takut.-

1.2K 158 16
                                    

Acute Myeloid Leukemia, katanya. Jungkook merasa separuh kewarasannya tidak sepenuhnya kembali, ia masih kesulitan memproses semua yang terjadi, segalanya terlampau tiba-tiba, seolah-olah hanya dalam satu kedipan mata bahagianya yang sempat tercipta sirna, dipatahkan oleh takdir semesta. Hidupnya ternyata sebercanda ini. Bunda sakit, itu jelas. Tetapi, yang tidak begitu ia pahami mengenai fakta bahwa sakitnya ini bukan yang pertama kali. Dokter mengatakan kanker yang ada saat ini adalah hasil dari kemoterapi kanker yang sebelumnya, jadi sejak kapan bunda sakit? Kapan pertama kali bunda terkena kanker? Apakah bunda sudah tahu penyakitnya yang sekarang?. Seketika berbagai pertanyaan meradang dalam kepalanya yang berdenyut nyeri, ia tidak menemukan jawaban yang pasti, tak kunjung berhasil memahami semua keadaan yang dialami. Kesimpulannya, bunda terlalu fasih menyembunyikan penyakitnya hingga tidak ada yang menyadari, bahkan mungkin tak ada celah untuk semesta mengetahui. 

Jadi disana, Jungkook jelas tidak langsung dapat menerima informasi mengenai kesehatan bunda, ia meragu, setengah tidak percaya. Tetapi, kenyataan yang ada justru menampar pipinya dengan keras; sebab pada faktanya yang menyampaikan kondisi bunda kemarin malam adalah salah satu seorang dokter onkologi bedah dengan pengalaman yang cukup untuk disebut hebat, terlebih perkataannya dibuktikan oleh hasil dari serangkaian pemeriksaan kesehatan bunda—— dan semuanya tepat serupa seperti yang dokter diagnosa sebelumnya. 

Menghela napas panjang, Jungkook menyandarkan punggungnya pada kursi tunggu di depan ruangan bunda, ditatapnya nanar pintu yang tertutup rapat itu. Sehari sudah berlalu. Tetapi, ia masih enggan menemui bunda meski mengetahui jikalau bunda sudah sadarkan diri, kendati begitu, dokter mengabarkan kondisinya tidak sepenuhnya membaik. “Masih belum masuk?” barangkali, Jungkook nyaris saja menutup matanya jika suara Taehyung tidak terdengar melemparkan kalimat tanya, lelaki itu mendudukkan tubuhnya, menyerahkan satu kresek putih berlogo minimarket ke arahnya. “Gue beli roti tadi, kak Seokjin bilang perut lo belum sempat diisi dari pagi” paparnya menjelaskan.

Jungkook menghembuskan napasnya, menggeleng beberapa kali sebagai jawaban. “Nggak selera makan” tolaknya seraya menundukkan pandangan, bersiap menerima omelan dari sosok di sebelahnya, tetapi, setelahnya justru tak ada yang terjadi selain hening yang dibiarkan mendominasi, mengundang kernyitan dahi heran dari Jungkook. Taehyung justru terlihat mengeluarkan sehelai saputangan dari saku kemeja yang dikenakannya, juga sekotak es batu dari dalam kresek putih yang ditaruhnya asal di atas kursi kosong yang tersedia, lalu mulai mengambil satu potong es batu untuk ditaruh dan digulung di atas sapu tangan miliknya. Ia berjongkok, meraih sebelah kaki Jungkook dan menempelkannya di sekitar jempol kakinya. Jungkook membulatkan matanya, ia terkejut. “Loh, ngapain?”

“Jempol lo memar, nggak sakit?” Tanyanya. Jungkook mengerjap lambat, baru menyadari ada memar pada jempol kakinya yang kini mulai terasa berdenyut nyeri, kemudian memori ingatannya terlempar pada saat kakinya yang secara tak sengaja tersandung ujung meja kemarin malam, adegannya terputar dalam kepala bak sebuah film. “Sakit?” tanya Taehyung lagi ketika tanpa sadar Jungkook terdengar meringis pelan.

“Sedikit” sahutnya jujur. “Pelan-pelan”

Sorry” Dengan begitu, gerakan Taehyung menjadi kian hati-hati. “Makan, Kook. Nggak selera bukan sebuah alasan buat siksa perut lo sendiri” katanya lagi, kali ini terdengar sedikit memaksa dan penuh penekanan. “Lo jangan sampe ikutan sakit, nanti bunda khawatir” diakhiri ujaran lirih, Taehyung seolah tengah berbisik, tetapi keadaan disekitar keduanya yang sepi membuat Jungkook dapat mendengarnya dengan jelas. 

“Makasih” ujar Jungkook sesaat kemudian, pada akhirnya ia memilih menuruti Taehyung, meskipun sejujurnya ia tak merasa lapar sama sekali dan justru merasa perutnya seperti tengah di aduk. Tetapi, mengabaikan Taehyung juga bukan sesuatu yang tepat, lelaki itu jelas benar, jika Jungkook sakit ia hanya akan membuat bunda khawatir dan kondisinya mungkin akan memburuk, ia juga akan merepotkan semua orang, padahal semuanya sudah sama-sama merasa kelelahan. Jadi disana, ia mengambil sebuah roti, setidaknya beberapa suapan dapat mengganjal perutnya dan mencegah timbulnya penyakit. Tatapannya lalu dibawa memandang ke arah Taehyung yang masih sibuk mengobati lukanya, ekspresinya datar tetapi Jungkook tahu di balik itu ada lelah dan khawatir yang tersembunyi begitu apik, lelaki itu bahkan masih memakai pakaian semi formal, baru pulang dari kampus, sehabis kelas pagi yang harus dihadiri setelah melalui perdebatan alot sebab memaksa untuk menemani Jungkook.

“Lo sendiri udah makan?” tanyanya berusaha memulai obrolan, kali ini Taehyung yang tak buru-buru menjawab, si kekasih malah mendudukan tubuhnya di tempat semula, kemudian mengambil sebotol air mineral dan diserahkannya pada Jungkook. 

“Udah, tadi di kantin sama Jimin” jawabnya, lalu mengambil sebotol air mineral lainnya untuk dia minum sendiri, “Lebamnya kemungkinan nggak akan langsung hilang, nanti di kompres lagi, setidaknya kaki lo nggak bengkak” paparnya berusaha memberi tahu, Jungkook hanya mengangguk berulang kali seraya meneliti kakinya sendiri. “Sakit?”

“Sedikit”

“Jangan banyak gerak dulu”

“Lukanya kecil, kok”

Taehyung mendengus, memutar bola matanya malas, “terserah deh” katanya terdengar acuh, dibalas kekehan kecil oleh Jungkook.

“Gue sebenernya takut” ujar Jungkook tiba-tiba, mengambil topik acak dengan subjek yang tidak begitu Taehyung ketahui akan mengarah kemana, sampai Jungkook melanjutkan guna memperjelas, “gue takut buat ketemu bunda” 

Mengerutkan keningnya bingung, Taehyung terdiam sejenak, ia sedang berusaha memilah kata agar Jungkook tidak merasa terpojokkan sekaligus supaya rasa penasarannya terpuaskan, lalu menyahut singkat, “apa yang bikin lo takut?” tanyanya hati-hati, tetapi Jungkook justru malah terlihat kebingungan, “lo takut liat keadaan bunda sekarang?” tanyanya lagi, kali ini mencoba menyimpulkan dan Jungkook buru-buru menggeleng sebagai balasan.

“Bukan” jawabnya cepat, “gue takut bikin bunda khawatir dan kondisinya jadi memburuk, karena gue pasti nangis kalo ketemu dia” perjelasnya.

Taehyung terdengar menghela napas panjang, “kalo lo nggak nangis, justru bunda bakal khawatir” katanya. “Bunda pasti akan jauh merasa lega kalo dia liat lo luapin semua perasaan yang lo miliki ketimbang memendamnya sendirian dan malah mencoba keliatan baik-baik aja. Dalam kondisi sekarang, sangat wajar buat kita nangis dan kelihatan sedih, perasaan lo valid, Kook. Nggak ada yang salah dari itu” lanjutnya.

“Memangnya nggak papa? Bunda bakal baik-baik aja?”

“Kalo lo nggak tahu, hal pertama yang kak Seokjin, kak Namjoon bahkan gue lakuin ketika liat bunda, itu nangis, nggak ada yang bisa kita lakuin selain nangis, bahkan buat ngomong aja susah. Tapi, bunda nggak papa kan? meski kondisinya tidak begitu membaik setidaknya kondisinya juga nggak memburuk” Jungkook terdiam beberapa saat, berusaha mencerna baik-baik setiap kata yang Taehyung ucapkan. “Temuin bunda, Jung. Dia nunggu lo”

“Bunda… nunggu gue?”

“Hal pertama yang bunda cari itu lo sama kak Seokjin. Dia pasti ngerasa ketakutan sekarang” 

“Jadi gue boleh temuin bunda”

Taehyung terlihat mengangguk, mengusap pucuk kepalanya dengan sayang, ia memandang tulus, “boleh” katanya berusaha menyakinkan diakhiri anggukan. Lelaki itu lalu menarik pelan lengannya, mengajaknya berdiri dan mengantarnya sampai pintu ruangan bunda yang masih tertutup rapat, “temuin bunda, ngadu ke dia. Lo pasti punya banyak pertanyaan di kepala lo dan cuman bunda yang bisa ngasih jawaban” katanya seraya menepuk bahu Jungkook beberapa kali, “gue tunggu disini” lalu setelahnya, Taehyung membuka pintu ruangan bunda, Jungkook sempat meliriknya ragu, namun, perlahan-lahan mulai melangkahkan kakinya untuk masuk. Ia melirik sekitarnya, merasakan dingin mulai merayap memasuki tubuhnya, ada sesak yang semakin membelenggu, sampai suara pelan yang teramat ia kenali terdengar memanggilnya dengan lembut.

“Adek” dan setelahnya, pertahanan Jungkook runtuh seketika. Lelaki itu menatap bunda dengan sendu, tanpa sadar mempercepat langkah, air matanya mengalir deras, sementara dari tempatnya terbaring, dengan berbagai alat di tubuhnya, bunda tampak mengukir seulas senyuman lembut. “Sini, sayang. Bunda rindu” katanya lirih. Jungkook buru-buru mendudukkan tubuh, menggenggam sebelah lengan bunda, dan kemudian menangis disana sampai merasa puas, dengan bunda yang juga ikut menangis. Semuanya menjadi kelabu.



____

Kok sedih ya, hehe.

Pacaran √ tkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang