2. Kakakku Pekerja Keras

10.7K 900 24
                                    

Jam 4 subuh Baron terjaga di gelapnya malam yang masih ramai akan bunyi jangkrik dan suara hewan kecil lainnya yang tak kalah mendominasi.

Baron, "Gue ketiduran lagi" Dia menarik nafas kemudian bangkit dan langsung duduk sila di atas sajadahnya, Rupanya ia tidur dengan posisi kaki bersila. Baron memijit tengkuknya yang pegal sebab tidur tak menggunakan bantal selama 3 jam-an. 

Lantas meraba-raba di dinding bermaksud menemukan sekaligus menyalakan saklar lampu. Namun mau sampai bosan pun memencetnya, Cahaya yang diharapkannya keluar dari lampu tak juga kunjung menerangi kamarnya. Kembali bernafas panjang, Sepertinya pulsa listrik di rumahnya habis lagi.

Berwajah datar, Baron putar arah ke meja di belakangnya, Setelah dapat benda yang dicari ia bergegas memantik macis tepat di sumbu lilin. Yang pertama disinari cahaya lilin adalah muka Baron yang kusut layaknya cucian belum diseterika sebulan.

Dikembalikannya lilin ke atas meja sebelum berdiri melepas sarung serta peci dikepala. Baron meraih lilin dan atribut sholatnya, Keluar lalu berhenti di depan kamar adiknya.

Tok...tok...tok...

Baron, "Irin? Bangun dek, Ayo sholat subuh"

Ceklek...

Perlahan pintu terbuka, Ririn pun tak kalah berantakannya dibandingkan dengannya, "Aku halangan bang" Gadis itu menjawab sambil mengucek-ngucek matanya.

Baron mengulas senyum maklum, "Yaudah kalo gitu tidur lagi, Ntar Abang bangunin jam 5" Antara sadar dan tidak Ririn mengangguk mengerti lalu menutup pintunya.

Tiba di sumur belakang Baron meletakkan lilin pada bibir sumur, Ditangannya terdapat loyang besar, gayung serta timba air dan terakhir sabun mandi, Tak lupa pula handuk di pundaknya. Ia pun mulai mengisi loyang dengan air sampai penuh kemudian menanggalkan pakaiannya, Menyisakan celana dalam barulah Baron mandi.

Kerap kali ia menggigil juga meringis saat dingin air menyentuh kulitnya, Terutama dibagian wajahnya yang lebam. Habis mandi Baron mencuci bajunya, Dia tak mau menyusahkan sang adik dengan menyuruhnya untuk mencucikan pakaian miliknya. Selagi mampu mengerjakannya maka Baron akan melakukannya sendiri, Kecuali memasak.

Untuk yang satu ini Baron angkat tangan, Dia menyerah soal urusan dapur. Pernah sekali ketika Ririn sakit Baron berencana membuatkan adiknya bubur. Bukannya masak, Ia hampir membakar dapurnya sendiri. Dari situ Baron akan mengeluh jika berkaitan dengan pekerjaan perempuan tersebut.

Hanya berlapiskan handuk selutut Baron menjemur pakaiannya di tali jemuran belakang rumahnya. Dibawah cahaya lilin, Bentuk tubuh kekar dan roti sobek di perutnya terlihat jelas. Tetes demi tetes air berjatuhan dari tubuh juga rambut cepaknya, Baron nampak sangat menggairahkan serta seksi di saat yang bersamaan.

Baron membereskan peralatan mandi, Terakhir mengambil lilin dan membawa semuanya ke dalam rumah.

Kini remaja tersebut sedang mengerjakan sholat subuh dengan khusyuk, Acuh walaupun lutut kirinya hampir patah setiap melakukan gerakan sholat. Lebih-lebih semalam, Rasanya bagian persendiannya seakan remuk.

Tepat pukul 5 pagi Baron mengetuk kamar adiknya, "Bangun dek, Katamu hari ini ada tugas piket"

"Iya bang!" Sahut Ririn dari dalam. Berselang beberapa detik adiknya keluar dengan membawa lilin, Nampaknya gadis itu sudah tau masalah pulsa listrik yang habis. Kali ini penampilan Ririn sedikit lebih rapi daripada sebelumnya, Mungkin habis sisiran pikir Baron.

Baron, "Sana masak dulu habis itu mandi" Perintahnya yang langsung diangguki oleh Ririn.

Menatap punggung sang adik, Baron bernafas kasar. Ririn itu sangat penurut maka tak heran perawan adiknya bisa raib begitu saja, Dibentak sedikit saja pasti langsung menangis. Sekarang dia tengah dilanda kebingungan, Apa iya pria yang semalam berkelahi dengannya adalah si pelaku? Pasalnya yang mereka katakan ada benarnya karena nama seperti itu memang banyak sekali di sekolah sebelah.

Bukan tanpa alasan Baron bisa tau, Dia meminta bantuan Vito, Sahabatnya di sekolah. Anak juragan buah itu sangat suka keluyuran atau bahkan tawuran antar pelajar, Jadi otomatis sudah hapal nama-nama musuh dari sekolah-sekolah tetangga mereka.

Tidak, Ia tak mungkin salah. Baron segera menyusul Ririn ke dapur. Tentunya bukan untuk memasak, Melainkan menunggu sekaligus menemani sebab Ririn agak penakut. Maklumlah... Namanya juga perempuan, Mereka semua adalah makhluk paling penakut di muka bumi.

Ririn, "Bang Baron habis kemana semalam? Jangan bohong sama Aku" Tanyanya disela-sela mencuci beras.

Baron, "Gak kemana-mana kok, Sumpah"

Ririn, "Huh! Bohong aja terus Bang! Ntar dosanya menumpuk tau rasa!" Gerutu gadis itu mencebikkan bibirnya tanpa menatap kakaknya yang tengah duduk di meja makan.

Ia terkikik melihat kelakuan adiknya. Baron tak mau menambah beban pikiran Ririn. Waktu itu dia marah saat tau adiknya sudah tak perawan. Lebih murka lagi kala Ririn baru menceritakannya setelah seminggu kejadian itu terjadi padanya. Usai dibentak dan didesak terus menerus olehnya akhirnya dalam tersedu-sedu sang adik mengatakan nama pelakunya.

Trikandraputra, Nama itu membuatnya menggertakkan gigi.

Sekitar setengah jam kemudian Ririn mulai bolak balik menghidangkan makanan di meja dan setelahnya ikut duduk.

Baron, "Mandi dulu, Nggak gerah apa yang dibawah?" Sindirnya seraya tertawa kecil.

Ririn cemberut, "Apaan sih Bang! Malu-maluin ah!" Sungut remaja itu kesal.

Baron, "Ntar becek hahaha...!"

Dengan sebal Ririn melempari kakaknya sendok makan yang untungnya Baron hindari cepat. Ada-ada saja ulah pria itu setiap paginya.

Subuh ini mereka sarapan tempe goreng sambal terasi ala Ririn. Kakaknya adalah pecinta makanan pedas, Jadi selagi mampu atau ada bahan Ririn akan membuatkan makanan favorit kakaknya tersebut. Namun wajahnya berubah murung saat mengingat beras di tempat penyimpanan nyaris habis.

Dan Baron sadar akannya, Jadi bertanya, "Beras hampir habis lagi ya?" Ririn mengangguk lesu sembari menatap kosong makanannya.

Mengulas senyum, Baron merogoh sakunya dan meletakkan 3 lembar uang merah di meja, "Ini, Kamu sendiri yang pilih beras di kiosnya Bu Puput nanti terus titip disana sekalian, Ntar pulang sekolah Abang ambil"

Ririn memandang sendu sang kakak, "Terus uang SPP bulanan Abang gimana?" Karena Ririn tau pasti uang itu aslinya digunakan kakaknya guna membayar SPP yang telah menunggak 3 bulan.

Baron, "Udah gak usah kamu pikirin masalah itu, Aku kan tinggal kerja lagi" Hiburnya.

Tak ingin banyak tanggapan, Ririn melanjutkan makannya dalam diam. Dia kesal terlahir sebagai perempuan. Bukannya tak bersyukur, Kekesalannya lebih mengarah pada ketidakmampuannya untuk membantu kakaknya mencari uang. Teman-teman sekolahnya sering mengaku melihat kakaknya dimana-mana, Bukan keluyuran tapi sedang bekerja. Andai saja orang tua mereka masih hidup... Atau setidaknya Om maupun Tantenya bersedia menampung keduanya pasti hidup mereka takkan seperti ini. 

Sekarang ditambah soal fakta Ririn sudah tak perawan, Kakaknya jelas tertekan akan hal ini. Meski selalu memakai topeng baik-baik saja namun sebagai adik ia tahu bahwa Kakaknya itu sedang stres.

Baron, "Irin... Dek!" Panggilnya setengah berteriak.

Ririn tersentak dari lamunannya lalu menoleh, "Apa Bang?"

Baron, "Ngelamunin apa kamu? Udah dibilangin jangan dipikirin, Soal SPP itu gampang Rin, Ntar kalo gurunya nagih Abang piting lehernya!" Celetuknya bercanda.

Ririn tertawa geli, "Kualat Bang, Ntar dikeluarin dari sekolah"

Baron, "Mereka gak berani Rin, Abangmu ini kan kuat!" Sanggahnya ponggah. Gadis itu menatapnya ngeri sebelum kembali makan.

Ririn mencibir, "Narsis!"

Baron, "Kan fakta" Jawabnya sombong. Remaja yang lebih muda mengendik acuh yang dibalas kekehan geli oleh Baron.








Mohon di tekan ⭐👈 agar si penulis tidak bete lagi🤧 Jangan lupa juga untuk berkomentar supaya Penulis jadi bahagia bisa berinteraksi dengan pembaca yang sudah rela waktu demi membaca karya kami

LOVE YOU, RASCAL!! (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang