53. Genting

195 8 0
                                    

Zach mendekati kerumunan di garis finis, tempat panitia mengerubungi peserta laki-laki yang baru saja sampai dengan napas yang nyaris habis. Tubuh laki-laki tersebut dipenuhi lumpur dan luka baretan, pakaiannya pun robek di beberapa bagian. “Terjadi longsor di pos delapan!” jeritnya frustrasi dengan dada kembang kempis. Pria itu menangis tergugu. Dia mengkhawatirkan nasib kedua temannya yang lain, karena mereka terpisah saat berusaha menyelamatkan diri. 

Masih ada 6 tim lagi termasuk tim Nita dan Aliyah di dalam hutan sana. Segera hati Zach pun disergap gelisah. Tanah longsor dan hujan merupakan kombinasi yang sangat berbahaya. Dia khawatir akan terjadi hal buruk pada Aliyah dan Nita. Zach pun kembali ke tenda untuk mengambil jaket dan mengganti sandalnya dengan sepatu. Dia ingin mencari kedua wanita itu di hutan.

“Anda mau ke mana?” tanya seorang panitia saat melihat Zach berjalan cepat ke mulut hutan.

“Saya mau mencari anak saya.”

Panitia yang menghadang itu langsung meraih tangan Zach. “Jangan, Mas. Di sana berbahaya. Lebih baik kita tunggu tim SAR saja.”

“Saya nggak peduli.” Zach menghempaskan cengkraman yang mengkerangkeng lengannya. Menunggu tim SAR sama saja dengan membuang waktu. Di situasi seperti ini, mereka harus berpacu dengan waktu. Semakin cepat dapat menemukan Aliyah dan Nita, itu akan semakin baik. Zach tidak bisa tenang memikirkan kegentingan di dalam hutan sana.

Beberapa panitia lainnya pula ikut mencegah Zach, menghalanginya. Ketua panitia meminta semua partisipan yang berada di kawasan kamping, tetapi berada di sana, jangan ke mana-mana untuk menghindari sesuatu yang tidak diinginkan. Namun, Zach tidak mendengarkan. Dia mendorong dengan kasar tubuh-tubuh yang menghadangnya, mengancam akan menghajar mereka bila berani menahannya.

Orang-orang itu pun mundur, tetapi ketika Zach hendak melanjutkan langkah, Jaza yang kelesah pun menghampirinya dengan terpogoh-pogoh. “Aku dengar ada longsor di hutan, Om. Tolong selamatin mamaku, Om! Please temukan mamaku!” resahnya. Jaza panik kala mendengar kabar itu dan langsung teringat sang ibu yang merupakan partisipan lomba malam ini. Dia tak kuasa membendung gelisah dan rasa cemasnya, membuat telaga matanya menggenang.

Zach mengangguk dengan tegas. “Kamu tunggu di tenda. Jangan ke mana-mana.”

“Iya, Om.” Jaza yang terisak pun menghapus bulir air matanya. Dia benar-benar khawatir ibunya terluka di sana.

Suasana gulita pun lekas menyambut Zach saat menelusuri hutan. Deru hujan yang menghantam pepohonan dan tanah menulikan telinganya. Namun, itu tak menyusutkan tekadnya. Zach berteriak-teriak memanggil Aliyah dan Nita. 

Setelah dua jam berjalan, Zach sampai di kaki longsoran. Tanah merah menyapu semua yang dilalui, mencabut pepohonan hingga ke akar. Zach mencari jalan memutar, sebab terlalu berisiko bila berpijak pada tanah runtuh itu, bisa terjebak.

Tiba-tiba Zach mendengar teriakan minta tolong yang putus asa. Dia bergegas ke bibir jurang. Zach mencodak pun menunduk mencari si pemilik suara. “Pak Hanum?” Dia segera mengulurkan tangannya, menarik Hanum dengan sekuat tenaga. Kacamata laki-laki itu sudah pecah sebelah dan berembun, sehingga membuatnya kesulitan melihat.

Zach lekas membawa Hanum, memapahnya ke tempat yang aman, jauh dari tepi jurang. Kaki pria itu membengkak, sebab terkilir. “Di mana Aliyah dan Nita?” tanyanya segera setelah mendudukan pria tersebut di bawah pohon.

“Saya nggak tahu. Kami nggak sengaja terpisah.” Napas Hanum sudah tersenggal-senggal seraya sesekali meringis sembari meremas lututnya. Nyeri di pergelangan kakinya kian menyengat.

Om Duda Love Mbak Janda (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang