10. Penjual Naget

5.4K 565 15
                                    

Sebelum jam tujuh, Pokoknya sehabis menunaikan ibadah sholat Maghrib, Baron mendorong pelan gerobaknya melewati kompleks perumahan mengarah ke lapangan besar yang ada tak jauh dari sekolahnya.

Hampir setiap malam kecuali malam Senin, Di lapangan desa akan ramai oleh penjual-penjual dengan beraneka macam jenis makanan yang mereka jual disana. Juga tak ketinggalan kalangan remaja dan orang tua datang kesana, Entah sekedar jajan atau mengajak keluarga mereka jalan-jalan. Baron pun terhitung telah 4 bulanan lebih berjualan di situ sehingga baik orang tua maupun remaja sudah kenal dengannya.

Cuma sedikit orang yang akan memanggilnya Kakak, Adik, atau Dek semisal si pembeli lebih tua darinya. Karena sebagian besar mengenalnya dengan nama "Mas Sipit". Baron tentu tak marah dinamai demikian sebab apa yang mereka ucapkan memang kebenaran yang ada di tubuhnya, Yakni matanya benar-benar sipit.

Jangan mengira Bapak dan ibunya adalah keturunan cina, Salah besar. Dia tidak tahu nenek moyangnya, tapi Teruntuk Orang tua, Bapak dan ibunya asli orang desa Mepa. Lebih-lebih bukan hanya Baron seorang yang punya mata sipit, Paman dan bude dari sebelah Bapaknya juga bermata sipit meski tak semuanya.

Sesampainya di lapangan ia menempatkan gerobaknya disamping gerobak bubur ayam Pak Muli. Selain berjualan disekolah, Pak Muli juga berjualan malam di lapangan.

Pak Muli tersenyum mendapati remaja sipit itu tengah duduk beralaskan sendal di rumput lapangan, "Capek Bar?" Celetuknya basa-basi.

Dengan ngos-ngosan Baron melihat Pak Muli. Balas senyum dan menjawab, "Iya Pak hehehe..." Cengirnya, Kedua matanya hampir memejam.

5 menit beristirahat Baron kembali berdiri dan mulai menghidupkan kompor dengan api sedang guna memanaskan minyak, berjaga-jaga jikalau ada pembeli.

"Mas sipit, Kasih pangsit goreng harga 10 ribu dong yang pedes, Ntar jadiin 2 bungkus ya" Ucap seorang gadis tersenyum padanya.

Baron yang menunduk kemudian menegakkan kepalanya, "Oke Dek, Tunggu bentar ya, Soalnya minyaknya belum terlalu panas" Si gadis mengangguk mengerti.

Melihat minyak sedikit mengeluarkan asap, Barulah Baron mengambil segenggam pangsit dan menggorengnya sampai kecoklatan kemudian meniriskannya. Memang dia tidak tau memasak, Namun untuk goreng-menggoreng naget, Baron jagonya.

Dibukanya kresek putih sebelum menjepit satu-persatu pangsit yang panas menggunakan sumpit ke dalam kresek ditangannya. Baron menuang sambal pedas buatan rumahnya, menusuk salah satu pangsit dengan tusuk bambu kecil dan menyerahkannya kepada pelanggannya.

Baron, "Ini dek, 2 bungkus yang pedes kan?" Dia menyerahkan dua bungkus pangsit pesanan si gadis.

"Iya Mas sipit, Makasih ya, Nih uangnya"

Baron, "Sama-sama Dek" Diterimanya uang dari gadis itu dan menatap lembaran kertas ditangannya dengan bahagia, Rezeki pertamanya. Lalu menyimpan uang tersebut ke dalam tas selempang kecil yang disampirkan pada bahunya dilanjut mengecilkan api di kompor, Terlalu panas juga tidak baik untuk dagangannya yang serba digoreng.

Yang Baron ingat, Dulunya tanah yang seluas lapangan bola nasional ini hanya milik Desanya. Namun dikarenakan Mepa adalah Desa kecil dibandingkan Langga dan dusunan lainnya, Lapangan ini jadi jarang dipakai dan sering tak terurus. Oleh karena itulah pemerintah setempat berinisiatif membuat lapangan ini menjadi milik Desa di sekitar, Desa Mepa, Langga termasuk dua dusunan yang baru saja dimekarkan, Desa Sejati dan Desa Timur.

Asik melamun soal asal usul lapangannya, Baron tak sadar akan kehadiran remaja-remaja yang menatapnya tajam dari depan gerobaknya. Pak Muli sebenarnya ingin menyadarkan Baron tetapi wajah galak mereka membuatnya urung, Apalagi dengan jumlah 4 orang.

"Woi tuli Lo ya?!" Hardik salah satu dari 4 remaja didepan.

Baron berjengit, "Eh setan!" Makinya mengelus-elus dada, "Bisa nggak sih gak usah ngagetin!?" Balasnya tak kalah membentak.

"Dasar budek! Yang sipit ternyata bukan cuma mata doang, Telinga Lo juga sama, Kecil!"

Tersinggung akan ucapan mereka, Dia berjalan memutari gerobaknya dan memandang nyalang remaja-remaja tak sopan tersebut. Baron bersedekap dada, "Mata mata gue, Bapak Ibu gue yang capek genjot, Kenapa Lo pada yang banyak bacot?!"

Ingin sekali mereka menanggapi perkataan pedas Si sipit ini namun melihat begitu banyak penjual serta orang yang lalu lalang di lapangan, Nyali mereka ciut, "Pesen naget 100 ribu, Campur semuanya kasih pedes jadiin 50 kresek, Ntar Lo bawa ke kursi panjang yang ada anak-anak nongkrong itu"

Baron, "Dari tadi kek! Bikin susah aja! Sana pergi!" Ia berbalik ke tempat dagangannya.

"Jangan lupa pesenan kita!"

Baron, "Ck! Iya-iya bawel Lo pada kayak emak-emak!!" Berdengus, Empat remaja itupun pergi.

Pak Muli, "Hebat kamu Bar, Mereka itu geng motor yang paling ditakutin 4 desa disini, Kamu beruntung banyak penjual sama orang-orang disini, Kalo enggak... habis kamu Bar, Iiih Bapak ngeri ngebayanginnya!" Tutur Muli bergidik.

Disela-sela menggoreng pesanan, Baron terkekeh, "Ngapain takut Pak, Selagi masih bisa ngelawan ya Baron lawan lah! Mentang-mentang mereka banyak kayak tadi dikiranya Baron takut apa?" Gumamnya bangga.

Pak Muli, "Ada-ada aja kamu ini Bar...Bar!" Pria itu geleng-geleng kepala lalu kembali fokus melayani pembelinya.

Cukup lama ia menggoreng naget-naget pesanan anak-anak tadi. Dia bernafas besar ketika semuanya telah terbungkus. Dihitungnya sisa naget di tempat penyimpanan, Sisa 6 bungkus besar lagi dan dagangannya akan segera habis. Menyemangati dirinya, Baron membawa total 50 kresek naget goreng ke tempat yang terlihat begitu ramai oleh kumpulan remaja, Baron jadi ingat kejadian waktu itu.

Ia juga lupa akan wajah remaja sawo matang yang berkelahi keroyokan dengannya malam sebelumnya. Kulitnya mungkin? Baron tersenyum masam, Sebab cuma warna kulit impiannya itu yang dapat ia ingat sebagai ciri-ciri remaja yang telah merenggut keperawanan adiknya, Ririn.

Melihat kedatangannya, 4 remaja yang sebelumnya memesan bangkit dari tempat duduk dan mendatangi Baron, "Nih pesenan kalian, Duit!" Baron menengadahkan telapaknya.

"Bos! Bayarin!" Teriak yang berbaju hitam saat mengambil sebagian kresek di tangan Baron.

Dari kumpulan ramai, Seseorang menyahut, "Nih sambil sendiri duitnya! Gue lagi mager!" Baron memutar matanya malas melihat pria yang dipanggil bos tersebut melempar uang di rumput lapangan, Dasar anak orang kaya! Pikirnya. Untungnya di tempat mereka sekarang dipasang lampu.

"Tuh duitnya, Lo ambil sendiri, Pelanggan kan raja" Ucap remaja berbaju merah dongker yang sebelumnya mengatakan jumlah pesanan juga berdebat kecil dengan Baron ditempat dagangannya.

Baron menunjuk dirinya, "Gue?"

"Nanya lagi, Terus gue musti nyuruh siapa? Hantu gitu?" Decak si baju merah lantas tergelak bersama teman-temannya termasuk kumpulan remaja dibelakang mereka juga turut menertawakan Baron.

Menggertakkan gigi-giginya, "Kalo gue gak mau gimana?" Tantang Baron menahan emosi.

Gerombolan anak muda disana sontak diam mendengarkan kata-kata Baron.

Cowok berbaju hitam, "Lo nantangin kita ya?!"

Baron, "Nggak, Gue cuma minta tuh duit Lo ambil sendiri terus kasih ke gue dengan cara sopan, Udahlah gak usah pake ribut segala, Kek anak kecil Lo pada"

"Yaudah kalo gitu gak jadi, Nih gue balikin naget Lo!" Makanan yang masih hangat itu mereka buang di depan Baron hingga berserakan di sekitar sendalnya.

Maniknya spontan melebar sempurna, "Cuk! Setan!" Sembari menerjang pukulan ke perut remaja berbaju hitam hingga jatuh ke tanah.

Perkelahian terjadi. Yang lain berniat membantu namun Bos mereka mengangkat tangan, Mencegah. Alhasil mereka semua hanya dapat menyaksikan keempat teman mereka mengeroyok si penjual naget dalam diam. Sesuatu mengejutkan mereka, Si penjual naget mengalahkan 4 teman mereka!








Mohon di tekan ⭐👈 agar si penulis tidak bete lagi🤧 Jangan lupa juga untuk berkomentar suapaya Penulis jadi bahagia bisa berinteraksi dengan pembaca yang sudah rela waktu demi membaca karya kami

LOVE YOU, RASCAL!! (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang