92. Transparan

308 9 0
                                    

“Tunggu, Mas!” Nita mengejar Zach dengan terpogoh-pogoh. “Maksud Mas, apa? Pertunangan siapa?” tanyanya saat Zach berpaling padanya. Lekas ketenangan hati Nita terusik oleh celetukan Zach.

Zach menatap wajah kebingungan Nita dengan tak acuh, lalu tersengih. “Kamu.”

“Aku?” Nita gelisah. Jadi, yang dimaksud Zach, dirinya dan siapa yang bertunangan? Nita berpikir: ingatannya lekas tertuju pada Irasa yang sudah melamarnya berkali-kali, tetapi dirinya tolak, sebab tidak mencintainya. Mungkinkah maksudnya ….

Nita mengernyitkan keningnya dalam kebingungan saat Zach menjawab pertanyaan tersebut. Sorot matanya mencerminkan kegelisahan dan kekhawatiran yang dalam. Sementara itu, Zach terlihat santai, tetapi juga serius, dengan senyum tipis yang mengisyaratkan bahwa dia mengerti sesuatu yang belum diungkapkan Nita.

“Saya pergi dulu!” Zach berlari kecil meninggalkan Nita yang melamun mematung di tempatnya melanjutkan olahraga paginya.

Terlintas tanya dalam benak Nita: dari mana Zach tahu dirinya dilamar oleh Irasa? Tidak … itu tidak benar. Seketika Nita merasakan dorongan kuat untuk menjelaskan kesalahpahaman ini. Dia harus memberi tahu Zach, jikalau dirinya menolak lamaran Irasa. Benar, Nita tidak boleh membiarkan kesalahpahaman ini terus berlanjut. Ada ketakutan yang dia rasakan jikalau dirinya tidak segera meluruskan kesalahpahaman ini.

“Tunggu, Mas!” Nita menghadang Zach, merentangkan kedua tangan dengan air muka penuh kekhawatiran. “Ada yang harus aku jelasin. Aku nggak pernah bertunangan dengan Mas Irasa. Dia memang mencoba melamarku berkali-kali, tapi aku menolaknya. Aku nggak tahu dari mana Mas, dapet berita itu. Tapi itu semua nggak bener, Mas. Aku berani bersumpah. Demi Tuhan, Mas,” jelasnya cepat tidak memberikan celah pada Zach untuk menyela.

Zach menatap Nita intens, lalu senyuman tipis tersungging di bibirnya. Dia dapat melihat kecemasan dan rasa frustrasi dari sorot mata wanita itu. Seperti biasa, selalu menyenangkan melihat janda tersebut panik karena ulahnya. Zach puas menerima responnya. “Baiklah. Saya percaya.”

“Hah?” Nita kembali dibuat kelimpungan. Maksudnya apa? Apa Zach memercayai penjelasan Nita begitu saja? Apakah Zach benar-benar memahami penjelasannya atau hanya bersikap asal percaya saja? Tunggu … otak janda itu seketika macet. Namun, segera menyadarkan diri. Meskipun agak meragukan, tetapi Nita memilih untuk menanggapinya dengan positif. “Mm–makasih, Mas.”

Zach mengangguk seraya tersenyum, lalu kembali melanjutkan lari paginya. Akan tetapi, dirinya kembali berhenti kala Nita lagi-lagi memanggil namanya. Zach berpusing.

“Bo–boleh saya dan Jaza berkunjung lagi ke rumah? Jaza kangen katanya. Dia juga pengin nunjukin skill-nya yang udah makin berkembang,” tanya Nita gugup seraya meremas tangannya yang berkeringat.

Dahi Zach mengernyit. Dia menatap Nita fokus dengan raut wajah datarnya yang terlihat dingin, lalu memanggut. “Silakan.”

Seketika senyuman merekah di wajah Nita, seolah semua beban mental: rasa gugup, cemas, dan gelisah, menguap ke udara. Penuh gembira, janda satu anak tersebut mengucapkan terima kasih. Lalu, dengan ringan ia pergi, meninggalkan Zach dengan rasa puas dan lega merajai hati.

Zach terkekeh, gemas pada wanita yang kini berjalan memunggunginya tersebut. Nita masih belum berubah dan Zach menyukai apa adanya wanita itu yang selalu transparan. Ya, Zach dapat melihat isi hati Nita hanya dari ekspresi wajah dan tatapan matanya. Pria itu menggelengkan kepala menyisihkan sejenak pikiran tentang janda polos tersebut. Karena Zach harus menuntaskan olahraga paginya.

Om Duda Love Mbak Janda (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang