31. Grogi

326 15 0
                                    

Memang benar ada empat motor yang mengejar, tetapi itu bukan penggemar Zach.  Mereka semua laki-laki berwajah sangar. Setelah ke sana ke mari mencoba melarikan diri, Zach pun merasa muak dan menepikan roda empatnya. 

Segera motor itu ikut berhenti dan orang-orang yang menunggangi roda dua tersebut turun mengepung Zach. 

“Kalian mau apa?” tanya Zach berusaha bersikap biasa, meski hatinya dongkol setengah mati. Dia harus mengendalikan emosi supaya tidak memancing kemarahan mereka. Karena preman-preman itu terlihat siap melakukan kekerasan.

“Mau ngapain lo dateng ke kampung kita?” Salah satu dari mereka yang memiliki tato ular di sebelah tangannya, memangkas jarak.

Zach mengamati wajah mereka satu persatu. “Kami sedang mencari lokasi syuting film.”

“Di tempat kumuh? Gak salah?” tanyanya seraya melirik teman-temannya. “Bagi kita duit!” Pria bertato itu menengadahkan sebelah tangannya dengan wajah menantang.

“Buat apa?”

“Kalo lo pengin pake tempat kita, lo harus bayar uang keamanan!” serunya tidak sabaran.

"Kami nggak jadi make tempat kalian. Jadi, kami nggak akan bayar," ucap Zach dengan tegas, menatap preman tersebut tanpa rasa gentar. Dia merasa frustasi dengan upaya pemerasan ini. Bagaimana mungkin dia harus membayar setelah mendapat kesulitan dari warga kampung itu sendiri?

“Nggak bisa gitu dong! Lo udah bikin keributan di kampung gue! Lo harus bayar!” sergah preman lainnya mulai jengah.

Melihat situasi makin menegangkan, Nita pun bergidik ketakutan di dalam kendaraan. Waspada dia mengawasi kondisi di sana, Zach dikerubungi enam orang preman. Lekas Nita pula menghubungi tim produksi, menyampaikan keadaannya yang genting.

“Gue nggak ada duit,” ujar Zach. Di situasi seperti ini, Zach menguatkan diri, mengumpulkan keberanian, siap membela dirinya manakala terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Dia yakin jikalau preman itu akan mendesaknya. Zach tidak mau memberikan sepeserpun hasil kerja kerasnya pada orang-orang yang malas bekerja dan suka merampas milik orang lain tersebut.

“Masa lo nggak punya duit? Lo kan, artis!” Preman itu melirik kawan-kawannya meminta persetujuan untuk argumentasinya.

“Gue nggak ada duit.” Zach menekan setiap suku katanya. Dia kukuh tidak akan memberikan apa yang mereka inginkan.

Preman itu tersengih. Seringai mengejeknya berubah tawa diikuti kawan-kawannya pula yang merasa tergelitik oleh jawaban Zach yang tidak mengerti situasi saat ini.

“Enam lawan satu, ya?” tanya preman itu sembari melakukan peregangan pada lengan, jari, dan lehernya.

“Menyebalkan,” gumam Zach kesal. Dia menyiapkan mental serta fisiknya, karena belum pernah menghadapi kondisi seperti ini. 

Melihat mobil livery putih menepi tepat sebelum baku hantam terjadi, kepolisian datang melerai. Tunggang langgang preman itu melarikan diri.

Nita turun dari kendaraan. Dia amat bersyukur institusi keamanan itu datang tepat waktu. Jika tidak, entahlah bagaimana nasib Zach dan Nita.

Beruntung dia merekam kejadian itu, lalu mengirimkan video tersebut ke tim produksi yang lantas mereka gunakan untuk melapor ke Polisi.

Para polisi menanyakan kondisi Zach dan Nita yang terlihat syok. Pihak keamanan tersebut kemudian mengambil inisiatif untuk mengawal Zach hingga situasi dianggap aman. 

Setelah memasuki wilayah Jakarta Selatan dan memastikan keadaan aman, para polisi itu pun menyudahi pengawalan dan pamit. Zach dan Nita bisa bernapas lega dari sana.

“Kami udah aman. Kalian gimana?” tanya Nita pada Aliyah di sambungan telepon.

“Aku sama teman-teman juga aman, Mbak.” Suara Aliyah terdengar sudah lebih tenang. “Kalo gitu, kita ketemu di rumah aja ya. Kebetulan ini bentar lagi nyampe.” Gadis itu menempelkan telunjuknya ke bibir saat anggota tim produksi yang tengah menyetir hendak memprotes. “Ya udah, kalo gitu udah dulu ya, Mbak. Bye!”

“Eh, Ayi! Ayi, tunggu! Ayi!” seru Nita cepat. Namun, dia malah mendengar bunyi tut, Aliyah memutuskan sambungan telepon dengan sepihak. “Kok, malah diputusin sih? Kan, belum selesai ngomong,” gerutunya sembari mengetik pesan singkat lalu mengirimnya pada Aliyah.

Ayi: Maaf, Mbak. Baterai hpku lowbat.

Nita menghela napas lesu saat menerima pesan balasan dari gadis itu. Padahal dia ingin segera bertemu yang lainnya. Nita merasa tidak nyaman jika hanya berduaan dengan Zach.

“Ada apa?” tanya Zach sembari menoleh selintas pada Nita.

“Ng–nggak. Nggak ada apa-apa.” Rasa grogi mulai menggerogoti tubuh Nita. Jantungnya berdebar kencang, gugup. Nita jadi salah tingkah.

Om Duda Love Mbak Janda (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang