12. "Mama..."

5.7K 535 8
                                    

Kandra mencopot kunci dan turun dari motornya, "Bawa masuk ke garasi!!" Ia melempar kunci kepada satpam penjaga gerbang rumahnya. Dengan sigap pria itu menangkap benda tersebut lalu mengangguk patuh.

Menyampir jaket dipundak, Kandra berjalan masuk ke dalam. Didapatinya sang ayah masih membaca koran sembari duduk di sofa ruang tamu mereka. Sekilas ia menilik jam, Pukul 12.30. Berdecih, Kandra meneruskan langkahnya.

Lirikan matanya mengarah ke meja yang sepertinya baru saja diganti. Namun belum sampai melewatinya, Ucapan ayahnya menghentikan Kandra, "Darimana kamu jam segini baru pulang?" Pria itu bertanya sambil tetap melihat koran ditangannya.

Biji matanya berputar malas, "Papa sendiri ngapain masih bangun jam segini? Nunggu siapa? Setan?" Dia balik melontarkan pertanyaan pada sang kepala keluarga.

Wijaya meletakkan korannya di meja, "Jangan balik bertanya kamu! Jawab pertanyaan Papa!" Hardiknya.

Kandra menyahut kesal, "Kandra itu udah gede ya pa! Jadi gak usah ngatur-ngatur aku kayak anak kecil!!"

Wijaya, "Sekarang kamu sudah berani melawan Papa hah?! Mau Papa rusak lagi motormu itu!? Punya anak laki-laki satu tapi kerjaannya cuma bikin malu!" Marahnya sembari berdiri dan mendekati anaknya.

Membanting jaketnya ke lantai lantas berteriak, "Rusak aja Pa, Rusakin! Sekalian jual! Kalo perlu sama Akunya sekalian juga Papa jual biar Papa seneng udah gak ada lagi anak bandel yang bikin Papa malu!!"

PLAK!

Wajahnya terpaling kesamping, Nampak sebuah cap tangan di pipi kirinya. Mengulas senyum remeh, Kandra menatap ayahnya kembali. Lantas menepuk-nepuk pipi satunya, "Nih! Ayo tampar lagi! Jangan cuma satu doang, Yang satunya masih putih nih Kandra kasih! Tampar... Tampar Pa!!" Kandra menarik kasar tangan ayahnya dan menempelkan ke pipinya berulang kali.

Laki-laki berkepala nyaris 4 itu tak bisa berkutik. Wijaya bingung harus pakai cara apa lagi agar anaknya mau menurut. Sejak pernikahannya dengan Asni, Putra sulungnya menjadi pembangkang seperti ini. Dan lebih menjadi-jadi tak kala Alsa lahir dari pernikahan keduanya.

Acap kali Wijaya termenung di kantor memikirkan nasibnya yang mempunyai anak sebandel Kandra. Sering bolos, Suka keluyuran, Tawuran antar pelajar dari sekolah lain, Dan masih banyak lagi kelakuan yang mungkin saja Ia tak tahu menahu soal si Sulung. Di tahun kemarin dia mendengar kabar bahwa Kandra menjadi ketua geng di sekolahnya, Mana tidak pusing ia sebagai ayahnya?

"Ada apa sih ribut-ribut? Ganggu orang istirahat saja!" Seru Asni dari pertengahan anak tangga.

Kandra menghempas tangan ayahnya, "Mending Papa urus tuh pelac*r peliharaan Papa daripada ngurus hidup Kandra!" Usai berkata Kandra langsung melenggang menaiki tangga, Tak lupa menubruk Mama tirinya hingga wanita itu hampir terjengkang saking kuatnya tabrakan Kandra.

BRAK!

Itu suara pintu kamar yang Kandra tutup dengan cara dibanting kuat.

Asni menyalak dengan nada kecil, "Anak sinting!" Lantas turun ke tempat suaminya yang kini duduk memijtat pangkal hidungnya.

Asni mendudukkan bokongnya di samping sang suami dan merangkulnya, "Kamu tidak apa-apa sayang? Sudah kukatakan tadi untuk tidak menunggu anak itu pulang, Tapi kamu keras kepala!" Cecarnya mengurut pundak suaminya.

Wijaya menatap kuyu istri keduanya, "Aku bingung bagaimana cara agar anak itu mau dengar perkataanku"

Perempuan itu mendesah malas, "Aku tidak bisa membantu, Kamu lihat sendiri bagaimana sikapnya denganku, Udah ayo sayang kita tidur, Ini sudah larut malam" Manggut-manggut, Wijaya merangkul istrinya ke kamar mereka.

***

Kandra menyentuh pipi kirinya, "Sialan tuh tua bangka!" Lanjut menerjang ranjang empuknya. Mengacak-acak rambut dan memukuli kepalanya sendiri menggunakan bantal berkali-kali, Selanjutnya diam dalam wajah dibenamkan ke kasur.

Tangan kirinya meraba-raba nakas dan berakhir di sebuah bingkai foto. Kandra menarik benda tersebut lantas memutar tubuh menjadi terlentang. Dia mengelus lembut foto seorang wanita cantik bersama bayi digendongannya yang sedang tersenyum manis disana.

Ia mencium perempuan di bingkai foto dalam-dalam, "Mama..." Ujarnya lirih. Tak ada lagi nada galak serta membentak di dalam intonasi suaranya, Semuanya lenyap tak kala melihat wajah anggun yang serupa dengannya pada foto, Sayang mereka berdua hanya berbeda jenis kelamin saja.

Kandra, "Andai aja Mama masih hidup dan gak ninggalin Aku, Kandra capek tinggal sendirian Ma, Kandra pengen ikut Mama aja kalo Tuhan mau ngabulin keinginan Kandra" Gumamnya pada benda mati di tangannya.

"Papa kawin lagi sama perempuan ja*ang itu, Mereka punya anak yang sekarang jadi adik tiri Kandra, Si tua bangka itu gak pernah tanya apa Kandra suka atau nggak sama keputusannya, Papa egois Ma, Kenapa sih Mama yang pergi duluan bukan Papa aja?" Kandra sungguh-sungguh mengadu layaknya seorang bocah berusia 5 tahun.

Hening...

Kandra tertawa kecil, "Berasa kek orang goblok gue ngomong sama foto" Ia taruh bingkai foto di atas nakas penuh kehati-hatian, Seakan menganggapnya bagai kertas yang mudah kusut bila dipegang kuat-kuat. Kandra menutup kelopak matanya diselingi hembusan nafas panjang.

Tuut...tuut...

Suara Hp berdering memaksa maniknya agar kembali terjaga. Kandra merogoh saku celananya lantas mengangkat panggilan telepon dari salah satu teman atau bisa disebut anak buahnya, "Napa nelpon gue malem-malem?" Dia menekan tombol loud speaker dan menempatkan hp tengkurap disamping telinganya.

"Bos, Kita udah tau rumahnya penjual naget itu"

Perlahan matanya terbuka, Kandra mengubah posisinya menjadi duduk bersila di atas ranjang, "Penjual naget?" Ulangnya kurang mengerti.

"Si Bos gimana sih malah lupa! Ituloh, Penjual yang tadi Bos suruh selidikin!" Jawab gemas anak buahnya dari seberang telepon.

Cowok sawo matang itu mengacak-acak surainya. Dia hampir lupa tentang ini, "Terus?"

"Kita ngikutin dia sampe rumahnya, Bos, Lo tau gak rumahnya kecil banget deh! Terus tadi kita sempet liat ada cewek yang bukain pintu pas dia mau masuk"

Kandra mengulum bibirnya, "Cari juga informasi soal cewek itu, Makin curiga gue kalo dia bener-bener cowok yang waktu itu gue keroyok bareng anak-anak lain"

"Oke Bos"

Tuut!

Ia menutup panggilan sepihak sebelum menjatuhkan dirinya ke kasur. Hidungnya mengendus-endus sesuatu, "Badan gue bau lagi!" Kandra bangun serta menanggalkan seluruh pakaiannya dan pergi ke kamar mandi.

Otot bisep dan trisepnya nampak menggembung tiap kali lelaki itu bergerak menggosok badannya dibawah guyuran air hangat. Tampang berandalannya juga hilang berganti wajah tampan dan lugu setelah rambut basahnya jatuh menutupi sebagian mata.

Kandra membuka mulutnya guna bernapas lalu menghembuskannya di udara. Berbalik, Dia menatap bisu dirinya lewat pantulan cermin. Iseng-iseng dilepasnya tindik di telinga kirinya, "Heh... Kayak anak cupu aja gue kalo kayak gini" Monolognya terkekeh kecil.

Udara lembab serta panas membuat kaca berembun. Kandra mengelapnya dengan telapak tangan, "Untung muka gue ngikut Mama, Bukan si tua bangka itu"

Lalu tertegun pada bekas tamparan di pipinya, "Tua bangka, Lo penasaran kan kenapa anak lo jadi gini? Kandra itu kecewa sama Papa, Harusnya kalo Papa beneran cinta sama Mama, Jangan bikin Mama sakit hati! Andai aja dulu aku udah gede dan ngerti kenapa Mama nangis mungkin saat itu juga Kandra bakal hajar Papa" Sambil menyentuh pipinya, Kandra berbicara kepada cermin, Berandai-andai jika itu adalah Papanya.

14 tahun yang lalu Kandra merupakan anak yang manis, lugu, manja serta penurut terhadap orang tuanya. Namun kala bocah 3 tahun itu dipaksa untuk melihat pertengkaran dua orang dewasa pertama kalinya, Sifat itu perlahan memudar darinya.

Tindik ditangannya Kandra pasang kembali, "Gini lebih cocok"






Mohon di tekan ⭐👈 agar si penulis tidak bete lagi🤧 Jangan lupa juga untuk berkomentar suapaya Penulis jadi bahagia bisa berinteraksi dengan pembaca yang sudah rela waktu demi membaca karyanya

LOVE YOU, RASCAL!! (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang