4. Tawaran Pak Angga

7.7K 765 3
                                    

Hela nafas, Baron menyisir rambutnya kebelakang dengan tangannya yang mana ketampanannya meningkat drastis. Vito semakin cemberut, Memang dia juga tampan namun auranya tak terlalu menguar seperti cowok sipit didepannya ini.

Baron, "Bersyukur dikasih muka Vit"

Vito, "Iya deh nurut gue... Pesen apa Bar, Hari ini gue traktir!"

Baron memicingkan mata, "Beneran? Tumben..."

Vito, "Huh! Ya udah kalo gak mau!" Sungutnya kesal lalu berdiri dan hendak pergi ke penjual kantin.

Baron berteriak, "Mbak Ismi, Bakso beranak jumbo satu porsi! Ntar dibayarin sama Vito!!" Dari kejauhan penjual yang diteriakinya mengangguk mantap.

Berbalik, Vito memelototi Baron, "Baron!"

Baron menyengir kuda, "Katanya mau traktir, Buruan pesan sana! Jangan lupa bakso gue bayarin" Ia bergestur mengusir.

Menggerutu tidak jelas, Vito kembali melangkahkan kakinya menuju penjual bubur ayam. Baron tertawa lepas, Bahagia melihat wajah marah Vito.

Setelah pesanan mereka datang keduanya makan dengan cepat karena sebentar lagi bel masuk akan berbunyi. Betul saja, Waktu mereka mengembalikan mangkuk terdengarlah suara bel dibunyikan berpusat dari kantor lalu merembet lewat bel-bel kecil yang terpasang di koridor maupun depan kelas.

Faktanya tak cuma Baron dan Vito saja yang langsung berlari menuju kelasnya melainkan seluruh murid pun turut serta berlomba-lomba masuk kelas mereka masing-masing. Mereka berdua tertawa lepas menyaksikan betapa banyaknya pelajar yang berlarian bersama mereka.

Dalam hitungan menit, Sekolahan sepi bagai tak berpenghuni kecuali bunyi sepatu guru-guru berjalan ke kelas yang ingin mereka ajar pagi ini, Dan juga para penjual kantin yang kembali bersantai di tempat duduknya.

Pelajar 2 IPS-B saat ini tengah berganti pakaian olahraga di dalam kelas mereka. Baron dan Vito juga tak ketinggalan, Mereka tak perlu pergi ke ruang ganti karena seluruh murid dikelasnya merupakan laki-laki. Cowok sipit tersebut membuka kancing bajunya satu persatu kemudian menanggalkannya.

Uke di kelasnya menjerit, "Roti sobek!!" Seru mereka berapi-api sebab Baron tak memakai baju dalaman melainkan langsung pakai seragam Pramukanya. Terlihat pelajar pria yang lain memutar bola mata dengan malas.

Sebenarnya tak banyak uke di kelas, Jika dihitung jari mungkin cuma 6 orang dari 20 keseluruhan pelajar di kelasnya. Di sekolahnya, Hal-hal berbau kehumuan lumrah ditemukan. Alasan Baron bisa tau mana uke mana bukan juga sangat gampang. Wajah mereka cenderung lebih terlihat manis daripada murid-murid lelaki di sekolah ini, Juga kebanyakan mereka berpostur pendek.

Namun tak menutup kemungkinan bila ada uke yang bersembunyi dibalik penampilan maco serta tingginya disini, Dan untuk soal itu Baron tidak tahu dan tidak mau tau.

Ia jengah, "Berisik! Lo semua kan laki-laki!" Ujarnya acuh sembari memakai baju olahraga, Setelahnya dia lanjut melepas celana.

"Seksi!!" Akan tetapi bukannya reda, Keenam uke di sana justru semakin keras pekikannya.

Serempak mereka menepuk jidat, termasuk Baron. Vito menggelengkan kepalanya sebelum kembali mengganti seragam Pramukanya dengan baju olahraga, "Sana Bar, Ladenin, Sekalian suruh buka celana terus nungging"

Baron bergidik, "Iuuuh... Lubang jahanam hahaha...!" Dia tergelak disela-sela memasang celananya. Vito beserta teman-temannya di kelas ikut tertawa lepas.

Usai berganti semuanya bergegas ke lapangan basket dimana ada Pak Angga sang guru olahraga yang tengah duduk di lantai semen lapangan sambil mendongakkan kepala sambil memejamkan mata, Menikmati cahaya matahari. Tak heran bila kulit pria berumur 26 tahun itu berwana coklat terang seksi, Pikir Baron.

Diliriknya kulitnya, Kuning langsat... Apa dia harus sering berjemur seperti Pak Angga? Coklat terang adalah warna kulit impian Baron. Tidak, Baron pastinya bersyukur diberi warna kulit macam ini, Hanya saja sebagai lelaki ia tidak terlalu percaya diri. Lebih-lebih lagi teman-temannya di sekolah maupun di luar sering mengatainya anak rumahan disebabkan kulitnya.

Pak Angga bangkit dari lesehannya, "Semuanya baris! Harun, Kamu arahkan teman-temanmu!" Si ketua kelas, Harun mengangguk patuh dan mulai mengatur barisan setiap teman-temannya hingga lurus dan rapi.

Ia melanjutkan, "Tim Basket sekolah masih kekurangan pemain, Jadi hari ini saya akan meminta kesediaan kalian untuk ikut tim basket sekolah karena sekitar 2 Minggu mendatang Tim Basket kita akan mengadakan pertandingan dengan SMK Langga 99" Mereka semua manggut-manggut, Kecuali Baron.

Tubuhnya bisa kekar karena rutinitas olahraga setiap hari Minggu yang ia jalankan. Baron belum pernah mewakili sekolah dalam bidang apapun baik di SMP maupun sekolahnya sekarang. Selain mencari uang, Baron tak tertarik pada kegiatan merepotkan seperti ini.

Saat ini saja dia diam-diam pusing memikirkan uang SPP nya yang menunggak sedang tanggal pembayaran 2 Minggu lagi. Bila Baron tak membayar, Dia akan dikeluarkan paksa oleh pihak sekolah. Ia juga bukan anak yang pintar. Bahkan dulu ingin berhenti sekolah ketika orang tuanya meninggal dunia dan berencana fokus bekerja demi membiayai pendidikan Ririn. Namun rasanya tanggung jika Baron berhenti, Toh tinggal 1 tahun lebih lagi ia lulus.

Vito menyenggol lenganya dari barisan sebelah kanan, "Bar, Yuk ikutan!" Ajaknya.

Baron menolak cepat, "Gak, Mending cari duit" Ulasnya cuek.

Ari menimpali, "Duit Mulu di otak Lo, Sekali-kali ikutlah! Seneng Loh! Banyak ciwi-ciwi cakep disana!" Hasut teman sekelasnya tersebut.

Baron, "Bosan" Dua remaja itu menggelengkan kepala mereka mendengar kata-kata Baron.

Pak Angga, "Kalian dengar apa yang saya katakan?"

Seluruh siswa menjawab, "Dengar Pak!!"

Lelaki itu mengangguk, "Baiklah, Tapi sebelum kalian mendaftar saya akan mengetes kemampuan kalian, Yang ingin ikut berkumpul di depan sementara yang tidak berminat kalian bisa melakukan olahraga lain, Ingat! Jangan ada yang ke kantin!" Perintahnya tegas. Nampak remaja-remaja belia tersebut cengengesan di tempat, Padahal memang itu tujuan mereka.

Satu demi satu dari mereka maju termasuk Vito hingga terkumpul 7 orang. Baron seketika memisah hendak bermain bulu tangkis dengan yang lainnya tetapi Pak Angga mencegah, "Baron, Kamu tidak ikut?"

Cowok sipit disana menoleh padanya, "Nggak pak, Saya mau main bulu tangkis"

Pak Angga, "Coba kamu kesini dulu" Panggilnya. Akhirnya dengan terpaksa Baron putar balik bergabung bersama 7 temannya yang lain.

Baron, "Apa pak?"

Pak Angga, "Kenapa kamu tidak pernah ikut kegiatan apapun? Padahal basket ini olahraga yang digemari remaja-remaja seusia kamu juga teman-temanmu. Badanmu kan tinggi seperti ini, Apa yang kamu permasalahkan?"

Baron, "Saya gak ada waktu Pak" Balasnya singkat.

Pak Angga, "Tidak ada waktu?" Bingung pria itu.

Vito, "Baron banyak kerjaannya Pak" Sahutnya dari belakang. Meski dia selalu memaksa Baron ikut bidang olahraga, Namun sebenarnya itu hanya candaannya semata sebab Vito tahu kehidupan sahabatnya tersebut.

Guru olahraga tersebut lantas menoleh sekilas pada Vito, "Kamu kerja buat apa?" Tanyanya pada Baron.

Baron, "Buat hidup saya sama adik pak"

Pria itu berpikir, "Hmmm... Saya baru ingat, Kamu kan yang menunggak pembayaran SPP?" Tebaknya yang dijawab Baron anggukkan kecil.

Hehehe... Angga tersenyum penuh maksud. Sejak Baron masuk di sekolah ini, Ia pribadi sangat ingin remaja ini masuk bidang olahraga terutama Basket mengingat tinggi serta tubuh sempurna milik Baron. Sayangnya tidak demikian, Malah ia melihat remaja bermata sipit didepannya benar-benar kelihatan tak tertarik dengan bidang olahraga manapun.

Dia tidak bisa menyerah. Membuat gestur berpikir, kemudian matanya terbuka sembari menjentikkan jarinya. Angga menatap wajah ganteng cowok sipit dihadapannya, "Bagaimana kalo begini, Saya akan tanggung SPP bulanan kamu sampai lulus" Baron membelalak.






Mohon di tekan ⭐👈 agar si penulis tidak bete lagi🤧 Jangan lupa juga untuk berkomentar supaya Penulis jadi bahagia bisa berinteraksi dengan pembaca yang sudah rela waktu demi membaca karya kami

LOVE YOU, RASCAL!! (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang