“Gue nggak bisa hubungan jarak jauh” —— sore itu; di taman samping rumah sakit, Jungkook dan Taehyung duduk saling bersisian, menatap lurus ke arah sibuknya lalu lalang manusia di sepanjang koridor yang rasa-rasanya tidak pernah sepi pengunjung. Terhitung sudah lebih dari tiga minggu bunda berada di rumah sakit dari sejak hari pertama ia dilarikan ke sana dan dinyatakan mengidap kanker, pun sudah lebih dari dua kali bunda mengalami kritis hingga nyaris meregang nyawa. Kondisi kesehatannya tak kunjung membaik, meskipun beberapa metode pengobatan sedang dilakukan, beruntungnya dokter mengatakan bunda memiliki ketahanan tubuh yang hebat sehingga sanggup bertahan dengan baik sampai sejauh ini, ditambah bunda memiliki kemauan yang besar untuk sembuh, tetapi bagaimanapun, barangkali segala proses pengobatan harus beberapa kali terhambat bahkan tertunda jika kondisi bunda terus mengalami penurunan. Karena itu, dokter memberikan beberapa saran sebagai sebuah solusi, salah satunya pengobatan ke luar negeri, ke salah satu rumah sakit pusat kanker terbaik di dunia yang memiliki lebih banyak fasilitas yang memadai sebagai penunjang proses pengobatan.
“Bunda akan dipindahkan ke luar negeri, dokter yang menyarankan, kak Seokjin sama kak Namjoon lagi ngurus semuanya” lanjut Jungkook setelah mengambil jeda yang cukup lama, ia berpikir sejenak, seraya berusaha menjaga nada suaranya agar tidak terdengar bergetar, ada rasa sakit yang singgah dan diam-diam Jungkook berusaha mengenyahkannya; ia merasa tidak seharusnya ia memiliki perasaan seperti itu, bagaimanapun bunda harus sembuh, ia dan yang lainnya siap mengupayakan berbagai cara. Diliriknya Taehyung yang terlihat tidak begitu terkejut, seolah-olah sudah memprediksi semuanya akan terjadi, atau mungkin upaya yang tengah Jungkook dan kakak-kakaknya usahakan terdengar terlalu klasik untuk dilakukan. “Untuk sekarang kesehatan bunda yang terpenting, kami berusaha mengupayakan berbagai cara agar bunda kembali sembuh”
“Kemana?”
Jungkook menelan ludahnya kasar ketika Taehyung bertanya singkat dengan ekspresinya yang datar, “MD Anderson, Amerika Serikat”
Taehyung mengangguk-anggukkan kepalanya, bergumam pelan, “jauh, ya?” tanyanya pada dirinya sendiri. Lalu, helaan napas panjang terdengar dihembuskan setelahnya, lelaki itu memalingkan wajah, menoleh ke arah Jungkook di sebelah yang sibuk menundukkan kepala, menatap ujung sepatu yang dikenakannya sembari memainkan jari-jemari tangannya sendiri, “gue nggak bisa ikut?” tanyanya, Jungkook mendongak cepat, menoleh ke arahnya, hingga kini keduanya bertemu tatap untuk sesaat, sampai gelengan menjadi jawaban.
“Nggak bisa. Lo punya janji sama ayah, jangan buat ayah kecewa, kepercayaan yang dia kasih besar banget buat lo. Lagian kuliah lo udah setengah jalan nyaris dua semester”
Taehyung lagi dan lagi mengangguk beberapa kali, ia tak memiliki argumen lain untuk menyanggah kalimat Jungkook—— janjinya pada ayah jelas tidak bisa disepelekan, apalagi untuk hal-hal bernamakan kepercayaan, ia tidak dididik untuk bertindak semaunya, sebebas apapun ayah mengizinkannya berlari, ia tetap memiliki batasan bernamakan tanggung jawab. Jadi, disana, ia hanya mampu melempar tanya singkat dengan sedikit penuh harap, setidaknya meski jarak dan waktu membentang sekaligus bekerja sama untuk memisahkan, semesta menjanjikan kadar waktu yang dapat dipastikan, “kira-kira berapa lama?”
Namun sayangnya, realita selalu tak seindah ekspektasi dalam kepala, kenyataan kebanyakan tak sesuai dengan harapan, kesimpulannya takdir memang senang bercanda. Manakala disana ia mendapati Jungkook menggelengkan kepalanya lagi sebagai sebuah jawaban, menjawab separuh ragu, mengundang banyak kekecewaan, “jangan nunggu, semuanya nggak tentu, Taehyung. Kami bisa aja menetap di sana” Taehyung memejamkan matanya sekilas, kalimat Jungkook bak sayatan belati; perih, menyakitinya begitu parah. “Yang jelas, kak Namjoon sama kak Seokjin udah punya rencana yang matang, kita siap mengusahakan apapun, melakukan segala cara untuk kesembuhan bunda” papar Jungkook, kali ini terdengar tegas, penuh tekad. “Lo juga harus fokus sama masa depan lo, buktiin sama ayah kalo lo bisa jaga kepercayaan yang udah ayah kasih. Dan gue juga bakal fokus sama kesembuhan bunda”
Taehyung tersenyum miris, membalas getir, “seperti yang lo tahu, sayangnya gue juga nggak bisa hubungan jarak jauh” Katanya. Rasanya seperti déjà vu, karena lucunya, pembahasan ini pernah mereka bicarakan di awal hubungan dulu. Kalimat Taehyung bahkan masih terpatri jelas dalam ingatan keduanya, waktu itu, Taehyung pernah menjelaskan sekali persepsinya mengenai hubungan jarak jauh, katanya, “LDR itu kayak putus yang tertunda. Prosesnya melelahkan, akhirnya pasti selalu bawa dampak kekacauan. Kesetiaan sama kepercayaan aja rasanya nggak akan pernah cukup, karena mau gimanapun kita nggak melihat, nggak mendengar, dan nggak ketemu secara langsung. Bakal banyak terjadi kesalah pahaman, dicampur aduk sama masalah-masalah lainnya yang datangnya suka keroyokan. Memang nggak semuanya begitu, banyak kok yang berhasil. Tapi gue nggak bisa. Gue nggak mau ambil resiko sakit banyak-banyak buat kita berdua. Gue nggak mau kita sama-sama punya luka dan berakhir saling benci. Kalo emang harus terjadi, lebih baik disudahi” Jungkook mengangguk-anggukkan kepalanya, seolah-olah kalimat Taehyung dulu kembali terngiang-ngiang di telinga, kala itu, keduanya terlampau percaya diri akan selalu bersama-sama, menampik fakta bahwa tak selamanya semesta selalu berbaik hati.
“Maaf, Taehyung” lirihnya penuh sesal, sebab harus berakhir menjadi pihak yang paling banyak menyakiti. Padahal pada obrolan keduanya di lapangan sekolah dulu, nyaris dua tahun yang lalu, Jungkook pernah begitu banyak berharap, berdoa agar tidak pernah memiliki alasan untuk pergi dari Taehyung, tetapi, ternyata semesta menggunakan kelemahan terbesarnya; yaitu bunda dan Jungkook rasanya tak sanggup untuk memilih tinggal, sebanyak apapun alasan yang ia miliki, ia tetap kalah telak, oleh arus takdir yang Tuhan gariskan begitu apik. Dan Taehyung menepati ucapannya, serupa dengan yang pernah ia ucapkan pada waktu itu—— dengan tidak menahan kepergiannya.
“Maaf juga, karena gue milih lepasin lo, Jungkook”
Bersamaan dengan kalimat Taehyung, tangisan Jungkook yang sedari tadi ditahan-tahan meluruh begitu deras; siapa yang mengira hubungan mereka akan berakhir sepahit ini, sebaik apapun perpisahan yang mereka lakukan, semuanya tetap terasa begitu menyakitkan. Taehyung membawanya ke dalam sebuah pelukan disertai usapan-usapan lembut di sepanjang garis punggungnya, rasa hangat menjalar di sekujur tubuhnya, perlahan-lahan teramat menenangkan, Taehyung selalu senyaman dan seaman ini. Tetapi mungkinkah ini akan menjadi yang terakhir?.
“Jadi, sekarang hubungan kita berakhir?” ia bertanya pahit, merasa takut mendengar jawaban yang hendak Taehyung utarakan, kendati sebenarnya Jungkook sudah dapat menebak dengan pasti kalimat balasan yang akan Taehyung sampaikan.
“Kalian akan pergi kapan?” namun, Taehyung malah balik bertanya.
“Kak Namjoon bilang, semua akan segera diselesaikan paling lambat dalam waktu dua minggu”
“Kalo begitu, ayo akhiri semuanya nanti. Biarin gue tetep disisi lo sampai hari kepergian lo” Taehyung mengambil jeda, menghela nafasnya berat beberapa kali, “gue mau nemenin lo dulu, mau nemenin bunda juga” lanjutnya lagi dengan nada suara yang semakin memelan. Jungkook menelan salivanya susah payah, membalas dengan susah sebab suaranya terpatah-patah, “tolong temenin gue sampai hari itu datang. Maaf, Taehyung, gue egois lagi, bikin lo sakit terus”
“Nggak papa, sayang. Nggak papa” bisik Taehyung berulang kali untuk menenangkan Jungkook sekaligus dirinya sendiri. Hari itu berakhir pilu, rasanya sendu. Perpisahan memang selalu semenyakitkan ini, dan parahnya keduanya sama-sama tahu kapan waktunya akan terjadi.
;
Lalu, hari itu ditutup dengn Taehyung yang berakhir bersimpuh di bahu ayah, menangis keras di pelukan pria yang selalu menjadi pilar utamanya, seperti dulu, saat usianya sepuluh tahun sebab nenek meninggalkannya, ia kembali mengadu, memperlihatkan luka menganga lewat tangisan yang sedari tadi berusaha ia sembunyikan, kesedihannya tak terbendung, sakitnya luar biasa. Ayah tak banyak berkata apalagi bertanya, hanya terdiam membiarkan putra tunggalnya membagi luka, keadaannya persis seperti dulu. Dan setelah bertahun-tahun berlalu, semuanya ternyata tidak pernah berubah, sedingin apapun hubungannya dengan sang ayah, bagi Taehyung pria itu tetap menjadi tempat paling nyaman untuk mengadukan jahatnya semesta bertindak kepadanya.“Sakit, yah”
“I’m here, son”
___
Halo, bb. Maaf ya, hubungan manisnya harus berakhir sepahit ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pacaran √ tk
FanficHanya sebuah kisah pacaran ala Kim Taehyung dan Jeon Jungkook yang jarang umbar kebersamaan tapi selalu menjadi topik hangat pembicaraan. "Kalian beneran pacaran kan?" || ⚠ bxb ⚠ top! Tae ⚠ harsh words ⚠ school-life ⚠ fluff/angst (?) Copyright © 2...