46. Cemburu

4.6K 443 6
                                    

Baron, Kandra, Arifin, Vito serta 20 siswa lainnya kini sedang mengamati bangunan bobrok, Dindingnya yang terbuat dari papan itu sebagian besar hampir habis dimakan rayap, Atapnya pun banyak yang bocor dan berlubang serta tambahan karat nyaris diseluruh permukaan sengnya.

Siswi dan 2 guru perempuan sibuk membersihkan alat-alat makan yang sebelumnya mereka pinjam dari rumah-rumah disekitar kawasan lapangan. 2 guru laki-laki yang belum memiliki pekerjaan ditugaskan menata meja dan kompor.

Pak Angga, "Kita tidak repot memesan bahan karena semua sudah ditanggung oleh Pak Wijaya dan Pak Dandi, Kebetulan baru sampai kemarin jadi kita tinggal membongkar dan membuat balai desa yang baru menggunakan bahan-bahan itu" Ujarnya sembari menunjuk bahan-bahan yang disusun rapi dipinggir lapangan.

Baron menyenggol Kandra, "Bokap Lo dermawan ya"

Kandra berdecih, "Papa emang biasanya gitu, Tapi kalo soal milih istri... Matanya katarak kayaknya" Cibirnya.

Baron terkekeh, "Jangan keras-keras, Ntar anak-anak lain denger omongan Lo, Yang jelek nanti ya Lo sendiri juga"

Namun cowok sawo matang itu terlihat acuh, "Gak peduli, Biarin mereka mau ngomong apaan juga gue gak mau ambil pusing"

Pak Effendy, "Mari baca bismillah sebelum melakukan kegiatan kita pagi ini dan bagi yang non muslim silahkan berdoa dengan cara kalian, Berdoa dimulai"

Semuanya menunduk dan tak lama setelahnya kembali menegakkan kepala mereka.

Pak Angga berseru, "MANA SEMANGATNYA!!"

Kompak seluruh murid berteriak lantang, "AAAAA!!!"

Wati menggoda gurunya disela-sela mencuci piring, "Bu, Calon suaminya semangat banget ya mau bikin balai desa yang baru"

Mariani bersemu, "Hus kamu anak kecil!" Wati dan perempuan lainnya  cekikikan geli karena berhasil membuat guru cantik itu malu.

Viona, Guru yang berasal dari sekolah Baron juga tak mau ketinggalan, "Eem...! Si Ibu pake acara malu-malu kucing, Ntar Pak Angga makin cinta loh!" Saking merahnya, Muka Mariani benar-benar serupa udang rebus, Para wanita itu semakin tergelak lucu melihatnya.

Si Sipit menggulung lengan baju olahraganya sampai sebatas siku kemudian merenggangkan otot-ototnya sebelum pergi diikuti murid lainnya guna mengambil linggis, Palu, Dan alat yang akan mereka butuhkan untuk membongkar.

Satu persatu papan lapuk di copot memakai linggis. 6 orang siswa termasuk Kandra dan Arifin naik ke atas atap dengan bantuan tangga dan mulai mempreteli seng. Ada memikul bahan jadi ke pohon Ketapang yang berada didekat bangunan guna memperdekat jarak. Sementara siswa yang menganggur ditugaskan untuk membersihkan halaman balai desa. Mereka bekerja giat dibawah pengawasan serta instruksi dari Pak Angga dan Pak Effendy juga dua guru tambahan lainnya.

Area perempuan juga tak kalah sibuk. Mereka mencuci beras, Ada yang mengiris sayuran, ikan, tempe, tahu, mie, daging dan lain sebagainya. Jangan tanya asal bahan makanan karena semuanya juga ditanggung oleh Pak Wijaya serta Pak Dandi.

Dulunya balai desa yang terletak di arah Timur lapangan ini masihlah aktif digunakan sebagai tempat mengadakan musyawarah atau pertemuan antar 2 desa, Mepa dan Langga. Namun karena kesibukan pemerintah setempat untuk memekarkan 2 desa baru 8 tahun yang lalu membuat bangunan ini terbengkalai.

Barulah dipertengahan tahun ini 4 dusunan mengadakan rapat untuk memperbarui balai desa kembali. Dan diputuskan bahwa 5 tahun sekali akan ada dua desa yang bergabung memperbaiki balai desa, Untuk sekarang yang mendapatkan jatah adalah Desa Mepa dan Langga.

Masalah ini sebenarnya adalah urusan warga tetapi karena kebetulan Pak Angga dan Bu Mariani yang berasal dari dua desa ingin menikah, Mereka berdua pun mengusulkan agar memakai tenaga kerja siswa saja, Hal itu juga sudah disetujui oleh pihak kepala sekolah dan juga lurah.

Baron terengah-engah, "Hah... Capek juga, Woi siapa yang mau gantian sama gue?"

"Gue aja" Ucap seorang Siswa berbaju olahraga dari sekolah tetangga menghampirinya.

Usai menyerahkan alat ditangannya Baron pergi beristirahat pada tumpukan papan dibawah pohon Ketapang yang berdaun lebat dan rimbun. Belum juga 5 menit ia disana, Terlihat kini satu persatu siswa kelelahan menyusul untuk duduk bersamanya. 

Mereka mengibas-ngibaskan tangan guna menyejukkan wajah berkeringat mereka, Tak terkecuali Baron. Dia bahkan mengangkat baju depannya lalu mengipasi muka dan tubuhnya, 6 roti sobeknya mau tidak mau harus terpampang jelas di luar.

Tanpa sadar kelakuannya mengundang perhatian siswa yang beristirahat di sekitarnya.

"Wih, Boleh bagi rotinya nggak?" Celetuk siswa yang duduk selonjoran di sebelahnya sambil melirik roti di perut Baron.

Belum paham bahwa yang disindir adalah dirinya, Baron pun menoleh sana sini, "Siapa yang bawa roti? Gue juga pengen dong! Laper nih!"

Vito yang baru saja tiba segera mengarahkan telunjuknya ke perut sahabatnya, "Tuh rotinya hahaha...!" Kemudia tertawa lepas.

Alis Si Sipit naik lantas menengok ke bawah, "Hehehehe... Nggak boleh! Cara buatnya tuh susah! Gue harus lari disekitaran desa setiap hari Minggu" Ia cengengesan menggaruk tengkuknya.

Vito memberi kode kepada teman-temannya. Bersamaan mereka mengangguk serta memberi gestur'oke' lalu mengarahkan mata kepada Baron yang asik mengamati para siswa yang sibuk membongkar bangunan balai desa.

Tiba-tiba tangan dan kakinya dibekap, "Woi apa-apaan sih!! Lepasin gue!" Teriakannya membuat sebagian orang menatap kearah pohon Ketapang yang ditempatinya.

Sambil cekikikan jahat Vito mendekat, "Hehehehe... Buka bajunya!" Titahnya yang segera mereka turuti.

Pakaiannya dilepas paksa hingga raib dari badannya. Tak mau berpasrah diri ia berusaha mengambilnya namun mereka juga tak membiarkan usahanya berhasil, Baju pun dioper kepada Vito.

Baron, "Vito! kampret Lo! Balikin baju gue setan!"

Ia lebih geram lagi tak kala Vito malah menjulurkan lidah dan berlari, "Ambil aja kalo Lo mampu!" 

Baron, "Awas Lo!!" Ujarnya sembari mengejar Vito tanpa menggenakan busana alias telanjang dada.

Dan entah sengaja atau tidak Vito berlari ke tempat para wanita yang otomatis Baron juga menuju ke sana.

Alhasil terdengar teriakan, "Aaaah!!! Baron pake bajunya aduh!" Pekik mereka spontan menutup kedua matanya dengan pipi merona.

Wati yang sementara memasak nasi kini membelalakkan mata lantas menunduk malu usai Baron mengerlingkan sebelah mata untuknya.

Melihat itu, Kandra menyinyir dari atas atap, "Dasar ganjen!" Tangan yang Kandra gunakan untuk memegang palu kini gemetaran.

Qori menatap Bosnya heran, "Bos, Lo lagi ngomongin siapa? Perasaan gak ada Kartika tuh disana... Eh! Atau jangan-jangan Lo cemburu gegara penjual naget itu genit sama Wati ya~ Udah deh ngaku aja kalo emang Lo itu naksir kan sama si penjual naget?" Godanya memainkan alisnya.

Kandra mengelak, "Coba aja ngomong kayak gitu lagi, Lama-lama tangan Lo yang gue pukul pake palu!"

Remaja itu menjatuhkan palu kebawah yang beruntungnya Qori secepat kilat menarik tangannya, "Gila Lo bos! Kalo tangan gue luka siapa yang bantu Lo kalo berantem hah?" Omelnya seraya mengusap-usap tangannya, Nyaris saja menjadi perkedel batinnya.

TAK! TAK! TAK!

Kontan 5 remaja diatas atap itu langsung berpegangan pada apapun yang dapat mereka gapai sebab takut jatuh akibat pukulan palu keras yang seperti sengaja dihentak-hentakkan di atap.

Lebih-lebih Kandra yang berada di ujung, Dia sebisanya mencengkram kuat baju Qori yang berjongkok didepannya sambil mengumpat, "Eh adeknya pelakor! Bisa gak sih kalo gerak itu santai! Ini kita semua mau jatuh bangke Lo!"

Akan tetapi remaja itu sama sekali tidak mendengar apa yang Kandra ucapkan, Fokusnya pada Baron yang kini sudah kembali mendapatkan baju olahraganya dan sedang bercerita dengan Wati, Arifin cemburu setengah mati saat ini. 

4 guru yang tengah memberi siswa arahan sontak menengadah ke atas usai mendengar bunyi hentakan keras tersebut.

Pak Angga menggeleng-gelengkan kepalanya lalu berteriak, "ARIFIN BERHENTI MAIN-MAIN!! TEMAN-TEMANMU MAU JATUH ITU COBA KAMU LIHAT MEREKA SUDAH MIRIP KUCING DISIRAM AIR!"

Sadar akannya, Arifin malah tergelak yang membuat 5 remaja itu dongkol.

LOVE YOU, RASCAL!! (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang