15. Hubungan Aneh

6.1K 604 66
                                    

Sore harinya Baron pulang ke rumahnya. Didapatinya sang adik tengah mencuci baju di sumur belakang.

Menyadari kehadiran sang kakak, Ririn membersihkan tanganya dari busa sabun lalu menghampiri dan mencium punggung tangan Baron, "Capek ya Bang?" Itu adalah pertanyaan yang keluar lebih dulu bibirnya. Gadis itu harus mengangkat kepalanya agar dapat melihat wajah lelah kakaknya.

Baron menggeleng, "Nggak, Cuma ya itu... Rumahnya gede banget dah! Punggungku rasanya mau patah!" Baron meraba punggungnya.

Ririn, "Tapi sesuai itu sama gajinya Bang" Celetuknya terkekeh.

Baron, "Iya juga sih, Nih kamu simpan yang 400, Beli kebutuhan dapur sama berasnya juga ditambah, 200-nya Abang mau pake buat beli baju, Bajuku udah banyak yang sempitan di badan" Dia menyerahkan uang 600 Rp kepada Ririn.

Gadis itu bertanya-tanya dalam hati untuk apa lagi sisa 2 lembaran uang merah di tangannya, "Bang, Yang 200 ini buat apa?" Memberanikan diri bertanya.

Cowok sipit itu mengusak rambut adiknya, "Buat kamu lah! Beli baju atau apa kek, Ingat, Jangan sampai nunggak lagi uang kasnya, Oke?" Nasehatnya.

Mata Ririn berembun, Sontak merengkuh Abangnya, "Hiks... Makasih Bang... Maaf... Irin minta maaf Bang..."

Baron tentu terkesiap, "Kok nangis? Kamu masih kepikiran soal uang Abang yang kamu pake itu ya? Udah gak usah dipusingin, Kan sekarang udah ada gantinya, Doakan semoga kerjaan Abang kali ini lancar terus biar kedepannya kita gak bakal kekurangan lagi"

Ia balas memeluk erat tubuh Ririn. Selain adiknya, Tak ada lagi harapan untuknya bertahan hidup di dunia yang keras dan kejam ini. Ririn satu-satunya alasan Baron bisa tegar hingga sekarang. Keluarga dari kedua pihak orang tuanya menutup mata akan mereka, Jadi sebagai lelaki Baron akan menunjukkan pada orang-orang itu bahwa dia dan adiknya bisa hidup lebih baik dari hari ke hari.

Ririn mengaminkan, "Amin..."

Dengan pelan Baron melepas pelukannya, "Udah nangisnya, Masakin Abang tempe goreng dong, Pengen banget nih!"

Remaja itu sontak berpose hormat, "Siap Bang! Tapi tunggu abis Irin nyuci ya?"

Baron melirik kearah tumpukan baju yang telah disusun, Sedikit menyipit saat samar-samar menemukan selimutnya diantara tumpukan baju bersih tersebut. Menatap adiknya sambil menunjuk, "Dek, Itu selimut Abang kan?"

Sekilas gadis itu menoleh lalu mengangguk, "Iya Bang, Kenapa?"

Baron meringis menggaruk kepalanya gusar, "Kok gak ngomong dulu sama aku kalo mau nyuci selimut sih Dek, Emang kamu gak liat apa itu jemuran isinya apaan?"

Dengan bingung Ririn mengalihkan kepalanya ke tali jemuran. Awalnya ia masih belum mengerti tetapi sejurus setelahnya gadis itu menyengir kuda, "Maaf Bang, Irin gak ngecek di lemari tadi, Jadi langsung main nyuci aja, Sekarang gimana dong?"

Baron, "Mana ngerti abang dek, Selimutku kan cuma dua, Terus hari ini juga gak panas banget, Pasti yang itu masih basah!" Kakak beradik itu sama-sama pusing sendiri.

Ririn, "Abang beli aja selimut baru di pasar malam, Sebentar kan malam Senin Bang, Lagian Abang juga kan gak ada kerja kan?" Sarannya.

Lelaki itu menimbang-nimbang usulan sang adik. Boleh juga, Hitung-hitung Baron sekalian jalan-jalan di sana sebab sudah lama ia tak pernah lagi menyambangi tempat tersebut. Pasar itu selalu ada di malam Senin, Itulah sebabnya hari itu baik dia maupun penjual lainnya takkan berjualan di lapangan karena setiap malam Senin tempat itu akan dijadikan pasar malam.

Akhirnya Baron setuju akan usulan Ririn, "Okelah, Tapi kamu gak apa-apa kan Abang tinggal sendirian di rumah?" Walau dia sangat ingin kesana, Namun persetujuan adiknya tetap harus ia minta lebih dulu.

Ririn tersenyum, "Santai Bang, Yang penting Irin kunci pintu, Abang ngelilingin pasar juga gak masalah"

_

Malam ini Baron tengah bersiap-siap di kamarnya. Sengaja remaja itu mandi agak malam supaya lebih segar dan tidak gerah pada saat bersenggolan dengan orang-orang di pasar nantinya. Baron menggenakan jeans hitam dipadu jaket bertudung merah dan berdalaman kaos putih polos.

Dia mengambil parfum dan menyemprotkannya keseluruh tubuh lalu memandang penuh bangga di depan cermin lemarinya, "Tinggal ngacak rambut doang yang belum" Baron mengacaukan posisi rambutnya hingga berantakan, Perfect menurutnya.

Adiknya bahkan tertegun menatap kakaknya yang benar-benar ganteng ini, "Bang, Kalo pulang nanti Ririn nitip beli pembalut di kios boleh nggak?" Pintanya bercanda sembari mengantarkan abangnya ke depan.

Namun Baron yang sama sekali tidak mengerti arti dari benda yang dimaksud Ririn pun mengangguk, "Cuma itu doang? Gak minta yang lain?"

Ririn, "Gak jadi Bang, Ntar Abang malu" Setahunya kakaknya ini mungkin tak tahu dengan pembalut wanita.

Baron mengerenyit, "Kenapa harus malu? Udahlah ntar Abang beliin" Jawabnya yakin.

Gadis itu meringis ragu, "Be-beneran nih?"

Si Abang manggut-manggut mantap, "Yakinlah! Yaudah kalo gitu Abang mau jalan-jalan dulu, Kamu hati-hati di rumah, Ntar kalo ada apa-apa terus aku belum pulang kamu langsung ke rumahnya Bu Ina"

Ririn, "Iya Bang, Irin ngerti"

Baron, "Assalamualaikum!"

Ririn, "Waalaikum salam!" Ujarnya diambang pintu. Terus memandang Kakaknya yang semakin mengecil dikarenakan jarak sebelum menutup pintu serta menguncinya dari dalam.

Dirogohnya kantung celananya. Jemarinya gemetar, wajahnya pucat kala melihat nama yang tertulis di layar hpnya. Abangnya bahkan rela menabung agar dapat membelikannya Hp ini. Tetapi... Ririn mengigit bibirnya disusul suara isakan kecil dari mulutnya. Perlahan ambruk ke lantai dan bersandar di pintu sambil sekilas mendongak.

Ririn, "Maaf Bang... Irin minta maaf banget sama Abang... Irin adik yang jahat, Udah buat Abang kena masalah sama orang yang bukan bertanggung jawab atas ini..." Lirihnya sembari terus memperhatikan nama penelpon di hpnya.

Terhitung sudah ada lebih dari 15 panggilan tak terjawab. Ririn sengaja tak mengangkatnya sebab masih ada sang Kakak, Beruntungnya ia membisukan nada dering serta getar agar Baron tidak menyadari.

'Klik!' Ririn menekan tombol hijau dan menempelkan benda itu di telinganya, "Ha-halo kak?" Sapanya gugup.

Dari sana terdengar suara halus, "Halo juga dek, Kenapa kamu gak ngangkat telepon kakak?" Nada bicaranya terdengar kecewa.

Ririn, "Ma-maaf kak, Tadi aku lagi di dapur jadi gak denger telepon kakak" Jawabnya berbohong.

"Ooh... Gitu, Dari kemarin kamu jauhin kakak terus, Kakak gak tau apa masalahnya tapi boleh nggak kakak minta malam ini kamu ngedate sama Kakak" Kata si penelepon.

Ia gelisah, "Itu kak, Ha-hari ini Aku lagi halangan terus perut aku sakit jadi gak bisa keluar kemana-mana" Tutur Ririn beralasan.

"Beneran? Kamu udah minum obat pereda nyeri belum? Atau mau kakak cari alamatmu sekarang, Sekalian ngelepas rindu sama nganterin pembalut kali aja kamu kehabisan" Tanya seseorang penuh kekhawatiran dari seberang.

Gadis itu membungkam mulutnya dengan tangan, "Enggak! Gak usah, Gak usah kesini!" Ririn sedikit menaikkan oktaf suaranya.

Hening... Nampaknya si penelepon agak kaget mendengar bentakannya. Isakan Ririn hampir meledak jika saja telapak tangannya tak siap bertengger menghalau mulutnya. Nafasnya keluar masuk tak beraturan, Tubuhnya menggigil hebat, Juga air matanya terus mengalir melewati pipinya tanpa berniat berhenti.

Ririn melanjutkan, "Bisa nggak kakak itu berhenti ganggu hidup aku!? Tau nggak gegara perawanku kakak ambil, Aku asal sebut nama orang dan Abangku mukul orang yang gak salah itu, Walaupun dia bohong tapi aku tau!! Aku gak mungkin kasih tau dia yang sebenernya tentang hubungan aneh ini, Kita sama-sama Perempuan Kak!!" Teriaknya sebelum mematikan hp dan melemparnya.
















Mohon di tekan ⭐👈 agar si penulis tidak bete lagi🤧 Jangan lupa juga untuk berkomentar suapaya Penulis jadi bahagia bisa berinteraksi dengan pembaca yang sudah rela waktu demi membaca karyanya

LOVE YOU, RASCAL!! (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang