...

255 33 3
                                    

  Sambil menunggu Ryan kembali dari balai desa ia mengelilingi castil tersebut sambil melihat-lihat. Sudah terhitung tiga jam semenjak Ryan bekerja, selama itu juga ia menemukan banyak tempat bagus dan menarik.

Salah satu yang begitu indah adalah ruangan di barat kastil, mereka bilang tempat itu dulunya adalah ruang dansa. Sebuah ruangan cukup besar untuk acara keluarga yang mewah. Ada sebuah kaca patri yang membingkai beberapa jendela dan berjejer rapih. Seakan dari sana menceritakan banyak kisah juga dongeng yang patut di dengar sampai tertidur.

Ia sudah bertanya pada bibi Mary alasan mengapa tempat itu jadi kosong. Semenjak tiga tahun lalu, setelah Odatte dan Ryan resmi bercerai tak pernah ada lagi acara keluarga yang hangat atau pesta dansa sederhana.

Ciera menatap ke sekelilingnya sekali lagi.
"Bibi Mary benar, rumah ini seperti kehilangan cahaya" Gumamnya.

Para pelayan bercerita dengan senyuman kalau Odatte adalah penari yang hebat, biasanya beberapa bulan sekali mereka akan berkunjung ke kastil dan membuat pesta kecil yang di hadiri para tetangga dan bangsawan di sekitar sana. Ia punya gerakan yang indah, dan saat wanita itu menari Ryan akan tersenyum lebar dan bahkan memuji lewat tatapan atau bahkan ikut berdansa, memasang wajah yang sangat bahagia. Sayang sekali para pelayan itu langsung di tegur oleh bibi Mary, wanita itu takut Ciera merasa tidak di hargai atau bahkan mengundang cemburu yang mustahil.

Padahal kenyataannya, ia sendiri yang ingin tahu tentang hal itu. Tapi tak apa, bibi Mary berlaku amat menyayangi dirinya. Seperti anak gadis kesayangannya.

Jika Ciera putar lagi beberapa pesta yang pernah ia hadiri, Ciera tak pernah melihat Ryan berdansa lagi atau bahkan tertarik pada acara tersebut. Mungkinkah pria itu merasa muak dan sedih saat memikirkannya?

Ciera berusaha membayangkan suasana saat itu dengan menatap ke arah lampu dan beberapa lilin yang mati di sekitar sana.

"Harusnya lampu itu pasti menyala, membuat lantainya seperti berlian. Lilin itu juga pasti punya aroma yang unik menyebar ke seluruh ruangan" Ia melangkah maju dan mendekati meja. "Akan ada banyak kue dan jus di atas sini. cemilan kecil yang pasti semua orang akan menyukainya. Di sebelah sana ada orkestra bermain dengan indah"
Ciera tersenyum, ingatan yang pernah ia alami saat menjadi gadis kecil manis yang memiliki ibu penyayang dan sabar.

Ada rasa sakit dan bahagia dalam waktu bersamaan. Ia terdiam, membiarkan kakinya terasa hampir keram di saat pikirannya terus mendorongnya untuk berkelana di perjalanan lampau. Menari-nari dalam sebuah bayangan yang tak akan pernah ia lupakan.

"Apa yang kau lakukan?" Pertanyaan itu menghancurkan bayangan yang tercipta.

Ia menoleh dan mendapati Ryan sudah kembali dan tengah menatapnya penasaran sambil melepaskan sarung tangan.

"Tidak ada" Jawabnya sambil menggeleng.

"Ayo kita pergi"

Ah benar ia hampir lupa sedang menunggu pria itu. Padang bunga pasti menunggu dirinya. Kakinya melangkah dan di saat itu dia jatuh tersungkur menciptakan sesuatu suara cukup keras dan menggema.

Dia meringis sambil memegangi lengannya, sedangkan Ryan berlari cepat menghampiri dirinya.

"Ada apa denganmu? Apakah berjalan dengan baik saja kau tak mampu?"

"Kaki ku kesemutan tau!"

Ryan menggeleng, entah apalagi yang Ciera lakukan sampai kesemutan tanpa sadar.
Mereka menunggu lima belas menit sampai kesemutan Ciera menghilang sebelum berjalan keluar untuk berangkat.

"Kita akan naik itu?" Dia terlihat ragu melihat sebuah kuda hitam yang besar berada di tangan penjaga.

"Jalurnya cukup sulit, dengan ini akan lebih mudah"

Ia mengangguk, dengan apapun itu tak masalah asalkan dirinya sampai di Padang bunga yang Ciera mau.
Ryan melompat ke atas kuda itu dengan mudah. Tentu saja karena ia punya kaki yang panjang dan kuat, di saat itu Ciera menatap ngeri. Jangan sampai hal ini membuat dirinya mengurungkan niat.

Dengan bantuan penjaga dan uluran tangan Ryan ia berhasil naik dengan selamat. Ia duduk tepat di belakang pria itu dengan jarak yang begitu dekat.

"Berpegang lah. Jangan sampai tulang mu patah karena jatuh"

"Aku tau" Dia melingkarkan tangan memeluk tubuh Ryan. Aroma rempah-rempah yang segar menyapa hidungnya, aroma shampo pria itu juga sangat enak. Rasa hangat yang menyatu pada tubuhnya begitu asing namun nyaman.

Ryan menghela nafas, dia terdiam sejenak tak menyangka ada sesuatu yang aneh di dalam dirinya. Ia tak pernah membayangkan saat Ciera memeluk dirinya ia jadi bingung. Ia bukan orang yang mau di sentuh sembarangan, pelukan yang terasa erat begitu familiar olehnya.
Ia menyadarkan diri, lantas mulai memacu kuda. Mereka harus kembali sebelum gelap agar tidak terlambat untuk makan malam.

Mereka melewati ladang anggur dan berbelok memasuki hutan. Pacuan kuda yang makin kencang membuat Ciera semakin mengeratkan pelukannya juga. Di saat itu Ryan merasa sulit bernafas, di sebabkan oleh perasaan aneh. Perasaan yang bahkan ia sendiri tak tau. Selama ini ia belum pernah dapat pelukan lain selain Odatte dan wanita di keluarganya. Ia pikir mungkin ini perasaan terganggu yang wajar.

Ciera mengamati jalan walau sambil ketakutan. Menunggangi kuda cukup ekstrim untuk dirinya. Tapi di balik sejajaran pohon itu ia mulai melihat sebuah cahaya dan warna-warna di ujung sana.

Hingga akhirnya mereka sampai pada cahaya tersebut dan sebuah Padang bunga seluas mata memandang ada di hadapannya.
Kecepatan kuda mulai menurun, di saat yang bersamaan pelukan Ciera mengikuti hal tersebut. Perhatiannya sepenuhnya telah di rampas. Matanya berbinar, hatinya seperti mekar bunga matahari.

Ryan menepikan kuda mereka di dekat pepohonan dan turun. Ia lantas mengulurkan kedua tangan, membantu Ciera turun dengan menggendongnya agar wanita itu tak perlu melompat. Ia mendarat di tanah dengan amat mulus dan langsung berlari menuju hamparan bunga sambil berteriak senang.

Bukan hanya Ryan yang terkejut mendengar Ciera menjerit senang melainkan kuda itu juga.

"Tenanglah Rocco, dia hanya sedang tidak waras" Kata Ryan sambil mengikat kuda bernama Rocco pada pohon.

Ia memperhatikan Ciera dari tempatnya berdiri lalu melangkah menghampiri wanita muda itu. Dia berlari ke sana kemari sambil merentangkan tangannya. Berteriak-teriak seperti telah kehilangan akal. Ia berhenti untuk mencium aroma bunga sesaat kemudian melompat-lompat senang.

Ryan melipat kedua tangan. Satu permintaan itu terkabul, ia tak pernah membayangkan wanita itu amat senang hanya karena hal ini.

"Jangan pergi terlalu jauh!" Sebuah peringatan dari Ryan membuat Ciera berlari mendekat.

Dengan nafas tersengal ia berdiri di hadapan pria itu.
"Kau tau kalung ini tadi bersinar terang"

Ryan menatap ke arah Leher Ciera. Ia hampir tidak bisa memilih dari banyaknya kemungkinan mengapa kalung itu bersinar.

"Mungkin dia sedang menyerap energi alam" Ryan tak mau repot banyak bicara untuk menjelaskan hal itu.

"Tempat apa yang ada di sana?" Ciera menunjuk ke arah sebuah tempat yang jauh di sana. Matanya yang hitam itu ternyata bisa melihat jika ada tempat di sana.

"Rumah tak berhuni" Ryan tak menoleh saat menjawabnya seakan tau tempat itu dengan jelas.

Ciera kembali menoleh ke arah sana.

"Apa kita bisa ke sana?"

"Apa kalimat rumah tak berhuni tak cukup meyakinkan dirimu ha?" Jelas Ryan menolaknya.

"Kau sudah berjanji" Ciera ikut melipat kedua tangannya.

Ryan mendesa begitu keras, ia harap ini bukan sesuatu yang amat sulit walaupun ia tak suka. Ia bahkan tak pernah menyangka sebuah rumah tak berhuni bisa membuat wanita muda tertarik datang.

"Baiklah, tapi jangan menangis jika kau ketakutan di dalam sana. Aku juga perlu memberi tahu sesuatu padamu" Ryan lantas melangkah duluan.

"Memangnya semenakutkan  apa sih? Apa ada bekas pemujaan setan di dalam sana?"

Ryan tak menjawab.

.

.

.

Queen Escape [ Completed ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang