Helaan napas panjang terdengar memecah sunyi; sudah lima belas menit hanya diisi hening. Keduanya sibuk membalas tatap seraya tersenyum hangat, mengutarakan rasa tanpa suara, hanya lewat mata yang seolah-olah dapat berbicara. Katanya; waktu berlalu begitu cepat. Dua minggu terasa seperti hanya dalam sekejap, berganti dengan singkat, lalu lenyap dan berakhir. Ada banyak yang terjadi, silih berganti, dan Taehyung merasa semuanya masihlah serupa mimpi. Namun, sebanyak apapun ia menyangkal, perpisahan nyatanya tetap tidak bisa dihindari. Kini disinilah mereka berdiri, saling berhadapan, di bandara yang barangkali akan menjadi tempat terakhir kali mereka bertemu, sebelum keberangkatan Jungkook menuju Amerika entah untuk berapa lama waktunya, kendati begitu, selalu ada harapan yang mereka coba utarakan, berharap semesta mengasihani lalu membiarkan mereka bersama lagi.
Sesekali Taehyung terpejam, menikmati usapan lembut yang terasa menggelitik permukaan wajahnya dengan sebuah sentuhan yang teramat hati-hati—— ia diperlakukan bak sesuatu yang mudah hancur lalu menghilang. Bersamaan dengan itu, pikirannya melayang acak pada ingatan-ingatan masa lalu yang terproyeksikan serupa film dokumenter di dalam kepala, lalu berhenti pada kejadian beberapa waktu yang lalu; pada pembicaraannya dengan bunda seminggu yang lalu, di pertemuan keduanya yang sudah serupa rutinitas harian. Semuanya masih hangat, masih baru, bahkan sesak yang sempat terasa belum sepenuhnya hilang. Sebab, ada luka menganga yang pada akhirnya timbul ke permukaan, disertai rasa bersalah yang teramat besar.
“Taehyung, terima kasih, ya. Kamu anak lelaki yang baik” Tanpa disangka hari itu bunda mengawali pembicaraan dengan sebuah kalimat pujian, hangat menjalari dada, Taehyung balas tersenyum kecil dengan pipi yang bersemu merah sebagai reaksi nyata. Ia merasa malu, belum cukup pantas untuk dikatakan demikian, karena pada kenyataannya Taehyung tidak sesempurna yang dibayangkan. Tetapi, bunda justru mengatakannya dengan kelewat tulus, penuh kasih, disertai tatapan dalam serta senyuman lebar, diakhiri usapan lembut pada punggung tangannya. Taehyung refleks meliriknya, memandang sendu tangan-tangan cantik yang mulai kehilangan bobotnya, tulang-tulangnya terlihat menonjol sebab daging tak lagi ada sebanyak dulu, sekarang hanya berhiaskan kulit-kulit pucat juga ruam-ruam merah di beberapa bagian. Ia meringis, balik menggenggam erat lengan bunda untuk berbagi kekuatan dan seakan-akan dengan begitu, kesakitannya juga dapat ia rasakan. “Kamu harus tahu, nak. Bunda merasa beruntung sekali dipertemukan dengan kamu lewat Jungkook” katanya melanjutkan.
Ada banyak hal yang selalu Taehyung sukai dari sosok bunda; perempuan itu selalu mengutarakan ucapannya sejujur sorot matanya mengatakan, juga karena memiliki kasih sayang melebihi besarnya semesta bahkan untuk Taehyung yang bukan siapa-siapa. Sejak pertama kali bertemu dulu, bunda langsung menyambut kedatangannya dengan ramah, mempersilahkannya untuk bergabung menjadi bagian dari keluarga tanpa membeda-bedakannya, baiknya bunda membuat ia nyaman hingga Taehyung terkadang merasa seperti di rumah. Barangkali keluarga Jungkook memang tidak pernah seutuh keluarganya, tetapi hangatnya bahkan melebihi keluarga Taehyung juga perapian di musim dingin.
Lalu disana, Taehyung membalas dengan cepat, tidak ingin kalah, “Taehyung juga beruntung bertemu dengan bunda” dan bunda terkekeh ringan sebagai tanggapan disusul gelengan pelan.
Setelahnya, ada jeda yang diambil cukup lama. Bunda terdiam untuk sejenak, menatap kosong pada ujung blankar tempatnya terbaring selama nyaris empat minggu lamanya. Taehyung dapat merasakan tensi ruangan berubah dengan cepat, tatkala bunda menatapnya dengan mata yang sudah berkaca-kaca juga sorot yang separuh gugup, beberapa kali mulutnya terbuka dan terkatup dalam hitungan detik, perempuan itu barangkali kesulitan untuk menyampaikan kalimatnya, sampai akhirnya berujar lirih, penuh sesal, sekaligus rasa bersalah, “bunda, minta maaf, ya, nak” katanya tiba-tiba diakhiri satu hembusan napas berat, tetapi bunda tak gentar melanjutkan meskipun dengan sedikit terpatah-patah, “karena bunda, semuanya menjadi kacau. Padahal, beberapa bulan yang lalu, bunda sempat mengatakan dengan sangat percaya diri bahwa bunda merestui kalian sampai semesta enggan memisahkan. Tetapi, bunda malah memberi semesta peluang lebih besar untuk menjauhkan kalian satu sama lain. Bunda minta maaf karena harus membuat kamu terluka”
Taehyung refleks menahan nafasnya, merasa tertohok; kalimat bunda bak tumpukan batu-batu besar yang menimpa dadanya, sesaat kemudian sesak menjalar begitu mudah—— Taehyung ingin menggeleng, menyanggah dengan keras, mengatakan bahwa semua bukanlah salah bunda, tetapi air mata justru keluar lebih cepat, lidahnya kelu dan gerakannya kaku. Ada rasa sakit hati tak biasa yang sulit untuk diartikan, meski ia menyadari secara penuh bunda bukanlah sosok yang tepat untuk disalahkan, kendati demikian ia tidak bisa menyembunyikan fakta bahwa ia sangat terluka oleh keadaan, dan sayangnya sakitnya bunda menjadi alasan semua ini terjadi.
“Tae..”
Kemudian bak diputus secara paksa ingatannya berhenti sampai disana. Ia membuka matanya secara perlahan-lahan ketika sebuah panggilan disertai sapuan-sapuan lembut terasa pada sudut matanya yang ternyata sudah basah entah sedari kapan. Taehyung menangis. Dipandanginya Jungkook yang wajahnya sudah sama basahnya, ia terkekeh kecil, merasa lucu sendiri sebab air mata keduanya seolah tidak ada habisnya, padahal di malam-malam sebelumnya keadaan mereka tak ada bedanya dengan yang saat ini. Hanya saja, Taehyung terlalu apik menyembunyikan lukanya sendirian. “Sakit, ya?”
“Sakit, Jung”
“Maaf, ya” katanya lirih, merasa bersalah. “Maaf karena kita harus berakhir kayak gini”
“Bukan salah lo” sanggahnya cepat, berusaha menenangkan Jungkook yang malah menangis semakin keras, mengabaikan kondisi ramai bandara di sekeliling mereka. “Cuman kadang gue bertanya-tanya, apa yang sebenarnya sedang direncanakan Tuhan? Kenapa harus ada pertemuan kalo berujung pada perpisahan?” Jungkook memejamkan matanya. Ada sakit yang luar biasa tak terbendung ketika kalimat itu terucapkan langsung dari sepasang mulut Taehyung. “Tetapi, pada akhirnya gue nggak pernah nyesel ketemu sama lo, Jung. Kalo memang kehidupan kita bisa terjadi berulang kali dan takdirnya berjalan sama persis kayak gini, gue akan minta Tuhan untuk tetap pertemuin kita. Sesakit apapun rasanya, gue berharap kita selalu dipertemukan lagi dan lagi” lanjutnya teramat tulus, diakhiri usapan lembut pada pipi Jungkook. Pandangan mata keduanya kembali bertemu dan lewat sorot mata tajamnya, Jungkook dapat merasakan sayang yang teramat besar. Taehyung seperti sanggup menyayanginya bahkan melebihi besarnya semesta.
“Maaf gue egois, tapi di kehidupan selanjutnya atau di kehidupan kita yang manapun, gue berharap semesta akan sedikit lebih berbaik hati untuk mempertemukan kita lagi dan mempersatukan kita lagi dan lagi” tuturnya. “Nanti tolong cari gue, ya, Jung. Dan gue akan berusaha cari lo, juga” Jungkook mengangguk cepat, menyetujuinya dengan mudah, lalu membiarkan Taehyung menariknya ke dalam sebuah pelukan erat, tangisan keduanya dibiarkan meluruh, mengalir deras sampai mereka sama-sama merasa puas, di detik-detik terakhir pertemuan keduanya, hingga harus terpaksa saling melepaskan ketika suara pengumuman untuk penerbangan Jungkook terdengar memenuhi seluruh penjuru bandara.
“Jangan sakit, ya, Jung. Ayo kita akhiri”
Jungkook tersenyum getir, kini hubungan keduanya sudah resmi berakhir dengan cara paling baik yang Semesta sudah gariskan. “Jangan nunggu gue, ya, Taehyung, karena gue nggak bisa janjiin apa-apa. Suatu saat, kalo lo ketemu sama orang yang tepat, silahkan kalian bersama. Hubungan kita selesai disini” Kata Jungkook dengan berat hati, tetapi bagaimanapun ia memang harus belajar untuk merelakan, barangkali keduanya memang tidak ditakdirkan untuk bersama-sama.
“Menunggu itu urusan gue, lo nggak perlu merasa bertanggung jawab untuk kembali seorang sendiri” balas Taehyung disusul usapan acak pada pucuk kepalanya, “Jangan lupa pulang, Jung. Meskipun rumahnya bukan gue lagi. Sorry, I let you go, Jungkook” lanjutnya menyakitkan.
Jungkook menghela nafasnya susah payah, tersenyum kecil, “gue percaya Tuhan selalu punya rencana terbaik, kalo memang udah jalannya kita bersama, gue pastiin arah pulangnya nggak akan berubah, selalu menuju ke lo. I’m leaving, Taehyung. Semoga bahagia” —— Terakhir Taehyung membubuhkan satu kecupan di kening Jungkook dengan durasi waktu yang cukup lama, keduanya saling berbagi padangan sekali lagi sampai akhirnya saling memunggungi satu sama lain dan berjalan semakin menjauh, meninggalkan sisa-sisa hati yang tercecer berantakan untuk ditata kembali, berharap semesta mempertemukan lagi dalam keadaan yang sudah sama-sama utuh.
Dengan ini, kisah sekaligus hubungan mereka selesai. Pacaran memang selalu berujung pada satu hal; yaitu putus. Pembedanya adalah diakhiri dengan pernikahan atau justru perpisahan. Tuhan selalu punya rencana terbaik.
e n d
;
Terimakasih sudah menemani Taehyung dan Jungkook sampai usai. Jangan sedih lama-lama ya, nanti kita ketemu lagi, di epilog mungkin (?) Hehehe. I love youuuu...
KAMU SEDANG MEMBACA
Pacaran √ tk
FanfictionHanya sebuah kisah pacaran ala Kim Taehyung dan Jeon Jungkook yang jarang umbar kebersamaan tapi selalu menjadi topik hangat pembicaraan. "Kalian beneran pacaran kan?" || ⚠ bxb ⚠ top! Tae ⚠ harsh words ⚠ school-life ⚠ fluff/angst (?) Copyright © 2...