68. Imut

236 12 0
                                    

Setelah Irasa turun dari mobilnya dengan sikap tenang dan berwibawa, para wartawan yang sebelumnya sibuk dengan kamera dan pertanyaan saling berbisik satu sama lain. Mereka segera menghampiri Irasa dengan sikap yang lebih teratur, meskipun masih bersemangat untuk mendapatkan informasi.

Salah satu wartawan, seorang wanita muda dengan catatan di tangan, bertanya dengan suara yang terdengar jelas di antara kerumunan, "Selamat siang, Pak Irasa. Apa yang membawa Anda ke sini hari ini?"

Irasa tersenyum ramah sebelum menjawab dengan tenang, "Selamat siang juga. Saya datang ke sini untuk berdiskusi dengan Nita tentang proyek yang akan kami garap bersama."

Wartawan yang lain mengangkat tangan untuk bertanya, "Apakah ini ada kaitannya dengan rumor terbaru Zach Code? Ada kabar bahwa Anda berteman dekat dengan Zach Code. Apakah Anda akan memulai kolaborasi baru dengan Nita, karena permintaan khusus dari Zach Code?"

Irasa terkekeh saat mendengar spekulasi imajinatif dari wartawan tersebut, lalu menjawab dengan bijak setelah berhasil mengendalikan tawa. "Seperti yang Anda tahu, rumor adalah rumor. Saya dan Zach Code memang bersahabat dekat dan sangat akrab. Namun, rencana kolaborasi ini tidak ada hubungannya dengan beliau. Ini murni, sebab ketertarikan saya pada karya-karya Nita Fatna.”

Wartawan lainnya melanjutkan, "Apa Anda tidak khawatir bahwa kolaborasi ini akan menimbulkan asas praduga pasal kedekatan Anda dan Nita Fatna?"

Irasa tersenyum dan menjawab dengan penuh keyakinan, "Saya percaya bahwa kolaborasi ini akan memberikan manfaat yang positif bagi kedua belah pihak. Saya fokus pada pekerjaan kami dan tidak terlalu memikirkan spekulasi yang tidak berdasar. Saya berharap Anda bisa menghormati privasi kami dalam mengembangkan proyek ini."

Para wartawan mengangguk dan mencatat jawaban Irasa dengan serius. Mereka kemudian memberikan Irasa ruang untuk melanjutkan perjalanan menuju pintu rumah Nita, menunjukkan bahwa mereka menghargai wawancara yang mereka lakukan, meskipun tetap waspada dan bersemangat untuk mendapatkan informasi lebih lanjut.

Nita merasa tegang. Dia agak khawatir tentang bagaimana para wartawan akan merespons kedatangan Irasa, mengingat kehadiran mereka belakangan ini cukup mengganggu kehidupannya. Namun, saat Irasa tiba, suasana menjadi lebih tenang dari yang dia perkirakan.

Para wartawan yang berada di luar rumah segera merespons dengan profesionalisme setelah Irasa menjelaskan dengan tegas dan transparan maksud kedatangannya. Irasa, dengan sikap yang tenang dan berwibawa, mampu mengelola situasi dengan baik. Dia menjawab pertanyaan wartawan dengan jelas dan tegas.

“Kenapa?” tanya Irasa saat melihat Nita yang memandangnya dengan cara yang menurutnya aneh.

“Ah, ng–nggak.” Nita gelagapan kala tertangkap basah terpesona oleh karisma laki-laki tersebut. Auranya amat berbeda dari Zach yang dingin dan apatis. Irasa lebih berwibawa dan anggun dari pria itu. Nita akui, dia juga lebih tampan dari Zach. Dia tersenyum–meski kikuk–sebelum dengan ragu menjawab, “Kok bisa para wartawan jadi kayak gitu? Biasanya mereka kepo dan nggak bisa diem.”

Irasa tersengih santun. “Wartawan yang di sana, hampir semuanya saya kenal. Mereka teman-teman saya.” Dalam hati dia merasa puas, karena bisa selangkah lebih dekat dengan wanita milik Zach. Dia jadi penasaran, apa yang membuat musuhnya menyukai perempuan itu. Meski Irasa akui wanita di depannya ini memiliki bentuk tubuh yang lumayan. Samar dia dapat melihat lekukannya dalam balutan gamis gombrong itu. Namun, Irasa cukup mengenal Zach. Dia bukan lah tipe pria yang hanya memandang fisik, tetapi agak sentimental, sifat yang Irasa anggap menggelikan dan konyol.

Nita mengangguk-angguk. “Oh, begitu,” tanggapnya, meski sesungguhnya dia kurang memahami situasi tersebut. Karena amat jarang melihat wartawan begitu kondusif, bahkan tampak tenang kala berhadapan dengan orang yang memiliki nama sementereng Irasa.

“Jadi, boleh saya minta minum? Tenggorokan saya kering.” Irasa menyeringai bersahaja.

“Ah, ya ampun!” Nita tersentak kala menyadari dirinya belum menyuguhkan minuman untuk tamunya. Dia jadi merasa malu. “Maaf, Mas. Saya lupa nawarin minuman. Mas, mau minum apa? Kopi atau yang dingin?”

Irasa menghela napas seraya tersenyum. “Kopi cukup.” Tingkah kikuk wanita tersebut terlihat imut. Ya Tuhan, baru kali ini Irasa memuji seorang wanita dewasa dengan kata menggelikan itu. Bagaimana bisa seorang perempuan berkepala tiga, janda pula, masih tampak menggemaskan? Apakah Nita benar-benar berusia tiga puluh lima tahun seperti hasil penyelidikan orang kepercayaannya?

Ah, sial! Mungkin ini efek dari penuaan. Yup, tahun ini Irasa berusia empat puluh lima tahun, sama seperti Zach. Tampaknya kemampuan indra penglihatannya sudah menurun. Irasa harus segera memeriksakannya nanti, supaya tidak seliwer lagi. Memalukan menganggap janda dewasa di hadapannya imut.

Om Duda Love Mbak Janda (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang