88. Waktu

296 13 0
                                    

"Lebih baik kita akhiri hubungan ini, Mas. Aku kuatir menghalangi  jodohmu yang sebenarnya. Karena perasaanku terhadapmu akan tetap sama, tidak peduli hari ini atau tahun depan. Kita hanya membuang-buang waktu," jelas Nita dengan penuh kehati-hatian.

Irasa mengangguk rendah hati, tetapi dalam hatinya, ada kekecewaan yang dalam. Nita telah setuju memberikannya waktu dua tahun, dan sekarang Nita malah menarik diri terlalu cepat. "Tapi kita udah sepakat. Kamu setuju memberiku waktu dua tahun. Apa kamu lupa?"

"Maaf, Mas. Tapi aku nggak pernah setuju. Kamu sendiri yang membuat keputusan itu tanpa meminta persetujuanku," sahut Nita tegas. Wajahnya tidak lagi terlihat ragu atau canggung. Dia berharap Irasa bisa mengerti dan menghentikan usaha sia-sianya untuk mengejarnya.

Irasa tertawa getir. Dia tidak menyangka Nita akan menolaknya dengan begitu tegas. Baginya, memberikan waktu dua tahun tidak seharusnya menjadi masalah. "Apa susahnya memberiku waktu dua tahun, Nit? Itu tidak sulit."

“Itu sulit bagiku, Mas. Aku merasa nggak nyaman setiap kamu mengungkapkan perasaanmu, sedangkan aku tidak bisa membalasnya. Lebih baik akhiri semuanya sekarang sebelum perasaanmu semakin dalam. Aku yakin kamu akan mendapatkan wanita yang lebih baik dariku,” tutur Nita menggunakan alasan klise saat wanita menolak cinta laki-laki. Dia sengaja menggunakan alasan itu, supaya Irasa cepat mengerti. “Maaf, Mas. Sepertinya nggak ada yang perlu kita bicarakan lagi. Saya permisi.” Nita beranjak dari duduk, meraih tas tangannya di kursi.

“Tunggu! Aku antar kamu pulang,” ucap Irasa seraya bangkit dari duduk, menghentikan Nita yang hendak pergi.

“Nggak usah, Mas. Aku pulang sendiri aja.”

“Nggak, Nit. Aku yang ajak kamu ke sini, jadi aku yang harus antar kamu pulang,” tegas Irasa.

“Nggak, Mas. Nggak usah. Gapapa.” Nita tersenyum santun. “Permisi.” Nita berbalik, mengayuh langkahnya.

“Apa kamu masih mencintai laki-laki itu? Apa kamu menolakku, karena dia?” tanya Irasa yang membuat Nita berpusing.

Keduanya saling menatap dengan intens, Nita enggan menjawab pertanyaan Irasa, sebab merasa tidak mempunyai kewajiban untuk menjelaskan apa pun padanya. Irasa tidak pernah berarti apa-apa baginya. Selama ini Nita menjaga sikap hanya demi hubungan profesionalisme mereka.

Irasa putus asa akan mendapatkan jawaban untuk pertanyaannya. Dia pun memutuskan untuk fokus pada hubungan mereka berdua. “Aku akan memberimu waktu untuk berpikir. Cobalah untuk hanya memikirkanku sekali saja.”

Nita merasa bingung dan tidak tahu harus bagaimana lagi memberikan penjelasan kepada Irasa. Pada awalnya, dia tidak ingin membuat pria tersebut terus berharap padanya. Namun, sepertinya itu tidak berhasil, karena Irasa bersikeras tidak mau menyerah. 

Semangat Irasa mengingatkannya pada karakter sad boy di novel-novel roman buatannya. Sekarang, dia bisa merasakan langsung betapa sulitnya menjadi si tokoh utama yang serba salah dalam menghadapi cinta dari si tokoh figuran seperti Irasa.

“Ayi!” sapa Nita kala melihat Aliyah. Pertemuannya dengan Irasa sudah berakhir dan kini Nita hendak pulang saat berpapasan dengan Aliyah di pintu kafè.

“Mama Nita, apa kabar?” Senyum sumringah Aliyah tersungging dengan ramah, membuat Nita seketika merasa hangat. Gadis imut itu tidak pernah berubah.

Nita merasa senang bisa bertemu dengan gadis itu di sana. Sudah lama keduanya tidak bertemu dan Nita memiliki banyak cerita untuk dibagikan serta beberapa pertanyaan tentang gadis itu. Dia rindu berbagi curahan hati dengan Aliyah.

Om Duda Love Mbak Janda (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang