6. Janji

1K 30 0
                                    

Nita pun lekas mencuci piring dan membereskan dapur. Tadinya Aliyah ingin membantunya, tetapi tidak jadi, karena Zach membutuhkannya. Pria itu ingin menunjukan beberapa pakaian baru dan meminta Aliyah untuk memasangkannya. Selera fashion sang anak benar-benar bagus dan kekinian. Zach sangat mengandalkannya supaya bisa tetap berpenampilan modis dan tidak ketinggalan zaman.

Sambil mencuci piring, Nita merenungkan sikap sang tuan selama makan tadi. Zach begitu ramah dan hangat pada Aliyah, memperlakukan anaknya selayaknya seorang putri kerajaan. Zach teramat memanjakannya, tidak pernah tidak berpihak padanya.

Tiba-tiba teringat wajah dingin dan ucapan ketus Zach padanya tadi kala Nita menolak kemauan Aliyah. Zach sangat berbeda ketika berhadapan dengan Aliyah. Dia menjadi sosok yang lebih banyak berbicara dan tersenyum.

Nita langsung mengkaku layaknya patung kala merasakan sesuatu yang keras menabrak punggungnya. Itu adalah dada bidang Zach. Pria itu membuka lemari gantung di atas kepala Nita, mencari sesuatu.

“Mm–maaf, Mas. M–mas Zz–zach nyari apa?” tanya Nita gugup. Jujur dia merasa terintimidasi dan tidak nyaman berada di posisi seperti ini. 

“Saya mau ngambil kopi.” Zach berbisik ke telinga Nita, membuat janda muda itu merinding. Suara rendah Zach membuat jantung kecil Nita meronta-ronta meminta dilepaskan dari sangkarnya.

“Mm–maaf, Mas. Tt–tapi bukan di … situ.” Nita mengepalkan tangannya yang gemetaran seraya memejamkan matanya resah. Otaknya seketika macet, tidak tahu harus berbuat apa di situasi seperti itu.

Kedua tangan Zach memegang bibir wastafel, memerangkap Nita dalam kungkungannya. Dia menunduk, hingga batang hidungnya membelai bahu Nita dengan lembut. “Di mana?” tanyanya lirih. Zach sengaja menggesekkan dadanya ke punggung Nita, membuat wanita itu kian terpojok dan salah tingkah. 

Zach tersenyum mencemooh, mendapati perilaku gampangan janda desa itu. Baginya, semua wanita sama saja, mudah diekploitasi oleh ketampanannya. Setelah puas menggoda Nita hingga gelagapan, Zach pun meninggalkannya begitu saja. Dia tidak memedulikannya. Zach hanya bersenang-senang.

Nita memerosot ke lantai. Kaki dan tubuhnya mendadak lemas. Dia memegangi dadanya yang masih berdegup kencang, pula napas terseok-seok. Nita benar-benar syok dan kehilangan akal. “Kenapa Mas Zach kayak gini? Apa ini hukumanku yang berani bilang nggak mau ke Ayi?” gumamnya.

***

Zach pun kembali membuka profil lamaran kerja Nita. Dia membacanya dengan seksama. Zach menyeringai puas saat mengetahui status Nita yang seorang janda. Zach yakin selama ini wanita itu pasti menahan hasratnya. 

Janda seperti Nita biasanya merindukan belaian seorang pria. Apalagi wanita itu sudah cukup lama menjanda, hampir lima tahun. Zach pun mempertimbangkannya. Nita memiliki wajah yang lumayan cantik serta badan yang bagus dan awet muda untuk ukuran wanita berumur tiga puluh tahun. Pria itu tersenyum senang mendapati mainan barunya yang tidak terlalu buruk. 

Zach memerhatikan Nita saat berinteraksi dengan Aliyah tadi. Dia terlihat keibuan. Zach yakin jikalau semua itu Nita lakukan demi untuk menarik perhatiannya. Trik yang ketinggalan zaman, mendekati anaknya lalu meraih hati ayahnya, tetapi efektif, pikir Zach.

“Papa, lihat apa?” Aliyah yang sudah menyelesaikan tugasnya pun menghampiri ayahnya, mengamati data diri seseorang di layar laptop sang ayah.

“Menurut kamu, Mbak Nita, gimana?” tanya Zach meminta pendapat anaknya.

“Maksud Papa, apa? Papa, tertarik sama Mbak Nita?” Aliyah menatap serius mata Zach.

“Hmm. Lumayan ‘kan?”

Aliyah menepuk dahinya, lalu memandang sang ayah lesu. “Mending jangan deh, Pa. Papa, cari yang lain aja. Jangan Mbak Nita.”

“Kenapa?”

“Mbak Nita ini cewek kampung, Pa. Dia janda dan punya satu anak.”

Zach menutup laptopnya, lalu memerhatikan perubahan ekspresi wajah sang anak. Tidak biasanya Aliyah bersikap demikian. Biasa dia selalu acuh tak acuh. “Kenapa dengan janda satu anak? Papa, janji nggak akan bikin dia sampai hamil, kalo itu yang kamu takutin.”

“Ih, bukan itu, Pa! Mbak Nita tuh, polos. Papa, sadar gak sih?” Aliyah mulai gemas pada ayahnya.

“Polos?” Zach menyeringai mengejek. “Dari mana kamu tahu dia polos? Emang kamu udah kenal dia berapa lama?”

“Ih, Papa! Pokoknya nggak boleh! Jangan! Titik!” Aliyah memberengut kesal.

Zach menghela napas panjang. Tiada yang bisa dilakukan bila sang anak sudah melarang. Permintaan Aliyah adalah perintah yang tidak boleh dibantah. “Oke, Papa, nggak akan boboin dia. Cuma grepein aja. Gimana?

“Janji ya?” Aliyah mengacungkan jari kelingking dengan bibir manyun.

Zach pun menerimanya sembari tersenyum. “Janji.”

Om Duda Love Mbak Janda (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang