9. Rencana Kedepannya

6.2K 554 4
                                    

Sepulang dari sana Baron langsung ke rumah Pak Dandi untuk menyewa gerobak naget beserta bahan-bahannya. Pria yang sudah berkeluarga dan mempunyai 3 anak itu juga dikenal cukup kaya di desa Mepanga tempat Baron tinggal ini. Lelaki paruh baya tersebut memang biasanya menyewakan gerobak dorong bersama bahan makanannya, Jadi si penyewa hanya tinggal menggunakan bahan-bahannya saja.

Untuk pendapatan, Pak Dandi hanya akan mengambil laba bersih sebesar setengah dari pendapatan si penyewa atau biasanya lebih, Tentu saja beserta laba kotornya. Intinya tergantung si penyewa, Apakah dia mampu atau tidak dalam menjual semua dagangannya. 

Baron, "Assalamualaikum Pak Dandi" Salamnya dari tanah.

Lelaki yang asik membaca koran tersebut memicingkan matanya lalu tersenyum ramah, "Waalaikum salam, Sini Bar, Temani Om ngopi sore-sore!" Pria itu menepuk-nepuk tempat kosong di kursi panjang yang sekarang ia duduki.

Dengan patuh Baron menaiki 4 anak tangga sebelum kemudian duduk disebelah kiri Pak Dandi. Meletakkan korannya, Ia menoleh pada anak muda disampingnya, "Baru ini kesini? Kemarin kok nggak?"

Baron, "Capek Om" Ia cengengesan menggaruk kepala belakangnya.

Pak Dandi, "Begitu... Jadi hari ini kamu mau nyewa gerobak?"

Baron, "Iya Om, Tapi mulai besok sama seterusnya palingan Baron bakalan jarang nyewa Om"

Alis pria yang nyaris setengah abad itu bertaut, "Kenapa Bar? Mau nikah kamu?" Canda pria itu sambil tertawa sebelum menyeruput kopinya.

Baron pun tergelak, "Hahaha... Bukan Om, Tapi Baron bakalan sibuk latihan basket di sekolah sama jadi pembantu di rumahnya Pak Wijaya Om"

Sambil menikmati kopinya, Pak Dandi manggut-manggut paham, "Hmmm..." Gumamnya.

Baron, "Gak papa kan Om?"

Lelaki itu tergelak pelan, kemudian menepuk pundak Baron, "Ngomong apa to kamu, Om ngerti kok, Gak apa-apa Bar, Itu keinginan kamu sendiri, Om kan tugasnya cuma nyewain gerobak sama isi-isinya doang. Tetangga memang betul, Bukan keluarga yang bisa ngatur hidup kamu" Ujarnya pengertian.

Baron, "Makasih ya Om, Baron janji jualan malam ini insya Allah bakalan laku "

Pak Dandi mengamini, "Amin! Nah gitu dong, Semangat! Wati!" Panggilnya sembari menoleh ke pintu rumahnya.

Dan tak lama setelah itu seorang gadis seumuran Baron keluar, "Apa Pak? Loh ada Baron ya!" Serunya berhenti di depan pintu.

Pak Dandi, "Sana bawa Baron ngambil gerobak naget" Titahnya.

Wajah gadis cantik berusia 17 tahun tersebut merona, "Ih Bapak! Aku kan cewek! Masa nyuruh aku sih!" Protes Wati meremas ujung bajunya.

Pak Dandi sontak terkekeh bersama Baron, "Hilih, Sok-sokan malu tapi mau!" Ledek pria itu terhadap anak bungsunya.

Alhasil Wati mencebik sekaligus malu mendengar ejekan sang Ayah, "Biarin!" Balasnya memberengut sebal.

Pak Dandi geleng-geleng, "Bar, Kamu tau tidak, Kemarin anak ini nanya-nanya soal kamu terus, Kenapa Baron gak kesini? Mana Baron? Nanya-nanya kayak gitu!" Pak Dandi meniru cara bicara anak gadis satu-satunya.

Tawa manis cowok sipit didepan semakin membuat Wati malu. Mukanya serasa mau meledak saat ini juga, Gadis itu merengek, "Aaa... Bapak!" Akhirnya sang ayah pun berhenti mengejeknya namun tawa pria itu masih terdengar nyaring di pendengaran si anak bungsu.

Pak Dandi, "Yasudah kalo begitu panggilkan Masmu"

Wati, "Iya Pak" Lantas berteriak ke dalam rumah, "Mas Haris!! Dipanggil Bapak!!" Baik Pak Dandi maupun Baron sama-sama menutup telinga akibat teriakan membahana Wati. Sadar akannya, Ia memegang mulutnya disertai tawa cekikikan.

Pak Dandi, "Mulutmu sama kayak Ibumu"

Baron, "Yang jadi suaminya Wati harus nguatin gendang telinga ahahaha..." Ledek si sipit mengedipkan sebelah matanya. Rasa malu gadis tersebut naik ke atas kepala, Wati menggigit lidahnya sambil menunduk dengan pipi merah. Pak Dandi juga tak marah menyaksikan pemandangan itu, Menurutnya Anak muda memang biasanya seperti ini.

"Apaan sih! Orang lagi tidur juga!" Remaja dengan rambut berantakan berjalan mendekati mereka, Jangan lupakan wajah kusutnya.

Baron, "Ris, Ada Ririn!" Pekiknya tiba-tiba.

Kedua manik Haris terbuka lebar, Serta merta menutup wajahnya, "Ah kampret Lo! Kok gak ngomong sih! Malu gue!"

Gemas akan kakaknya, Wati menjewer telinganya, "Mas Haris! Gak ada Ririn disini, Adanya cuma Baron doang! Tuh dibilangin juga gak usah tidur sore malah ngeyel! Ntar sakit kepala jangan coba-coba buat panggil gue atau Mama!"

Melupakan sakit di daun telinganya, Haris celingak-celinguk sebentar sebelum memberi tatapan sebal untuk Baron, "Kang ngibul Lo!" Ririn yang merupakan adik satu-satunya Baron adalah gadis yang Haris taksir sejak lama walaupun mereka memiliki perbedaan umur yang cukup jauh yakni 8 tahun dimana Ia sendiri sudah kuliah di tahun keduanya.

Pak Dandi melerai, "Sudah-sudah kalian ini, Haris, Sana antar Baron ngambil gerobak naget! Ini sudah mau jam 5!"

Haris ogah-ogahan mengiyakan permintaan Ayahnya. Spontan tanpa mencuci muka remaja itu menyeret Baron ke tempat penyimpanan gerobak yang berada di sebelah rumahnya, Pak Dandi juga si bungsu menggeleng kepala melihat tingkah laku cowok tersebut.

Baron, "Santai Ris!"

Haris, "Lebih cepet lebih bagus, Gue bisa lanjut tidur lagi, Jarang-jarang dipulangin cepet ama Dosen!" Ia meracau diantara sadar dan tidak sadar, Bahkan di dalam tempat penyimpanan pun beberapa kali kepalanya jatuh bangun sebab mengantuk berat.

Baron berkacak pinggang menatapnya, "Haris!"

Terlonjak, Haris membuka sedikit matanya, "Hmmm?" Gumamnya pada si Sipit, Baron.

Baron, "Ck! Buruan ambilin gue gerobak elah!" Sambil mengguncang heboh bahu remaja setengah sadar tersebut.

Lantas Haris menunjuk gerobak dibarisan ke lima, "Tuh! Ambil! Gue mau bobo!" Kemudian berbaring di lantai dan melanjutkan tidurnya.

Enggan berdebat, Baron bergerak mengambil gerobak plastik beserta naget di kulkas lalu membawanya keluar namun sebelum itu ia pamit terlebih dahulu kepada Pak Dandi juga Wati yang rupanya masih berada di teras, "Om, Wati, Baron pamit dulu!" Kedua orang itu mengiyakan ucapanya.
 
Akan tetapi Wati mendadak berseru, "Eh! Baron! Mas Haris mana?"

Baron menunjuk gudang penyimpanan, "Didalem, Lagi tidur!" Lalu tertawa dilanjut mendorong gerobak meninggalkan Wati juga ayahnya yang ikut tergelak geli.

Jarak antara rumah Pak Dandi dan Rumahnya tidaklah begitu jauh, Hanya berbeda lorong saja. Sekitar 20 menit berjalan kaki Baron sudah bisa melihat rumahnya dari balik jejeran rumah tetangganya. Tiba di rumah, Ia menaruh gerobak pada teras rumahnya lalu masuk, "Assalamualaikum, Irin Abang pulang!"

Ririn membalas, "Waalaikum salam, Bang Baron habis dari rumahnya Pak Dandi ya?" Tebak adiknya.

Remaja yang ia panggil kakak tersebut mengangguk terus berjalan masuk, "Bentar malam Abang jualan lagi habis magrib, Kamu bikin kue nggak? Biar sekalian Abang jual di sana nanti"

Sembari mengikuti langkah kaki kakaknya menuju dapur, Ririn menjawab, "Udah Bang, Oh iya maaf Bang sisa uang tadi aku pake Bang" Ia menatap sendu punggung kakaknya yang bermaksud memegang cerek berisi air di meja.

Gerakannya terhenti sebentar sebelum lanjut menuang air dari cerek ke gelas dan meneguknya tandas. Sejenak membuang nafas panjang, "Udah gak papa Rin, Emang buat bayar apa?" Kepo si remaja sipit pada adiknya.

Nampak Ririn langsung menunduk meremas-remas tangannya gugup, "I-itu Mas, Ririn lupa ba-bayar uang kas mingguan"

Dihampirinya sang adik kemudian mengacak-acak rambutnya, "Suka ngeledek mas tukang nunggak uang Kas, Padahal dia sendiri sama!" Ejeknya. Tak seperti biasanya, Ririn hanya membalas senyum tipis yang mana Baron dibuat heran namun memilih untuk tidak bertanya lebih.










Mohon di tekan ⭐👈 agar si penulis tidak bete lagi🤧 Jangan lupa juga untuk berkomentar suapaya Penulis jadi bahagia bisa berinteraksi dengan pembaca yang sudah rela waktu demi membaca karya kami

LOVE YOU, RASCAL!! (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang