Twelve years later-- Bandara terlihat penuh, aktivitasnya padat, sekeliling terasa menyesakkan, barangkali karena kini sudah memasuki minggu-minggu terakhir di bulan Desember menuju awal tahun di bulan Januari; kebanyakan orang sengaja memanfaatkan waktu untuk bepergian, melakukan liburan atas dasar penyembuhan. Lucunya, luka yang coba disembuhkan justru tak pernah hilang, mungkin karena waktu yang dimiliki tak cukup panjang, atau karena obat yang dicari tak kunjung datang. Melangkah pelan menyusuri lobi seraya menyeret koper, matanya sibuk mengitari sekitar yang rasanya tidak banyak berubah, ia tersenyum kecil seraya meringis pilu, beralih melirik jam tangan yang menunjukkan pukul dua siang, Jungkook sekilas menghela nafas panjang. Seharusnya, ia bisa pulang lebih cepat, namun barangkali ini memang waktu yang paling tepat, diam-diam ia hanya berharap semoga tidak ada yang terlambat.
"Ayo, jangan melamun disini" menoleh ke sebelah, senyuman Jungkook tersungging semakin lebar, ia terkekeh pelan, merasa malu sendiri, sebab tanpa sadar sudah menghentikan langkah entah sedari kapan, hingga bahunya ditepuk pelan kemudian dirangkul hangat, keduanya berjalan beriringan keluar dari bandara menuju mobil jemputan yang sebelumnya sudah dipersiapkan. "Kayaknya sebentar lagi hujan" lelaki di sebelahnya berkomentar malas sembari berdecak keras, mengamati langit mendung yang melapisi permukaan bumi, seolah-olah sengaja sudah direncanakan untuk menyambut kedatangan mereka. Kendati begitu, sayangnya, jalanan tetap seramai biasanya, kendaraan-kendaraan berjejer karena terjebak macet jalanan ibu kota.
"Capek, ya?"
"Sedikit"
"Kalo gitu, istirahat aja, tidur" Jungkook mengangguk menyetujui, menyamankan posisinya, bersandar pada punggung kursi, lalu mulai memejamkan mata. Namun, pikirannya malah tak ingin berhenti bekerja, jadi disana ia memutuskan untuk tetap terjaga, memandangi jalanan lewat kaca jendela, tatapannya menerawang jauh, seberkas kenangan merangsek masuk, singgah, terputar menyerupai adegan sebuah film di dalam kepala; mengenai tahun-tahun yang sudah ia lewati hingga detik-detik keputusannya untuk pulang yang nyaris membuat Seokjin memekik tak percaya. Lelaki itu sudah menyerah mengharapkannya kembali, padahal sebelumnya sudah mengancam tak akan lagi menganggapnya sebagai bagian dari keluarga, tetapi lucunya Seokjin masih tetap menghubunginya setiap hari, mengganggunya siang dan malam, bertanya banyak hal dan menceritakan lelucon-lelucon lucu berulang-ulang yang terkadang membuat jengkel bukan kepalang.
Namun, secara tiba-tiba Jungkook mengabarkan akan pulang dalam waktu dekat-- Karena itu, hari ini, Jungkook memilih pulang, setelah dua belas tahun lamanya ia berkelana, bermaksud menikmati hidup dan menyembuhkan luka, namun kacaunya malah semakin menganga, ia tak kunjung memperoleh perbaikan, ada banyak ruang-ruang yang kosong dan perlahan-lahan hatinya mulai keropos, berakhir memilih menyerah, sebab faktanya janjinya untuk kembali dengan utuh telah lama patah, bahkan di saat-saat Jungkook tak memiliki keinginan untuk pulang sedikitpun, meski rindu sering kali singgah dengan menyedihkan.
Semua bermula ketika semesta membawanya pada satu pertemuan tak terduga dengan sosok lama dari masa lalu, di salah satu galeri seni kota Zurich negara Swiss, di tengah-tengah kerangka dunia yang seluas ini, dengan caranya yang begitu unik hingga sedikit mengejutkan, sebab semuanya terjadi tanpa adanya persiapan. "Jadi, selama ini lo di Swiss?" Jungkook menggeleng, menggosok-gosokan kedua telapak tangannya yang terasa membeku, mulutnya mengepulkan asap dan pipinya memerah samar; memasuki musim dingin, suhu di Swiss nyaris berada di angka rata-rata maksimal -7°C, sementara suhu terendah bisa mencapai -2°C. "Terus?"
"Baru sekitar dua bulan yang lalu gue datang ke sini, tertarik sama beberapa galeri seninya yang cukup terkenal, beberapa bulan sebelumnya gue menghabiskan waktu sekitar setahunan di Italia, setelah tahun sebelumnya gue menjelajahi Jerman. Hampir setiap tahun bahkan bulan gue berpindah-pindah negara, nggak tertarik untuk tinggal di salah satunya, tapi Italia memang sedikit mempesona dan mungkin Swiss nggak jauh berbeda." Ceritanya diakhiri kekehan kecil tatkala mendapati ekspresi terkejut dari si lawan bicara, lelaki itu sempat melongo, lalu menggelengkan kepalanya berulang kali seolah tak menyangka dengan penjelajahan negara yang Jungkook lakukan. "Kerjaan gue ngelukis, kak, nggak nuntut buat selalu ada di negara atau bahkan di satu tempat yang sama dalam tempo waktu yang lama, malah kerjaan gue jadi jembatan yang ngedukung gue buat pergi ngunjungi berbagai negara, bertemu banyak orang yang berprofesi serupa, membangun kerja sama, dan terkadang punya kesempatan buat ikut berpartisipasi pamerin karya gue di berbagai galeri atau museum seni"
"Wah, gila" lelaki itu membalas dramatis, sepercik kagum terpancar lewat sorot matanya yang kecil, sesekali hilang membentuk sabit jika senyuman mengembang lebar. "Karena itu lo nggak punya niatan buat pulang?" tanyanya dengan setengah menyindir, menggerus canggung yang sempat hadir dengan candaan yang lumayan menampar hatinya secara tidak langsung, tetapi Jungkook tak menganggapnya dengan serius, jadi ia hanya membalas dengan tawa singkat.
"Lebih tepatnya nggak punya alasan" jawabnya yang mana langsung di balas delikan kesal disertai decakan sebal, sepersekon kemudian berubah menjadi tatapan curiga, lalu seolah memahami Jungkook membalasnya cepat, melenyapkan kesalahpahaman yang barangkali akan terjadi, "gue masih sendiri, nggak punya orang lain" dan setelahnya si lawan bicara mengangguk beberapa kali, terlihat lega.
"Sahabat gue nggak bisa jadi alasan yang cukup buat lo pulang, Jung?" Tanyanya yang tak langsung mendapat tanggapan, diliriknya Jungkook yang malah terdiam, tubuhnya menegang, ia seolah membeku. Lelaki itu menghembuskan napas panjang, suasana di sekitar mereka berubah menjadi sedikit serius, "dia nunggu lo, keras kepala dengan bilang cintanya habis di lo, kayaknya hatinya udah lama mati. Gue saksinya" katanya melanjutkan, terdengar sendu, sebab barangkali dia menaruh iba sekaligus rasa sayang sebagai sahabat yang teramat besar.
"Gue punya banyak luka, kak. Malu" sahutnya getir disertai ringisan malu.
"Pulang, Jung. Barangkali obat luka yang lo cari sebenernya ada di Taehyung, mungkin semesta emang sengaja udah ngatur semuanya agar kalian saling menyembuhkan" Lantas sejak pertemuan keduanya hari itu, kata pulang menjadi yang paling sering Jungkook pikirkan, setelah nyaris dua belas tahun lamanya sengaja ia lupakan, bahkan permohonan Seokjin kerap kali diabaikan. Namun, pertemuannya dengan lelaki itu-- Park Jimin juga pembahasannya mengenai Taehyung, membuat ia menjadi banyak mempertimbangkan, padahal sudah mati-matian ia coba enyahkan. Terakhir kali, sebelum keduanya berpisah selepas bertukar kontak untuk saling menghubungi, Jimin sempat berkata dengan penuh pengharapan, "gue disini cuman dua minggu, ayo pulang sama gue, Jungkook. Jangan pergi-pergi terus, lo punya rumah yang udah lama nunggu" dan begitulah keduanya berakhir disana, di pelataran rumah Jungkook setelah menghabiskan perjalanan nyaris satu jam lamanya dari bandara.
Seokjin langsung menyambut hangat kedatangan keduanya, senyumannya melebar dengan mata yang berkaca-kaca, lelaki itu berlari memeluknya, menumpahkan rindu yang sudah lama membelenggu sebab keduanya lama tidak bertemu, terakhir kali mungkin dua tahun yang lalu, saat Jungkook masih berada di Prancis. "Selamat datang kembali, dek" bisiknya pelan dengan suara yang bergetar, Jungkook tertawa jail, memukul pelan punggungnya main-main, lalu membalas pelukannya tak kalah erat.
"Jimin, ya? makasih banyak atas tumpangannya. Ayo masuk dulu" Suara Namjoon terdengar mengambil alih perhatian, lelaki itu menjabat sopan lengan Jimin yang sedari tadi hanya sibuk memperhatikan. "Kebetulan kami menyiapkan banyak hidangan, mari mampir dulu" ajaknya lagi dengan gestur tubuh mempersilahkan.
Jimin tersenyum ramah, menggeleng pelan, lelaki itu menolak halus, "Maaf, bukannya tidak mau berlama-lama disini, tapi kebetulan saya harus segera ke kantor agensi buat ngurus beberapa kerjaan, mungkin lain kali, tapi terimakasih banyak atas tawarannya" ia lalu beralih menatap Jungkook, menepuk bahunya pelan seraya melanjutkan, "senang bisa bawa Jungkook kembali pulang" yang langsung dibalas ucapan terimakasih berulang dari Seokjin. "Kalo begitu, saya permisi dulu. Jung, gue balik, ya." pamitnya diakhiri bungkukkan sopan.
"Makasih, kak"
"Sama-sama. Nanti gue kabarin, ya" Lantas, setelahnya, mobil yang membawanya langsung bergerak menjauh setelah klakson dinyalakan sebanyak dua kali sebagai tanda pamit terakhir.
Jungkook menghembuskan napas panjang sebagai upaya menghilangkan lelah, meski nyatanya tak cukup ampuh. Diliriknya Seokjin yang menarik pelan lengannya untuk masuk ke dalam rumah, sementara Namjoon dibantu salah satu pekerja membawa masuk barang-barangnya. Jungkook mengamati sekitar, ini rumah bunda. Tak banyak yang berubah selain bertambahnya beberapa tanaman baru, juga rumah yang semakin luas karena diperbesar, namun semua masih terasa sama, hangat menjalar memenuhi dada, tiba-tiba ia merasa sesak, memorinya terputar acak; mengenai bunda dan berbagai hal yang terjadi di dalam rumah ini-- Jungkook meringis, lukanya kembali basah, atau justru malah tak sempat kering, lagi.
;
Sudah siap mengobati luka???
KAMU SEDANG MEMBACA
Pacaran √ tk
Fiksi PenggemarHanya sebuah kisah pacaran ala Kim Taehyung dan Jeon Jungkook yang jarang umbar kebersamaan tapi selalu menjadi topik hangat pembicaraan. "Kalian beneran pacaran kan?" || ⚠ bxb ⚠ top! Tae ⚠ harsh words ⚠ school-life ⚠ fluff/angst (?) Copyright © 2...