I met him in Zurich, Swiss, West-central Europe.
Taehyung menghela napas pendek, menaruh asal ponsel dalam genggamannya ke atas lipatan acak jas kerjanya yang teronggok menyedihkan tepat di sebelahnya, netranya lalu beralih memandang jauh ke arah lautan di hadapannya, sebuah bayangan melintas dalam kepalanya, satu persatu, hingga membentuk berbagai adegan acak yang berasal dari masa lalu; memorinya berputar, merekam jejak nyata tentang perjalanan hidupnya sejauh ini, tentang pertemuannya dengan Jungkook, juga perpisahan keduanya yang membekaskan luka, berakhir pada tahun-tahun kesepian yang kebanyakan ia lewati tanpa minat, lalu berhenti pada sebuah pesan tak terduga yang jimin kirimkan sore tadi—— ternyata sudah dua belas tahun berlalu, dan mungkinkah ini jawaban dari semesta? atau hanya sebuah harapan yang kerap kali berakhir mengecewakan?.
Memutus paksa ingatan lamanya, Taehyung menatap langit malam yang berhiaskan kelabu, mendung menginvasi tanpa lelah sejak siang tadi, sementara hujan baru saja berhenti beberapa jam yang lalu. Di bulan-bulan terakhir ini bumi memang selalu berhiaskan basah, disertai dingin yang menusuk hingga ke tulang, senja seringkali tak datang, dan Taehyung bahkan lupa kapan terakhir kali menikmati jingga di temani se-cup kopi dingin favorit Jungkook yang beberapa tahun ini menjadi favoritnya juga. Terkekeh getir, ia menertawai dirinya sendiri; meski tanpa Jungkook sekalipun, hidupnya tidak pernah benar-benar lepas dari sosoknya. Ia selalu saja merindu, menantikan takdir membawa keduanya untuk bertemu, kendati dalam singkatnya waktu juga dalam jauhnya jarak sekalipun.
Walaupun sejujurnya ia merasa lelah, berulang kali berpikir untuk menyerah, terkadang juga merasa marah, namun siapa yang patut untuk disalahkan? Sementara Taehyung sendiri yang senang menyiksa diri. Dokter menyarankannya untuk memulai sesuatu yang baru lagi, mama juga ikut turun tangan memperkenalkannya dengan banyak orang semata-mata untuk menemukan sosok pengganti, sesekali kalimat Jungkook terngiang di telinga “…suatu saat kalo lo ketemu sama orang yang tepat, silahkan kalian bersama…” tetapi, sayangnya Taehyung malah memilih untuk menutup hati, terus menyibukkan diri dan tidak lagi peduli mengenai urusan perasaannya sendiri. Toh, hatinya memang sudah lama mati, sebab cintanya habis untuk Jungkook, yang ia lakukan selama ini hanyalah menunggu sampai semesta berbaik hati, membuatnya kembali utuh.
Menghembuskan napas panjang, ia melirik jam digital yang melingkari pergelangan tangan kirinya, pukul delapan malam, sudah nyaris tiga jam ia terduduk disana, tanpa kata, tanpa suara, hanya ditemani riaknya suara ombak yang memecah sunyi. Maka ia lantas menegakkan tubuh, lalu bangkit berdiri, menjejalkan ponsel ke dalam saku celana, dan menyambar jas kerjanya yang sudah acak-acakkan. Barangkali setelah berbalik ia sudah siap mengayunkan langkah untuk segera pergi, tetapi bersamaan dengan itu, waktu justru seolah-olah terasa berhenti, Taehyung mengerjap, tubuhnya mendadak kaku, ia membeku, mendapati satu sosok pemuda tengah berdiri tiga langkah di depannya, menatapnya dengan sorot sendu dan mata yang sudah berkaca-kaca.
Taehyung memejamkan matanya untuk sekilas, ini gila, yang berdiri saling berhadapan dengannya adalah Jungkook—— sosok yang Jimin bicarakan sedang ada di kota Zurich negara Swiss, pun sosok yang sama dengan yang Taehyung tunggu selama nyaris dua belas tahun terakhir ini. Ia mungkin harus mempertimbangkan saran ayah untuk melanjutkan pengobatan sebelum kewarasannya sepenuhnya menghilang, meski seratus persen ia tidak akan sembuh, setidaknya obat dari dokter cukup ampuh membantunya terlelap tanpa banyak bermimpi hingga berujung berhalusinasi seperti saat ini.
“Selamat malam mr. Kim, gue pastiin arah jalan pulangnya nggak salah, tapi apakah rumah itu ada?” Taehyung terkekeh kecil, memalingkan wajah, menggeleng beberapa kali. Semesta memang senang sekali bercanda kepadanya dan sialnya yang terjadi kali ini nyata adanya. Tuhan memang selalu memiliki rencana tak terduga dan semua diluar perkiraan, sehingga Taehyung tak sempat mempersiapkan. Begitu matanya dibawa untuk saling bertemu tatap lagi, Taehyung membidik untuk memastikan, bersamaan dengan itu, jantungnya berdetak cepat, bertalu-talu, sesak berangsur-angsur memenuhi dadanya, rasanya bak tikam belati juga dihimpit batu-batu besar, sakit dan ia mulai kesulitan bernafas. Hanya saja, sedikitnya Taehyung merasa lega—— faktanya ia merasa senang.
“Taehyung, maaf” gumamnya membuka suara lagi, senyumannya berangsur-angsur meredup, dan sejumput rasa bersalah hadir lewat ekspresi wajahnya, ia lalu menundukkan kepalanya, mungkin merasa malu sendiri. “Maaf, karena gue muncul lagi tanpa tahu malu, gue harusnya sadar kalo udah melewati batas” lanjutnya, ia barangkali menyadari perubahan napas Taehyung yang sedikit cepat, tapi lelaki itu pandai menguasai dirinya sendiri dan apik menyembunyikan lukanya yang tiba-tiba muncul ke permukaan.
Mengatur nafasnya perlahan-lahan, Taehyung terdiam sejenak, ada banyak kata yang sejujurnya ingin ia utarakan, tetapi rasanya sulit, lidahnya kelu, ia bahkan hanya mampu menguapkan satu pertanyaan kelewat basi setelah mengambil jeda waktu yang cukup lama, “Kemana aja selama ini, Jung?” Tanyanya. Diliriknya tubuh Jungkook yang menegang, lelaki itu terkesiap samar, melirik sekilas, lalu buru-buru kembali menundukkan wajahnya yang sudah basah. Taehyung bisa merasakan kegelisahan tak terkendali yang muncul dalam hitungan detik selanjutnya, kedua lengan Jungkook terlihat meremas masing-masing ujung pakaiannya. “Kenapa baru sekarang?” tanyanya lagi dengan suara yang jauh lebih pelan, tidak terburu-buru, terdengar tenang.
“Maaf” balas Jungkook dengan suara tersendat, “gue punya banyak luka, malu”
Taehyung tertawa lirih, mengambil langkah mendekat, mempersempit jarak, “kalau memang ini rencana terbaik Tuhan yang selalu lo bicarakan itu, semesta ternyata selalu berbaik hati” katanya, ditatapnya dengan seksama Jungkook yang refleks menahan nafasnya, “terimakasih sudah pulang, Jung. Tapi rumah yang lo maksud berantakan, apakah lo masih bersedia untuk tinggal?”
Jungkook mendongakkan kepalanya, menatap dengan separuh ragu, menemukan Taehyung mengukir sebuah senyuman tulus, jantungnya berpacu cepat, dadanya bergemuruh hebat dan darahnya mengalir deras. Lalu, ia tak menunggu lebih dari satu menit untuk berlari, menabrakkan tubuhnya dengan Taehyung, dan memeluknya dengan erat, mereka nyaris saja tumbang jika Taehyung tidak dengan sigap menahan tubuh keduanya. Katakanlah Jungkook tidak tahu malu, tapi ia memang teramat rindu. Tangisannya meluruh semakin banyak, isak tangisnya mulai terdengar, ia menumpahkan semuanya di bahu Taehyung, seakan-akan mengadu bagaimana lukanya juga sama-sama menganga lebar. ““nanti kita tata sama-sama, sebab pemiliknya juga sama kacaunya” katanya dengan terbata-bata.
“Jangan pergi lagi, Jung” bisik Taehyung tepat di telinganya yang langsung diangguki dengan cepat.
“Jangan lepasin gue lagi, Taehyung”
Melerai pelukan tanpa menjauhkan jarak, Taehyung tersenyum tipis, sebelah tangannya terangkat guna mengusap pipi Jungkook yang basah secara perlahan-lahan, lalu membubuhkan satu kecupan dengan durasi cukup lama tepat di kening Jungkook. Setelahnya keduanya sibuk terdiam seraya menyelami dalamnya obsidian masing-masing, mengutarakan rindu lewat mata, tanpa kata, tanpa suara. Sesekali saling membalas senyuman, membubuhkan kecupan, juga memberikan usapan sayang. Taehyung beralih memandang bibir Jungkook, mengusapnya sekali seolah meminta izin, hingga anggukan diberikan dan ia segera mencumbunya begitu lembut, teramat hati-hati yang perlahan-lahan mulai terasa memabukkan.
“Kenapa masih nunggu gue, Taehyung?" Tanya Jungkook setelah keduanya saling melepaskan cumbuan.
“Gue bilang itu urusan gue” Sergah Taehyung cepat, “makasih karena udah pulang, Jung”
“Makasih juga karena nggak pernah nyerah buat nunggu gue, maaf untuk dua belas tahun terakhir ini dan untuk tahun-tahun sebelumnya” balas Jungkook tak ingin kalah, “ayo sembuh sama-sama”
Taehyung mengangguk, mengecup sekali lagi bibir Jungkook, “pulang sama gue, ya? Ikut gue, nanti gue izin sama bunda buat bawa anak bungsunya ini sekalian mau gue ikat seumur hidup” Ujarnya dengan penuh keyakinan, Jungkook meringis sakit, menangis pilu.
“Bunda udah nggak ada, Taehyung” lirihnya sendu. Taehyung terdiam untuk sesaat, menatap dengan separuh terkejut.
“Jung—“
“Sembilan tahun yang lalu, I lost her” lanjutnya lagi.
“I’m sorry” katanya dengan suara pelan, ditariknya lagi tubuh Jungkook untuk dipeluk erat. Semesta memang sebercanda ini, ternyata.-
KAMU SEDANG MEMBACA
Pacaran √ tk
FanficHanya sebuah kisah pacaran ala Kim Taehyung dan Jeon Jungkook yang jarang umbar kebersamaan tapi selalu menjadi topik hangat pembicaraan. "Kalian beneran pacaran kan?" || ⚠ bxb ⚠ top! Tae ⚠ harsh words ⚠ school-life ⚠ fluff/angst (?) Copyright © 2...