32. Plester Luka

4.6K 479 4
                                    

PUK

Kandra menarik baju yang menempeli wajahnya, "Mau Lo apaan hah!?" Geram akan kelakuan Baron yang tanpa rasa bersalah selalu membuang baju yang diberikannya.

Tubuh Si sipit sekarang cuma terlapisi oleh handuk dari bawah perut sampai lutut, Ia berkacak pinggang, "Baju Lo kebesaran! Ada nggak yang kecilan dikit?"

Remaja sawo matang itu merotasikan matanya jengah, "Gak ada! Lo cuma kelihatannya aja yang besar tapi nyatanya kecil!" Hinanya.

Baron melotot tidak terima namun juga berpikir, Kalau dia berlama-lama di sini pekerjaannya takkan selesai, "Yaudah siniin bajunya!" Kandra melempar kembali pakaiannya. Tanpa malu Si Sipit melorotkan handuknya kemudian memakai semua pakaian yang Kandra berikan.

Kandra berdengus acuh sambil memainkan hp ditangannya, "Sekalipun Lo pamer juga masih besaran gue"

Baron menyinyir, "kepedean Lo! Dah gue mau keluar, Kamar Lo udah gue bersihin tadi"

Kandra, "Bentar dulu! Sini Lo"

Jelas remaja sipit itu memicing curiga, "Mau ngapain?"

Kandra, "Makanya kesini dulu, Gak bakal gue apa-apain tenang aja gue gak doyan batangan"

Dengan ragu dia pun mendekat kemudian berhenti tak jauh dari Kandra, "Lo mau ngapain sih?" Tanyanya gusar.

Lalu mendadak tangannya ditarik. Wajah keduanya kini berhadap-hadapan. Selanjutnya Kandra maju, Baron kalut dan berusaha mundur namun cengkraman pada tangannya dirasanya juga kian menguat, "Sumpah Lo mau apa hah! Jangan sampe gue tonjok muka Lo!" Ancamnya.

Kandra terkekeh lantas mengejek, "Gr Lo! Orang gue cuma mau nempelin plester luka doang" Si Sipit meringis saat Kandra menampar benda penampal luka tersebut di pelipisnya.

Sambil meraba-raba area yang sakit , Baron berkata ketus, "Siapa juga yang gr! Lo kan gak ngomong makanya gue panik! Udah gue mau keluar" Cibirnya kesal sembari beranjak dari posisinya.

Jujur Kandra ingin menahannya lagi untuk memijat kakinya yang pegal namun melihat jam sudah hampir menunjukkan pukul setengah tujuh dia mengurungkan niatnya. Kasihan juga bila melihat anak itu pulang larut malam.

Jam 9 malam pekerjaan Baron selesai. Dia kelelahan namun juga ingin cepat ke Rumah pasalnya mencemaskan Ririn. Tinggal meminta gajinya kepada Bu Asni dan dia akan segera pulang, Pikirnya.

Pertama-tama Baron membawa ember berisi alat-alat kebersihan ke dapur. Kemudian berbalik ke ruang tamu, Disana ternyata sudah ada majikan lelakinya yang sepertinya baru saja selesai berganti pakaian dan saat ini duduk santai membaca koran.

Wijaya tersenyum mendapati pembantu barunya, "Kerjaan kamu sudah selesai?" Dia bertanya pada remaja sipit yang berdiri di depannya.

Baron, "Iya Om, Eeeh itu..." Ungkapnya malu-malu. Biasanya Bu Asni yang memberikan gajinya jadi sekarang ini Baron merasa sedikit malu meminta kepada majikan lelakinya.

Wijaya mengulas senyum, "Iya saya paham, Kamu duduk dulu, Kita cerita-cerita sebentar" Ajaknya.

Gelengan dari pemuda itu membuat Wijaya mengerutkan kening, "Kenapa?"

Baron, "Maaf Om, Tapi Baron mau cepet-cepet pulang, Adik Baron sendirian di rumah" Ujarnya tak enak hati menolak tawaran majikannya tapi mau bagaimana lagi? Adiknya lebih penting dari segalanya.

Pria itu melebarkan sudut bibirnya, "Ayo duduk dulu, Jangan berdiri nanti keram kakimu ingat kamu baru habis bekerja" Dengan segera Baron pun duduk satu sofa dengan Wijaya namun berjarak agak jauh.

Sejenak Wijaya merogoh saku kemejanya dan memberikan gaji harian Baron. Tentu Baron menerimanya akan tetapi setelahnya dia memandang penuh tanya pria paruh baya tersebut, "Ini kebanyakan, Apa Om salah ngitung? Ini Baron balikin sisanya"

Namun pria beranak 2 itu mencegah tangan yang hendak terulur padanya, "Saya tidak salah hitung, Ini memang buat kamu"

Si Sipit jelas belum mengerti, "Buat apa Om ngasih saya uang sebanyak ini?"

Wijaya menghela nafas pelan dan menerangkan, "Begini Bar, Saya mau berterima kasih karena telah menolong saya dari anak saya sendiri"

Kini Baron paham tapi tetap menggeleng, "Sama-sama Om, Kandra itu juga keterlaluan masa Papa sendiri mau dihajar dan soal uang ini gak perlu repot-repot Om, Baron ikhlas bantuin Om kemarin malam itu"

Lagi-lagi Wijaya menolak, "Kamu terima saja Bar, Ingat saya ini majikan kamu jadi apapun yang saya berikan itu adalah keinginan saya bukan orang lain"

Baron, "Tapi Om..."

Wijaya mendesak, "Sudah, Ambil saja"

Akhirnya dengan terpaksa Baron memasukkan uang pemberian Majikannya kedalam saku celana, "Makasih Om, Sekali lagi makasih" Tutur Baron tulus.

Wijaya, "Sama-sama, Saya harap kedepannya anak baik seperti kamu lebih dekat lagi dengan Kandra, Saya mau dia berubah" Pria itu melipat koran dan menaruhnya di atas meja sebelum menatap serius Baron.

Baron mengerenyit, "Berubah untuk apa Om?"

Wijaya, "Saya ingin dia menerima Asni sebagai Mamanya dan tidak berlarut-larut dalam dendamnya atas apa yang saya lakukan di masa lalu terhadap istri pertama saya, Mamanya Kandra"

Baron, "Eem... Kalo boleh tau emangnya apa yang udah Om lakuin? Sorry kalo Baron kepo Om" Kata Baron sambil meringis.

Sejenak dia melihat pria paruh baya tersebut membuang nafas, "Asni sebenarnya anak dari mendiang teman ayah saya, Dia berhenti sekolah kelas 2 SMA karena tidak memiliki biaya jadi saya mempekerjakannya menjadi pembantu juga pengurus Kandra" Wijaya memulai ceritanya.

Pria itu seketika menunduk dengan senyum kecut, "Tidak tahu mengapa saya jatuh cinta dengannya dan ternyata dia juga menyukai saya, Jadi kamu tau... Kami melakukan hubungan terlarang dibelakang almarhum istri saya" Lagi, Dia menghembuskan nafas berat seakan tak sanggup untuk meneruskan ucapannya.

Tapi Baron yang sudah sangat penasaran pun seketika menebak, "Dan tante Asni hamil Alsa, begitu?"

Wijaya, "Benar tebakanmu, Dia hamil Alsa saat Kandra berusia 3 tahun, Awalnya kami berencana merahasiakannya tapi seperti pepatah mengatakan sepandai-pandainya tupai melompat suatu saat akan jatuh juga, Begitupun dengan hubungan terlarang kami yang diketahui oleh istri saya"

Dia melanjutkan, "Mamanya Kandra mengamuk pada kami berdua, Dia menyuruh agar saya mengusir Asni dan juga menggugurkan Alsa, Tentu saja saya menolak, Mana tega saya mengusirnya yang saat itu masih 17 tahun? Apalagi dengan kondisi hamil muda, Kami bertengkar dan saling diam selama berhari-hari"

Baron, "Eee.. Terus penyebab Mamanya Kandra meninggal itu apa Om? Hehehe... Baron jadi gak enak hati gegara terlalu kepo soal masalah rumah tangga Om"

Wijaya mengulas senyum, "Tidak apa-apa, Lagipula tetangga-tetangga saya juga sudah tahu, Dan penyebabnya meninggal karena sakit"

Baron, "Terus Kandra tau?"

Anggukan kepala pria itu membuat Baron meneguk ludahnya, Tak heran jika Kandra sebegitu bencinya kepada Tante Asni juga Alsa, Rupanya perselingkuhan ayahnya dengan wanita genit itu membuat ibunya stres hingga sakit, Pikir Baron.

Wijaya, "Rasa bersalah selalu membayangi saya setiap melihat Kandra tumbuh tanpa Mamanya apalagi wajahnya itu persis dengan istri saya, Tiap melihatnya saya merasa seakan berhadapan dengan istri saya, Tidak menyangka Kandra memendam kebencian yang besar terhadap Asni bahkan sampai ke adik tirinya dan itu atas kesalahan saya sebagai ayahnya"

Dia ingin melanjutkan ucapannya, Tapi sahutan anak pertamanya memotong perkataan Wijaya, "Kalo Papa kasihan dengan mama juga ngerasa bersalah sama aku kenapa Papa tetep milih pelac*r itu daripada kita?"

Baron meliriknya, "Sejak kapan Lo nguping?"

Dalam perjalanannya menuju ke tempat dimana dua orang itu duduk, Dia menjawab, "Sejak kalian ngomong, Dari pertama"

Wijaya, "Papa tidak bisa memilih karena waktu itu Mamamu hamil Alsa, Sebagai seorang pria mana tega Papa mengusir mereka begitu saja?"

Sendi-sendi jarinya saling melipat, "Pa! Mau berapa kali sih Kandra harus ngomong ke Papa jangan pernah panggil pelac*r murahan itu sebagai Mamaku! Mati sekalipun Kandra gak bakal sudih!" Bentaknya marah.




LOVE YOU, RASCAL!! (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang