita aman, biarin Yasa keluar."

"BANGSAT!! APA-APAAN? KOK MAIN KELUAR-KELUAR AJA? BUKANNYA YASA TUH KESAYANGANNYA???"

"Sen, tenang Sen. Ini rumah sakit, udah malem pula." Andi menepuk pundak Sena dan memaksa sang leader kembali duduk.

Meski dengan nafas yang masih memburu kesal, Barsena duduk dengan tatapan tajam. "Tapi maksud si Johan tuh apaan, Bang? Yasa nggak ada bilang mau keluar kan?"

Nafas Andi dihembus lemah. "Sayangnya ada, Sen."

"HAHH???"

"Kusuma Wardhanu yang hubungin Boss Johan langsung. Bahkan Beliau siap bayar ganti rugi kontrak kalau nantinya Yasa betulan mundur keluar."

"Fuck! Mana ada FATE tapi isinya nggak ada C? FATE itu From A to E, jelas-jelas isinya lima kan????" Edwin ikut-ikutan dibakar emosi.

Sementara Dipa yang semenjak tadi tanpa suara lebih memilih diam. Pikirannya kacau tak karuan semenjak diberi kabar jikalau Aji masuk rumah sakit karena dipukuli orang-orang Arik. Apalagi saat sampai di rumah sakit ia tak sempat menemui Aji yang ternyata sudah masuk ruang tindakan operasi. Rasa khawatirnya betulan membelenggu diri.

"Terus kita harus gimana, Kids?? Bahkan Boss kalian aja udah nyerah." Pasrah Andi.

"Bawa Kak Yasa besok, Bang. Mau nggak mau kita karus bawa Kak Yasa besok, umumin ke semua orang kalau anak yang dikandung Kak Yasa itu anak Bang Sena."

Mendengar opsi telak dari si bungsu, Sena jadi teringat akan sesuatu. Sesuatu penting yang sempat Tante Sekar infokan padanya kemarin malam. "Oh, shit!! Arik bakal bawa pergi Yasa besok, Win!!!"






....







Cerah mentari muda tak terlalu kentara ditutup awan berarak yang sudah menghias angkasa semenjak pagi buta. Hembus angin menerbangkan dedaunan kering dari tangkai yang semakin rapuh. Menyajikan suasana pilu sedu.

Tak jauh berbeda dengan suasana kamar Cakrayasa di rumah keluarga Kusuma Wardhanu yang terletak di lantai dua. Pemuda yang tengah hamil itu sejak tadi hanya duduk di ujung ranjang dengan tatap kosong. Jejak air mata mengering seiring lelah netra cokelatnya terus dipaksa bersekresi.

UNPREDICTABLE (BoysLove, Mpreg)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang