Terengah-engah, Baron meludahkan cairan merah segar juga mengusap darah di hidungnya lalu berjongkok memunguti naget yang berhamburan di tanah sebelum kembali berdiri menghampiri 4 remaja yang tengah terkapar. Sekali lagi ia berjongkok kemudian memaksa keempatnya memakan naget yang telah kotor tersebut.
Baron berteriak, "Makan setan! Biar kalian ngerasain gimana capeknya gue goreng semua pesanan Lo pada!!" Dia menjejalkan paksa naget buatannya hingga mulut mereka penuh, Tak jarang mereka batuk-batuk juga muntah.
Gerombolan di depan sana tak bisa berkutik melihat pemandangan itu. Terutama Bos mereka, Kandra. Anehnya dia bukan merasa marah pada si penjual naget, Melainkan iba. Keningnya berkerut, Mengapa ia merasa iba? Niatnya tadi untuk sekedar menunggu kekalahan penjual tersebut, Namun siapa sangka bila pria itulah yang memenangkan perkelahian.
Baron melangkah dan memungut uang seratus ribu di tanah, Tanpa basa-basi ia segera meninggalkan tempat tersebut sambil memegang sendalnya yang kembali putus, Besok harus beli lagi.
Kandra berteriak, "Siapa nama Lo!?" Pencahayaan yang kurang terang membuatnya sulit mengenali Si penjual naget tersebut.
Derap kakinya berhenti, "Kepo!" Jawabnya cuek bahkan tak menoleh sedikitpun lalu kembali berjalan menjauh.
Cowok sawo matang itu menampar salah satu kepala anak buahnya, "Buruan bantuin mereka!" Titahnya menyadarkan bawahannya dari angan-angan mereka.
"Bos, Kok kayak kenal ya sama si penjual naget itu?" Timpal Bari dari sebelah kanan Kandra. Kejadian malam itu dia juga ikut membantu ketuanya dan ingatan soal wajah remaja tersebut juga kurang jelas, Begitupun 4 teman sisanya yang ikut serta.
Ia mendadak berkata, "Selidikin si penjual naget itu, Gue curiga dia anak yang waktu itu fitnah gue" Bari serta remaja lainnya mengangguk mengerti.
_
Alangkah terkejutnya Pak Muli mendapati Baron penuh dengan luka-luka kecil, "Loh Baron!" Cemas lelaki itu menghampiri Baron dan memapahnya ke belakang gerobak naget, "Kok jadi begini? Kamu diapain sama mereka, Cepet bilang sama Bapak, Nanti Bapak bakal suruh satpam disini buat ngusir mereka!" Geram pria itu.
Baron terkekeh-kekeh disela sakitnya, "Gak usah Pak, Mereka udah Baron kasih pelajaran kok, Makasih udah khawatir sama Baron"
Lelaki paruh baya tersebut memukul lengan Baron, "Kamu juga! Kenapa kamu ladenin sih!? Ujung-ujungnya berantem lagi!" Omel pria itu gemas.
Baron menjelaskan, "Mereka gak sopan, Makanya Baron hajar, Enak aja nyuruh Baron ngambil uang yang mereka lempar di tanah, Terus tangan mereka buat apa?"
Pak Muli, "Ya kamu ngalah lah, Mereka itu ada banyak Bar, Kalo semuanya ngeroyok kamu bagaimana? Siapa yang jagain Adikmu hah!" Bentaknya kesal. Ia heran dengan emosi remaja-remaja jaman sekarang bagaikan bom waktu yang biasa meledak kapan saja.
Cowok sipit itu diam. Melihatnya Pak Muli menghela nafas besar, "Lain kali kamu nurut aja apa kata mereka, Ingat Bar kamu masih punya Ririn buat dijaga, Itu tanggung jawab kamu sampai dia nikah nanti!" Nasihatnya menepuk-nepuk pundak Baron.
Empat bulan bersebelahan gerobak dengan Baron membuat Pak Muli sudah kenal dengan Ririn adiknya Baron. Karena jika senggang biasanya gadis itu akan jalan-jalan ke tempat kakaknya berjualan.
Baron, "Maaf Pak" Ujarnya menunduk.
Pak Muli, "Jangan minta maaf sama Bapak, Minta maaf itu sama diri sendiri karena gak bisa ngontrol emosi, Kamu gak papa kan? Atau kamu pulang aja nanti biar Bapak yang jualkan sisanya"
Baron menggeleng, "Gak usah Pak, makasih, Baron masih kuat kok, Liat tuh ada yang mau beli bubur" Ia menunjuk seorang ibu-ibu yang nampak celingukan mencari penjualnya.
Pak Muli menepuk jidatnya, "Lah lupa! Lagian kamu sih cari masalah, Bapak sampe lupa pesanan pembeli, Dah Bapak mau lanjut jualan lagi, Kalo kamu udah gak sanggup mending pulang aja jangan dipaksa, Ya?" Ia mengusak surai hitam Baron sebelum beranjak ke tempat jualannya.
Sepeninggal beliau Baron membuka tempat penyimpanan naget guna mengambil topi yang ia sengaja simpan di dalam, Memakainya dan Ia pun kembali berdiri.
Jam 10 malam dagangannya habis. Ia tak serta merta menghitung hasilnya di lapangan melainkan mendorong gerobak sampai di pertengahan jalan barulah Baron berhenti dan duduk di sebuah deker. Dia mengulas senyum bahagia kala menghitung uang, "Duitnya dapet 500 ribu, Naget yang gue ambil 10 pak berarti 100 ribu, Gerobak sama gas 80 ribu, Totalnya 180 ribu, Uang bersihnya 320 bagi dua... Bagian gue 160 ribu"
Dia segera mengembalikan uang di dalam tasnya terus mendorong gerobak dan berbelok di lorong menuju rumah Pak Dandi. Bersyukur rumahnya belum tutup. Kebetulan Baron melihat Haris sedang berbaring di kursi panjang sambil menatap langit-langit terasnya entah apa yang remaja itu pikirkan.
Baron, "Assalamualaikum!!"
BRUK!
Tergesa ia bergegas menghampiri Haris yang jatuh dari kursi sambil terbahak-bahak, "Hahaha!!"
Haris, "Cuk! Ngagetin aja Lo kampret!" Makinya terhadap Cowok sipit yang sibuk tertawa.
Baron, "Lagian Lo ngapain ngelamun malam-malam begini, Ngepet? hahaha..." Sambil membantu Haris berdiri lalu mendudukkannya di kursi bersamanya.
Haris, "Pengen aja, Males gue di dalem rumah terus" Sanggah remaja itu mengelus-elus punggungnya yang kram.
Baron memutar setengah badannya lalu membuka resleting tas dan mengeluarkan uang lantas memberikannya pada Haris, "Nih gue titip sama Lo, Ntar kasih Bokap Lo bilang untungnya 160 ribu gue ambil dan sisanya udah gue gabung di uang itu, Dah gue mau cabut"
Haris, "Tunggu Bar! Ada yang mau gue omongin sama Lo"
Baron, "Apaan sih! Ririn sendirian di rumah!"
Haris berdecak sebal, "Ck! Makanya cepetan duduk! Ini soal Ririn juga!" Alis si sipit bertaut lalu duduk ditempatnya semula.
Tatapannya berubah serius, "Bar, Jujur sama gue, Lo tau kan siapa yang udah hilangin perawannya Ririn?"
Baron mengatupkan bibirnya sejenak disertai gerakan mata gelisah, "Adek gue cuma cerita katanya nama 'Trikandraputra' yang udah ngambil perawannya"
Haris, "Terus kenapa Lo kayak ragu gitu?" Tanyanya saat melihat remaja bermata sipit disebelahnya merasa bimbang.
Baron, "Hah... Gimana ya... Masalahnya pas gue nuduh anaknya, Dia jawabnya yakin banget kalo dia gak kenal sama Adek gue ya... meskipun kita tetep berantem juga, Dan lagi Vito ngomong kalo yang gue hajar waktu itu ketua geng X dari SMK Langga 99 di desa sebelah"
Haris, "Terus?" Selanya penasaran.
Ia memandang langit malam yang diterangi cahaya bulan, "Vito bilang kalo nama Trikandraputra itu bukan cuma anak itu doang Ris... Lo percaya gak kalo Adek gue bohong sama abangnya sendiri?" Baron menolehkan wajahnya menghadap ke Haris yang rupanya juga mengamati langit.
Haris membantah tegas pernyataan Baron, "Nggak mungkin lah Bar! Ririn itu orangnya jujur kok, Itu yang gue suka dari Adek Lo, Dia gak mungkin belain orang yang salah!"
Cowok sipit itu kembali menengadah ke atas dimana hamparan bintang nampak berkedip-kedip kecil jika diperhatikan seksama, "Tadi Ririn juga ngomong katanya dia bayar uang kas yang udah nunggak lama" Tuturnya kemudian.
Dahi Haris bergelombang, "Masa sih Ririn nunggak? Kalo Lo kan emang biasaan!"
Yang ditanyai mengangguk, "Kampret! Tuh, Lo aja gak percaya, Gimana gue sebagai abangnya? Menurut Lo ada nggak yang Ririn sembuyiin dari gue? Gue beneran bingung Ris" Baron mengeluarkan nafas berat dari mulut serta hidungnya.
Haris mengendikkan bahunya, "Sorry Bar gue gak tau, Kemungkinannya sih emang ada cuma Ririn paling gak mau cerita sama Lo" Mereka bertatap muka sebentar sebelum meringis konyol sebab sama-sama bingung.
Mohon di tekan ⭐👈 agar si penulis tidak bete lagi🤧 Jangan lupa juga untuk berkomentar suapaya Penulis jadi bahagia bisa berinteraksi dengan pembaca yang sudah rela waktu demi membaca karya
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE YOU, RASCAL!! (END)
RomanceBerawal dari perawan adiknya yang direnggut oleh nama 'Trikandraputra', Si Sipit Adebaron Utami berkelahi dengan ketua geng X dari SMK Langga 99, Sekolah di desa tetangga. Kandra. Dengan kasar Kandra menghempas tangan Baron, "Heh! Sejak kapan gue ke...