33. Dia Dan Sifat Anehnya

4.4K 471 1
                                    

Wijaya bangkit, "Mau sampai kapan kamu akan membenci mereka hah?! Masalah itu terjadi sudah 14 tahun lalu, Tapi kenapa kamu masih tak suka dengan Mama tirimu juga Alsa?"

Dengan geram Kandra pun menghardik, "Kalo bukan Papa yang kegoda sama pelac*r itu terus kalian selingkuh, Mama gak bakalan meninggal karena stres Pa! Andai aja waktu itu Papa gak bawa dia kesini semuanya bakalan baik-baik aja sampai sekarang!"

Wijaya melangkah mendekati putranya, "Kenapa kamu tidak bisa mengikhlaskan semuanya! Asni itu pengganti Mamamu sekarang, Jadi seharusnya kamu menghormatinya layaknya seorang Mama, Bukan selalu memanggilnya dengan sebutan itu!"

Tak mau kalah Kandra pun maju, "Itu emang sebutan yang pantas buat dia! Suatu saat nanti Papa bakalan nyesel karena udah milih pelac*r itu dan sia-siain Mama!"

Amarahnya memuncak. Wijaya melayang tangannya di pipi anaknya. Kandra tak sedikitpun gentar, Dia sudah terbiasa akan ini jadi remaja itu tetap berdiri tegak dihadapan ayahnya.

PLAK!

Wijaya berseru, "Baron!" Dia salah menampar orang.

Baron menyentuh pipinya yang merah hasil tamparan keras majikannya, "Hehehe... Maaf Baron ikut campur lagi tapi Baron masih butuh anaknya Om ini buat nganterin Baron pulang, Kita pamit ya Om assalamualaikum!" Tuturnya cengengesan seraya menarik paksa Kandra dari sana.

Di depan garasi Kandra menyentak genggaman tangan Baron, "Lo itu apa-apaan sih! Siapa yang nyuruh Lo buat gantiin gue!" Marahnya.

Masih memegang pipinya Baron berbalik, "Cerewet Lo! Udah buruan anterin gue pulang!"

Remaja sawo matang itu seketika protes, "Sejak kapan gue jadi ojek pribadi Lo!"

Baron, "Lo gak kasihan apa gue pulang sendirian?" Dalam hati Baron ingin muntah saat ini juga akibat ucapannya barusan.

Kandra mendengus, "Nggak! Najis denger Lo ngomong gitu, Berasa kek perempuan tau nggak!"

Baron, "Yaudah kalo gitu gue pulang sendirian" Kelar mengatakan itu Baron mulai melangkah tapi berhenti ketika Kandra mencegat tangannya. Lantas Si Sipit menoleh, "Sekarang apa lagi? Lepasin gue mau pulang, Ntar takutnya sampe di rumah tengah malem"

Hela nafas Kandra berucap, "Tunggu di sini, Gue mau ambil motor!"

Dia mau membuka mulutnya untuk bertanya akan tetapi Kandra menyela cepat, "Gak usah nanya! Sebelum gue berubah pikiran" Baron kembali mengatupkan bibirnya.

Tak butuh lama Kandra datang dengan menaiki motornya lalu singgah, "Ayo naik" Titahnya yang langsung Baron turuti dan mereka pun pergi dari rumah Kandra.

Setelah 5 menit saling diam, Baron berkata, "Lo sayang nggak sama bokap Lo?"

Kandra meliriknya lewat spion, "Gak tau apa gue masih sayang atau nggak sama tuh tua bangka" Jawabnya acuh.

Baron, "Kenapa gak tau?"

Kandra balik membuang pertanyaan, "Terus kenapa Lo nanya?"

Baron, "Orang gue cuman kepo doang sama jawaban Lo!"

Kandra meluruskan pandangan ke jalanan yang masih diisi oleh lalu lalang kendaraan melintas meski sudah tak sepadat sebelumnya karena sekarang hampir 11, "Bisa dibilang gue benci, Gara-gara Papa yang bawa perempuan murahan itu ke rumah, Kebahagiaan yang gue rasain sejak kecil hilang gitu aja, Tiap hari bahkan tiap jamnya gue masih inget gimana bonyok gue ribut"

Baron mengulum bibirnya, "Sorry gue pernah ngatain Lo kekanakan, Mungkin kalo gue yang ada di posisi Lo, gue juga bakal ngelakuin hal yang sama"

Remaja didepan memejamkan mata sejenak sebelum tersenyum miring disertai hembusan nafas cepat, "Yang Lo omongin ada benernya kok, Gue juga mau minta maaf karena udah nyinggung perasaan Lo dengan ngatain gak punya orang tua"

Mendengarnya Baron mendecih, "Lo telat minta maaf, Gue udah duluan sakit hati cuk!"

Kandra, "Situ juga sama! Jadi jangan nyalahin gue!" Tanpa menatap mereka saling mengulas senyum tipis.

Tak lama setelahnya Kandra berucap, "Tinggal seminggu lebih kita bakal ketemu sebagai musuh di pertandingan basket"

Ah, Baron hampir melupakan ini, "Gue pastiin sekolah gue yang bakal menang!"

Garis di bibir Kandra naik membentuk senyum remeh, "Heh, Mimpi tuh jangan ketinggian bego! Ntar jatuh yang sakit kan Lo sendiri" Ejeknya.

Baron, "Enak aja omongan gue Lo anggep mimpi! Kita liat aja siapa yang bakal menang nantinya, Sekolah Lo atau gue" Balas Si Sipit menantang.

Kandra mengangguk mantap, "Oke siapa takut! Terus yang menang dapet hadiah gak nih?"

Baron menggaruk pipinya, "Emang harus ada hadiahnya gitu?"

Kandra, "Ya haruslah! Kalo gak ada yang direbutin gak asik namanya!"

Baron, "Terus Lo mau hadiah apaan dari gue? Kalo Lo mau minta duit jangan harap gue bakalan ngasih, Utang Lo aja masih 5 juta sama gue!"

Remaja sawo matang itu sontak merotasikan matanya jengah, "Siapa juga yang ngomong gue mau duit! Dan soal utang gue ke Lo itu pasti gue bakal bayar kok, Lo tenang aja duit gue banyak!"

Si Sipit menyindir, "Iya kaya, tapi bayar duit 5 juta aja gak mampu, Kismin!"

Kandra, "Heh! Lo jangan ngerendahin gue! Urusan itu kecil buat gue, Yang terpenting itu gue mau Lo temenin gue jalan-jalan sebagai hadiah kalo sekolah gue menang tanding basket nanti"

Alis Baron terangkat, "Cuma jalan-jalan doang?" Ulangnya tak percaya.

Kandra, "Itu doang dan gue gak minta lebih, Kenapa? Lo keberatan?"

Baron, "Ya enggak sih, Tapi kenapa jalan-jalan musti bareng gue juga? Kan Lo bisa ngajak anak buah geng Lo atau mantan Lo sekalian si Kartika itu!"

Wajah Kandra masam mendengar nama mantannya disebut Baron, "Gak usah bahas dia, Dan lagi gue bosan jalan bareng sama anak buah gue jadi gue pengen kali ini Lo yang temenin"

Lagi-lagi Baron berkata, "Kenapa harus gue coba? Dan lagi mana ada waktu gue buat nemenin Lo, Kerjaan gue aja numpuk udah kayak gunung!"

Kandra, "Atau Lo mau gue minta duit? Pasti Lo gak bakalan mampu"

Si Sipit mendesah kasar, "Hah! Iya-iya gue bakal nemenin Lo, Itupun kalo sekolah Lo yang menang" Sarkasnya.

Kandra, "Setan Lo!"

Di perjalanan tiba-tiba Baron diserang rasa kantuk yang luar biasa pada matanya. Si Sipit berjuang keras untuk menahan meski berkali-kali kepalanya harus terantuk punggungnya Kandra. Makin lama kelopak mata atasnya turun perlahan, lagi, lagi sampai terpejam sempurna, Baron tertidur dalam keadaan duduk tegak kecuali kepalanya yang menunduk.

Kandra geleng-geleng melihat semua tingkah remaja itu dari kaca spionnya. Dia memberhentikan motornya di pinggir jalan, Lantas dengan pelan menarik hingga Baron bersandar di punggungnya. Lalu mengambil satu persatu tangan Baron dan melingkarkan ke pinggangnya.

Ia sekilas menatap wajah tampan Baron yang terlelap, "Makasih, Walaupun gue sendiri gak tau kenapa ngucapin ini tapi sekali lagi makasih" Gumanya. Jari-jarinya terulur bermaksud menyingkap poni depan yang menghalangi mata Baron namun kemudian dia tersadar dan segera menggeleng, "Gue mau ngapain sih! Ingat Dra dia itu cowok!"

Usai memastikan bahwa Si Sipit aman dibelakang barulah kemudian dia pun melanjutkan perjalanan.

Yang tidak disadarinya adalah selang beberapa menit Baron membuka mata sipitnya dengan cara melotot. Sudut mata kirinya berkedut-kedut, Apa barusan tadi Kandra ingin menyingkap poninya?! Hari ini kelakuan remaja itu sangat aneh kepadanya. Tak mau pusing Baron kembali menutup mata.

Saat sampai Kandra memutar setengah badannya guna membangunkan Baron tetapi batal kala mendapati sadel belakangnya kosong, "Huh? Kemana tuh anak kok gak ada?" Bingungnya. Tidak mungkin kan jika remaja bermata sipit itu jatuh di jalan tanpa disadarinya?

Hingga sahutan membuatnya menoleh ke arah pintu rumah Baron, "Makasih buat tumpangannya, Bye!"

Brak!

Itu suara kasar pintu yang ditutup. Spontan Kandra terkesiap lalu mengerenyit heran, "Sejak kapan tuh anak turun dari motor gue? Aneh!" Monolognya dan memutar balik motornya terus melaju. 

LOVE YOU, RASCAL!! (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang