10. Juara

875 28 0
                                    

Vol 2

Nita berusaha mengetik dengan benar, meski kedua tangannya kini gemetaran. Dia terlampau bahagia setelah membaca email dari salah satu platform nasional yang dirinya tekuni. Nita harus menanyakan kejelasan email itu kepada Mbak Tuni–editornya.

Nita: Itu serius, Mbak? 

Pesan Nita setelah mengirimkan tangkapan layar emailnya.

Mbak Tuni: Iya, Nit. Novelmu mendapatkan juara satu dan akan difilmkan. Selamat ya! Untuk hadiahnya, nanti ditransfer tanggal sepuluh, tanggal biasa gajian.

“Aaaaaaaaaa!” Nita menjerit kesenangan seraya terkinjat-kinjat kegirangan. Dia benar-benar bahagia mendapati kabar ini. Lomba menulis yang dirinya ikuti selama enam bulan belakangan ini, akhirnya berbuah manis. Novelnya keluar sebagai juara pertama dan mendapatkan kesempatan difilmkan. Tiada yang lebih membahagiakan dari kabar tersebut untuk seorang penulis.

“Alhamdulillah. Makasih, ya Allah. Alhamdulillah.” Nita memeluk ponselnya. Tiba-tiba perasaan haru menghampirinya. Nita sungguh tidak menyangka novelnya akan keluar sebagai juara. Dia benar-benar bahagia. 

Akhirnya dia memiliki harapan lagi. Sebelumnya Nita sempat sedih membayangkan masa depan anaknya. Mustahil menyekolahkannya dari upahnya menulis di platform berbayar saja. Akan tetapi, kini kerja kerasnya terbayar. Nita akan segera meraih popularitas.

Meski menjadi terkenal membuat novel-novelnya lebih mudah mendapatkan pembaca baru, bukan berarti semuanya hanya tentang sisi baiknya. Nita harus lebih menjaga ketikannya di komunitas. Karena membuat kesalahan sedikit saja akan membikin kepopulerannya saat ini menjadi bumerang.

08212602×××: Selamat sore, Mbak Fatna. Saya Mala dari Rumah Film Nasional. Anda pasti sudah menerima emailnya. Saya ingin bertemu dengan Anda secara langsung untuk membahas proyek film Diamanti.

Sekali lagi jantung Nita berdegup kencang. Dia tak menyangka akan datang hari ini. Dia tidak pernah berani memimpikan salah satu novelnya akan difilmkan. Dia tidak berani berkhayal terlalu tinggi. Nita benar-benar bersyukur.

Nita: Selamat sore, Mbak Mala. Boleh, Mbak. Mbak, mau bertemu kapan dan di mana?

Beruntung Nita belum kembali ke kampung halaman. Dia bertahan di sebuah kontrakan sempit, menjadi asisten serta admins yang mengelola sosial media milik Arini–saudarinya. Gadis itu kewalahan mengelola pesanan para pengikutnya. Setiap hari Nita harus merapikan lalu mengirimkan data diri pemesan dan transferan uang dari pembeli.

Rupa-rupanya sebuah brand kecantikan baru dan happening mengontrak Arini untuk menjadi selebgram tetap yang mengiklankan produknya. Di dalam kontrak, Arini diminta mengakui produk itu sebagai miliknya. Semula Nita tidak setuju, karena khawatir alat kosmetik itu mengandung zat berbahaya dan kalau sampai terungkap, popularitas Arini akan terkena imbasnya. Namun, kekhawatirannya tidak terbukti, produknya dinyatakan aman setelah melewati uji laboratorium.

Nita dan Mala membuat janji temu di kafè bilangan Jakarta Selatan. Keduanya kembali berkenalan lalu fokus membahas inti pertemuan mereka. 

“Karena Mbak Nita, pemegang penuh hak cipta novelnya. Jadi, kami hanya perlu meminta hak adaptasinya ke, Mbak,” ucap Mala sembari menyodorkan map tipis pada Nita.

Di platform novel online tempat Nita mengikuti lomba, tidak ada kontrak eksklusif. Sistem di sana bagi hasil tanpa ada keterikatan kontrak. Novel-novel yang sudah dikunci akan langsung berbayar dan hasilnya dibagi dua antara penulis dan platform novel online.

Nita pun menerima map itu lalu membacanya dengan teliti. Dia terganggu oleh salah satu poin di sana. “Hak revisi novel untuk skenario?”

“Iya. Jika Mbak, menandatangani formulir ini, itu artinya kami memiliki kewenangan untuk merevisi isi cerita sesuai yang kami inginkan. Tujuan dari revisi adalah untuk membuat cerita lebih menarik.”

Nita tidak tahu soal ini. Menurutnya, bila ada perombakan yang signifikan tentu akan mengubah atau mengaburkan maknanya: pesan yang ingin Nita sampaikan kepada pembaca dari novelnya. “Apakah akan ada revisi besar-besaran?

“Tentu saja, kalo itu dibutuhkan. Tapi Mbak, nggak perlu cemas, karena kami tetap akan meminta persetujuan Mbak, nantinya. Kami akan mengirim skenario buatan kami ke Mbak, supaya bisa Mbak, baca dan bandingkan. Gimana?”

Nita khawatir. Ini pertama kalinya novelnya akan difilmkan. Jadi, dia tidak tahu soal ini. “Begini saja, Mbak Mala. Boleh saya terlibat langsung dalam pembuatan skenarionya? Itu syarat dari saya, satu-satunya.”

Dahi Mala mengernyit, tetapi dia berusaha merespon dengan bijak. “Kalo soal ini saya harus nanya dulu ke pihak perusahaan saya. Saya nggak bisa jawab sekarang. Gimana? Mbak, mau nunggu?”

Nita merasa agak lega. “Gapapa, Mbak. Bilang ke atasan Mbaknya, kalo itu satu-satunya syarat dari saya.”

Pertemuan Nita dan Mala pun diakhiri dengan saling berjabat tangan. Nita bertekad bahwasanya dirinya harus terlibat dalam pembuatan skenario. Dia tidak ingin ceritanya dirombak habis dan berbeda jauh dari cerita novelnya.

Om Duda Love Mbak Janda (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang