Day By Day

4.7K 463 28
                                    

Hari demi hari terlewati membawa riak kenangan di tengah hamparan ladang kehidupan. Ada yang datang, ada pula yang pergi. Tak ada yang tahu pasti tentang masa depan yang menunggu di penghujung hari.

Genap tiga puluh delapan minggu Muffin jadi penghuni ruang nyaman kandungan Yasa. Dan tiga minggu lebih sang bassis dibawa Sena tinggal di rumah orang tuanya demi menghindari stress dan pengaruh buruk perceraian orang tuanya pada kesehatan si manis.

Dua hari lalu Sekar sempat menelfon sang putra tunggal, mengabarkan tentang proses perceraiannya yang masih sampai di tahap mediasi. Harusnya Yasa senang masih ada secuil kesempatan bagi orang tuanya merajut tali kasih yang terkoyak. Tapi sayang menurut Yasa hal terbaik untuk sang Mama adalah lepas dari Papanya. Dhanu, meskipun darahnya mengalir dalam tubuh Yasa, tapi tak ragu bagi sang pemuda menilai buruk atas kepribadian Ayahandanya.

"Semuanya bagus, sehat dan baik-baik aja. Nanti saya kasih pil tambah darah lagi ya, jangan lupa diminum sesuai resep." Ratih, seorang bidan yang bekerja di pusat kesehatan masyarakat dekat kediaman Ananta Pramudya. Wanita yang usianya baru di awal tiga puluh dengan penampilan santun bersahaja.

Ratih dipanggil oleh Lidya ke rumahnya dan baru saja memeriksa keadaan Yasa dan Muffin. Memasukkan stetoskop dan tensimeter kembali ke dalam tas kerjanya.

"Kira-kira berapa hari lagi ya, Bu?" Tanya Yasa sambil berusaha duduk dari posisinya berbaring, dibantu sang bidan.

Gerakan jemari lentik Yasa yang membuat gerakan memutar di permukaan perut secara tak langsung menyirat arah pertanyaannya pada Ratih.

"Perkiraannya awal bulan depan, Mas Yasa. Mungkin tanggal 5 atau 6."

"Masih seminggu lebih ya, saya bisa mempersiapkan diri lebih lama."

Sang bidan tersenyum. Teringat rencana persalinan yang sudah Yasa diskusikan dengannya dan Sena. Menatap raut panik yang rapi ditutup tarikan bibir secerah mentari. Mungkin karena ini pengalaman pertama Yasa, yang bahkan kehamilannya pun tak direncana.

"Jangan takut Mas, semuanya pasti baik-baik saja. Mas Yasa pasti bisa saat hari itu tiba. Bukannya memang sudah ditunggu-tunggu kan kelahiran Adek bayi?"

"Iya, Bu. Tapi Ibu pasti bantu kami kan?"

"Pasti, Mas."

Cklek..

Suara daun pintu yang dibuka dari luar mengundang atensi Yasa dan Bu Ratih yang tengah berinteraksi.

"Ck, ketuk dulu pintunya kan bisa? Kebiasaan deh." Kesal Yasa mendapati yang masuk adalah Sena.

Pemuda yang hanya mengenakan kaos oblong dan celana batik pendek itu mendekat ke arah almari berwarna cokelat muda dengan gambar beruang yang ada di pojok ruang. "Maaf, sayang. Aku mau ambil baju Muffin lagi."

"Emang yang lain udah?" Tanya Yasa.

"Udah, udah dijemur juga. Makanya ini ambil lagi mumpung tempat jemurnya masih sisa."

Sudah beberapa hari ini Sena mencicil mencuci baju-baju bayi yang mereka persiapkan untuk Muffin. Kata Lidya kalau tak dicuci dulu nanti tidak steril untuk si bayi baru lahir. Pun jua Sena tak boleh memakai mesin cuci karena serat baju bayi punya bahan lebih lembut dan akan lebih mudah koyak jika menggunakan mesin cuci. Makanya Sena dengan suka rela mencuci manual menggunakan tangannya.

Kenapa bukan Yasa? Dengan perut sebesar itu berdiri atau duduk terlalu lama saja sudah membuat Yasa kewalahan.







....








Beberapa minggu berlalu tak hanya dibiarkan Aji jadi waktu semu yang sia-sia. Rasa kosong di hatinya tak ingin ia isi dengan sembarangan seperti sebelumnya, hanya sebagai penutup luka saja. Luka menganga di hati dibiarkan terbuka, menunggu suatu saat kering dengan sendirinya.

UNPREDICTABLE (BoysLove, Mpreg)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang