ekstra chapter.-

1.5K 177 42
                                    

“Sembilan tahun yang lalu, bunda akhirnya memilih menyerah dengan hidupnya, setelah berjuang begitu keras nyaris tiga tahun lamanya”

Jungkook memejamkan kelopak matanya sekilas, menarik napas singkat, air mata meluruh lewat sudut matanya—— faktanya ia masih belum sembuh. Tak peduli sejauh apapun waktu berlalu, memori ingatannya tak kunjung terkikis, kehilangan hari itu tetap tak bisa ia lupa, masih terpatri begitu nyata, dengan luka yang selalu terasa sama. Tak pernah berubah, seolah-olah masih baru dan basah. “….We lost her. We apologize profusely” bersamaan dengan kalimat dokter hari itu, Jungkook merasa dunianya runtuh. Kehilangan bunda tak pernah ia persiapkan meski terkadang sisi pesimisnya membuat ia memperkirakan, tetapi Tuhan berulang kali memberikan harapan seolah-olah menunjukkan keajaiban, kesehatan bunda dinyatakan meningkat pesat setelah menjalani satu tahun pengobatan, semua cara diupayakan. Hanya saja, memasuki pertengahan tahun kedua, kondisinya kembali mengalami penurunan, bunda bilang ia masih ingin bertahan, walaupun bukan karena sesuatu yang baik, namun rasa bersalahnya membuat ia memiliki semangat untuk hidup lebih lama.

Sayangnya, manusia memang hanya mampu merencanakan, sebab akhirnya tetap Tuhan yang menentukan. Bunda dinyatakan menghembuskan napas terakhirnya di tahun ketiga perawatan, ia menyerah untuk berbagai hal, tanpa sempat ucapkan selamat tinggal apalagi salam perpisahan.

“Tahun pertama setelah kepergian bunda, hubungan gue dan kak Seokjin memburuk. Emosi dan mental kita sama-sama nggak stabil. Dia yang lelah menghadapi gue dan gue yang terlalu larut dalam kesedihan” membuka matanya secara perlahan-lahan, Jungkook beralih memandang langit-langit ruangan dengan kosong, ia sibuk menerawang ke belakang, memutar kembali berbagai kejadian-kejadian acak dari masa lalu, mengenai perjalan hidupnya; waktu itu sulit. Kepergian bunda berdampak begitu fatal, diperparah dengan hancurnya hubungan di antara dirinya dengan Seokjin. Jungkook merasa hanya sendirian; ditinggalkan bunda, meninggalkan Taehyung—— lukanya menganga kian lebar dan ia bahkan tidak memiliki alasan lagi untuk bertahan hidup. Tetapi, bukan berarti Jungkook tidak berusaha untuk sembuh, Namjoon mengenalkannya pada salah satu psikolog, hanya saja semuanya tak cukup ampuh. “Gue di diagnosa mengalami Prolonged Grief Disorder, gangguan kesedihan berkepanjangan akibat ditinggalkan oleh seseorang yang teramat berharga” katanya melanjutkan cerita diakhiri satu helaan nafas panjang.

Semuanya masih terekam jelas di dalam kepalanya. Ia yang berusaha untuk kembali pulih, berulangkali justru malah terjatuh, terperosok semakin dalam pada kubangan-kubangan menyakitkan. Berbicara, bercerita, melakukan terapi dan mendengarkan nasihat-nasihat dari dokter psikolognya tidak membantu sama sekali, hal-hal yang membuatnya tenang malah menimbulkan jejak-jejak luka lainnya yang kali ini membekas begitu nyata pada permukaan pergelangan tangannya. “Gue udah rusak, Taehyung. Banyak lukanya” ia mengangkat sebelah tangannya dengan gemetar, menarik perlahan-lahan lengan pakaian piyama kebesaran milik Taehyung, memperlihatkan bekas sayatan-sayatan yang sudah mengering seratus persen. Dan melihatnya, Taehyung refleks menahan napas, dadanya berangsur-angsur terasa sesak seolah-olah terhimpit oleh batu-batu besar; barangkali ia tidak pernah mengira Jungkooknya akan sekacau ini.

“Jelek” keluh Jungkook ketika Taehyung menyentuhnya, mengusapnya beberapa kali, lalu bertanya dengan hati-hati, “sakit?”

“Sakit”

Ada satu luka yang paling menarik perhatian Taehyung, goresan itu terlihat lebih dalam dan panjang, “yang ini kelihatan berbeda” gumamnya berkomentar.

Jungkook menganggukkan kepalanya, menunjuk luka yang Taehyung maksud, “gue hampir mati akibat luka ini” paparnya terdengar santai, ia melirik sekilas ke arah Taehyung yang sontak terdiam, menatap sedikit terkejut, “saat itu, gue cuman berpikir mati kayaknya lebih baik, tapi gue ini pengecut, sejujurnya gue nggak punya keberanian buat bunuh diri, makannya sebelum sampai urat nadi, gue mutusin buat berhenti. Tapi, sayangnya gue kehilangan banyak darah, berakhir nggak sadarkan diri, untungnya kak Namjoon langsung bawa gue ke rumah sakit begitu tau keadaan gue”

“Maaf, Jung”

Jungkook mendongak, mempertemukan tatap dengan si pemilik sorot tajam yang hari ini terlihat meredup sendu. Tangannya lalu bergerak mengusap rahang Taehyung, ia menggeleng pelan, tersenyum kecil, “jangan minta maaf. Ini salah gue” ujarnya seraya beralih mengusap dada Taehyung, berusaha memberikan afeksi menenangkan. Sementara Taehyung balas dengan mempererat perlukan diantara keduanya, usapan-usapan lembut diberikan pada sepanjang garis punggung Jungkook, sesekali kecupan-kecupan kecil terasa dibubuhkan pada pucuk kepalanya. Jungkook merasa hangat, hatinya penuh.

“Butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa ada di titik ini. Gue berulang kali berganti psikolog, menjalani pengobatan, melakukan berbagai terapi, mencari kesibukan dan akhirnya jadi kayak sekarang ini” Jungkook mengusap sudut matanya, menarik napas panjang dan tersenyum lebar. Pada detik sekarang, ketika berbagai hal menyakitkan yang ia lalui melintas dalam kepalanya, Jungkook bisa menghadapinya dengan bersikap tenang. Dulu, jangankan mampu menceritakannya sedetail ini, mendengar pertanyaan tentang masa lalunya saja sudah membuatnya kesakitan—— lukanya barangkali memang tidak akan pernah sembuh sepenuhnya, tetapi setidaknya Jungkook sekarang memiliki alasan untuk terus bertahan hidup dalam jangka waktu yang lebih lama. Dan diam-diam ia bersyukur sebab semesta mempertemukannya dengan Taehyung dalam kondisi yang sekarang ini, ketika ia sudah lebih baik meskipun tidak lagi utuh.

“Gue nggak akan pernah sembuh seratus persen, Taehyung. Suatu saat nanti, gue bisa aja ada di kondisi yang sama, bagian terburuknya penyakit lainnya akan muncul kayak PTSD atau gangguan kecemasan” Jungkook memberi jeda, tersenyum gamang, matanya kembali berkaca-kaca, “gue nggak mau membebani lo, lagi. Setelah denger semuanya, gue harap lo lebih memikirkan lagi keputusan lo, tinggal sama gue nggak akan mudah, dan gue nggak mau egois atas hidup lo lagi.”

Mendengarnya Taehyung jelas kebingungan, keningnya berkerut, menatap separuh tak percaya dengan apa yang baru saja Jungkook katakan. “Lo pengen pergi lagi?” tudingnya disertai delikan tajam dan Jungkook buru-buru menggelengkan kepalanya, ia tidak bermaksud demikian, ia hanya ingin memberikan Taehyung kebebasan, ia tidak ingin memaksanya untuk bersama Jungkook setelah mengetahui semuanya. “Lo maunya gimana?”

“Tae—“

“Jawab. Lo mau kita pisah lagi?”

Jungkook membulatkan matanya, sedikit terkejut ketika mendengarnya. “Gue nggak mau lo sakit kalo sama gue, Taehyung”

“Jadi, lo maunya kita pisah lagi?” Desak Taehyung sekali lagi, mengulang pertanyaan yang sama.

Jungkook terdiam sejenak, air matanya kembali jatuh. Sedikitnya ia merasa takut, sebagian lagi dipenuhi oleh rasa bersalah—— tetapi, ia ingin bersikap egois lagi. Maka disana, alih-alih mengangguk, Jungkook justru menggeleng cepat, bergumam dengan suaranya yang mulai bergetar, “nggak. Gue butuh lo, Taehyung. Gue mau sama lo terus”

“Dan gue nggak akan lepasin lo, lagi.” Tegas Taehyung, sepersekon kemudian tatapannya melunak, ia melanjutkan dengan suaranya yang terdengar lebih rendah, lebih lembut, sekaligus sendu, “gue sakit kalo lo pergi, lagi, Jung. Disini aja, ya? Jangan kemana-mana lagi. Tebus rasa bersalah lo dengan hidup sama gue”

“Iya, gue disini aja. Nggak akan kemana-mana. Maaf untuk dua belas tahun terakhir ini, Taehyung”

Taehyung menggeleng, “gue juga minta maaf buat dua belas tahun terakhir yang terjadi di hidup lo, Jung. Makasih karena tetap bertahan, makasih karena nggak pernah benar-benar menyerah. Setelah ini, ayo sembuh sama-sama. Besok antar gue ketemu bunda di rumah barunya, ya? gue kangen bunda” Jungkook sekali lagi menganggukkan kepalanya—— malam itu, di pertemuan pertama kalinya lagi, setelah lama berpisah, keduanya bercerita sampai nyaris pagi, ada banyak hal yang akhirnya tumpah ruah; tangisan dan tawa terus bergiliran menghiasi, hangat dan sesak bergantian memenuhi, keduanya merasa penuh seakan-akan mulai kembali utuh.













;

Ini masih belum berakhir hehe

Pacaran √ tkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang