29. Baron Dan Arifin

4.8K 464 14
                                    

Plak!

Asni mengelap tisu tanganya sehabis menampar Karyo, "Dasar tidak becus! Kenapa kamu ceroboh sekali! Lain kali pastikan dulua Baron habiskan kue itu baru kamu pergi! Coba liat sekarang rencana saya gagal total gara-gara kamu!" Makinya bertubi-tubi.

Karyo tertunduk dengan memar di pipinya, "Maaf Bu Asni, Sebenarnya saya tidak langsung masuk tapi mengintip dari jauh, Saya juga tidak bisa mencegah Tuan muda pertama kesana, Mana berani saya Bu" Tuturnya.

Berbalik dia mendengus kasar, "Huh! Padahal saya sudah diam-diam membeli obat perangsang dan mencampurkannya di salah satu kue yang Baron makan, Tapi melihatnya normal-normal saja berarti kue yang ada obatnya itu jatuh!"

Lalu Asni mendudukkan dirinya ke ranjang milik Karyo. Wajah cantiknya nampak jelek saat ini, Semuanya berantakan, "Ini sudah kedua kalinya anak itu ikut campur urusanku! Awas saja kamu bocah!" Kecamnya.

Padahal semalam harapan besarnya untuk menikmati tubuh remaja sipit itu akan terlaksana jika saja Kandra tidak membuat Baron menjatuhkan piring kue itu. Hah... Asni menghela nafas panjang, Cara apa lagi yang akan dia gunakan untuk mendapatkan Baron? Seakan-akan remaja itu selalu mendapat perlindungan dan kebanyakan dari anak tirinya sendiri.

Karyo bernafas lega dalam hati karena sebenarnya kue yang ada obat perangsang itu telah dibuangnya sementara yang Baron makan merupakan kue biasa. Dia sengaja melakukannya sebab kasihan pada Baron. Anak itu begitu baik juga sopan kepada pembantu-pembantu di sini,  Juga rajin.

Lebih-lebih Baron merupakan yatim-piatu, Sama seperti dirinya. Akan sangat berdosa jika Ia ikut melancarkan niat busuk Bu Asni. Biarlah dia kena amuk asalkan tidak dipecat. Anak yatim-piatu seperti Baron harus dia lindungi sebisanya,  Jangan sampai majikanya melampiaskan hasrat binatangnya pada anak itu.

Mendadak maniknya melebar melihat sang majikan menanggalkan seluruh pakaiannya, "Karyo, Kesini kamu, Puaskan saya" Mengulum bibir, Karyo mengangguk patuh dan berjalan mendekat dimana wanita yang usianya lebih tua 10 tahun darinya itu kini rebahan tanpa sehelai benangpun yang menutupi.

Dia sendiri sebenarnya sudah tak tahan lagi menjadi berondong simpanan tapi apalah daya, Karyo juga butuh makan dan tempat tinggal. 14 tahun silam Pak Wijaya memungutnya di jalanan dan membawanya ke rumah ini. Dia diperlakukan baik oleh orang-orang disini bahkan Bu Asni juga salah satunya.

Asal mula Karyo jadi simpanan Bu Asni karena kecelakaan yang menimpanya saat berada di sini sekitar 4 tahun. Tidak tahu darimana tiba-tiba saja ada genangan air yang membuatnya terpeleset dan jatuh dari anak tangga atas. Karyo dilarikan ke rumah sakit. Dokter mengatakan jika tulang betisnya remuk dan mengharuskan untuk dirawat sampai sembuh.

Bu Asni lah orang yang membiayai  pengobatannya hingga sembuh karena saat itu majikan lelakinya tidak bisa menemani sebab ada masalah mendadak di kantor. Rasa balas budi yang dalam membuatnya bersedia melakukan apa saja untuk Bu Asni. Namun pemuda berumur 22 tahun itu takkan menduga bila Bu Asni akan memintanya menjadi simpanannya.

Jelas Karyo menolak tegas. Mana tega dia mengkhianati Pak Wijaya yang sudah dianggapnya seperti ayah sendiri. Tapi Majikan perempuannya itu tak kehabisan akal. Dia mengancam akan memecat serta biaya pengobatan di rumah sakit itu akan ditagih sebagai hutang.

Pemuda itu seketika kacau, Darimana dia akan mendapatkan uang sebesar itu? Berhari-hari Ia renungkan permintaan Bu Asni sebelum akhirnya bersedia, Karyo terpaksa.

***

Vito menyatukan tangan di depan dadanya, "Sorry bro, Gue mau jemput pacar gue jadi gak bisa nganter Lo pulang"

Wajah Baron masam, "Sana pergi! Gue jalan aja" Si Sipit itu mendahului Vito yang sedari awal berdiri di atas motornya.

Dia berdecak dan mengejar Baron, "Bar, Jangan ngambek dong sama gue, Si Fani tiba-tiba ngirim chat ngomong suruh gue jemput dia kalo pulang latihan voli"

Langkah Baron berhenti terus menyampingkan kepalanya pada sang sahabat, "Gue bilang pergi aja, Lo pikir gue ngambek gitu? Situ siapa emang hah? Pacar gue bukan! Dah sana buru, Ntar dia ngamuk Lo gak dikasih jatah" Lalu melanjutkan jalannya dengan menyampir tas dibelakang punggungnya.

Vito reflek memeluk kuat Baron sampai tak sadar sahabatnya itu sesak nafas akibat ulahnya, "Thanks Bro! Gue duluan!" Remaja itu kembali ke gerbang sekolah dimana dia memarkir kendaraannya.

Baron memijat lengannya bergantian, "Gila!" Ia mencibiri Vito yang  melambai-lambaikan tangan saat melewatinya.

Latihan basket memang melelahkan dan dia harus mengakuinya. Baron memutar-mutar lengannya yang keram sambil terus menyusuri pinggiran jalan. Berulang kali remaja itu juga akan berpindah ke tengah jalan, Merasakan hembusan angin sore yang mengenai anggota tubuhnya.

Derap kakinya berhenti begitu sebuah Motor singgah di depannya. Si pengendara membuka helmnya dan langsung tersenyum ke Baron, "Masih inget gue?"

Berpose berpikir, Baron menggali semua ingatan di otaknya yang pas-pasan. Bibirnya mengerut, Alisnya bertautan, "Arif... Arif... Siapa sih? Lupa gue kelanjutannya" Monolognya bingung.

Garis lengkung terbentuk di bibir Arifin, "Arifin maksud Lo?" Sambungnya.

Baron menjentikkan jari, "Nah iya Arifin! Baru inget, Lo Arifin omnya Kandra kan?" Tebak Si Sipit yakin. Memang sekilas wajah Arifin sangat mirip dengan Tante Asni, Itulah penyebab Baron merasa tidak asing saat bertemu dengannya kala itu.

Arifin mengangguk singkat, Agak kesal waktu Baron menyebutnya 'Omnya Kandra' Cih! Mendadak mood baiknya hilang mengingat nama itu, "Sekarang inget kan? Gue Arifin ketua geng BAS yang waktu itu berantem sama Kandra"

Baron, "Masih kok, Cuma nama Lo aja yang gue susah ingetnya, Lo ngapain kesini? Temen-temen Lo kemana?" Tanyanya beruntun.

Arifin menghela nafas disusul gelakan kecil, "Gak setiap saat juga mereka harus ikut gue kali, Kita itu anak muda yang pastinya banyak kerja sama urusan sendiri-sendiri, Ngomong-ngomong nama Lo siapa? Kita belum kenalan"

Baron memicingkan mata, "Apa untungnya gue ngasih tau nama gue?"

Jawabannya sukses membuat Arifin terkesiap, "Lo pasti mikir gue orang jahat ya?"

Baron, "Iya"

Arifin, "Hahaha...!"

Si Sipit mengerenyit, "Apa yang lucu? Muka gue kek badut ya?"

Pria itu menggeleng, "Nggak, Cuma lucu aja denger jawaban Lo, Gue gak jahat Lo tenang aja"

Baron, "Terus kenapa Lo embat pacarnya Kandra?"

Arifin mengulas senyum kecut, "Si Kartika yang minta ngewe, Sebagai cowok gue mana bisa nolak?"

Baron, "Oh gitu..., Terus Lo ngapain kesini?"

Tanpa menjawab pertanyaannya, Remaja tersebut menepuk sadel belakangnya, "Ayo gue anter pulang"

Seketika Baron mundur sambil melipat dahinya, "Kapan kita seakrab ini?"

Arifin, "Ya makanya ayo gue anter biar kita makin akrab"

Baron, "Nggak, Rumah gue udah Deket kok, Dan lagipula gue gak pulang ke rumah, Tapi ke rumahnya Kandra, Yakin masih mau nganter?"

Yang Ia dapati berikutnya yaitu senyum di wajah Arifin berubah menjadi tawa, "Lo barusan bilang kalo gue itu Omnya Kandra kan? Kenapa gue harus takut kerumahnya? Itu kan rumahnya Kakak gue juga, Gimana? Lo mau nggak gue anter kesana? Sekalian gue mau jalan-jalan soalnya udah lama gak mampir"

Menimbang-nimbang sejenak tawarannya, Baron mengiyakan, "Oke deh" Ia meneruskan langkah kemudian naik di belakang Arifin, "Yuk cabut!"

Si pengendara tersenyum disertai anggukan sebelum mengendarai motornya.

Di jalan Baron menggerutu, "Kenapa sih motor kalian berdua itu sama, Sama-sama buat bonceng cewek! Gue ngerasa udah mirip perempuan, Pantat gue kebelakang, Badan gue maju!"

Ocehannya membuat Arifin terkekeh dibalik helmnya, "Bagus kalo gitu, Jadi gue bisa terus nyium bau badan Lo"

Ia agak kaget mendapati Baron menyembulkan kepala dari bahunya, "Lo ngomong apa? Gue gak denger!"

Arifin, "Nggak, Bukan apa-apa" Sanggahnya cepat.

LOVE YOU, RASCAL!! (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang