47. Mustahil

228 11 0
                                    

“Pa, Reno tadi deketin Mbak Nita lagi,” adu Aliyah yang langsung ditanggapi pertanyaan, “lalu?” oleh ayahnya. Gadis dua puluh lima tahun itu seketika menjadi kesal. “Kok, gitu doang sih? Emang Papa, nggak cemburu?”

“Kenapa harus cemburu?” Dahi Zach berkerut seraya pandangan fokus ke depan. Usai mengantarkan Nita sampai ke halaman rumahnya, kini giliran Zach mengantar Aliyah pulang ke rumah ibunya.

“Sebenarnya, perasaan Papa, ke Mbak Nita tuh, gimana sih, Pa?” tanya Aliyah serius. Dia amat penasaran, karena ada kalanya pria itu peduli pada Nita, memerhatikannya, bahkan membantunya tanpa pamrih. Namun, ketika ditanya, tentang bagaimana perasaannya? Zach selalu tidak mau menjawab.

“Mau kamu, gimana?” Zach merlirik anaknya yang duduk disampingnya. Dia merasa bingung, kenapa Aliyah sangat ingin Zach mengakui, bahwasanya dirinya memiliki perasaan khusus pada Nita? Bila dia tidak merasa, kenapa harus berpura-pura?

“Kok aku sih?” Aliyah mulai jengkel. Dia ingin mendengar jawaban, bukan pertanyaan balik. Aliyah tidak dapat menyembunyikan wajah merajuknya dari sang ayah. Dia geregetan sendiri, apa susahnya mengakui perasaannya terhadap Nita? Itu tidak akan menurunkan derajat laki-laki tersebut, pikir Aliyah.

Zach memarkirkan kendaraannya di halaman rumah Sarah. “Kita udah sampai,” ucapnya pada gadis yang sedang ngambek di sisinya. Dia ingin segera mengakhiri percakapan yang memicu perselisihan ini dengan sang anak. Namun, saat melihat Aliyah bergeming, Zach pun menghela napas. Dia benar-benar lelah bila sudah diperlakukan seperti itu oleh anaknya. Selalu saja Nita yang menjadi sumber kemarahan sang anak padanya. “Kamu kenapa?”

“Apa susahnya sih, Pa, confess?” tanya Aliyah setelah terdiam cukup lama. Dia mulai jengah dan muak dengan ketidak terbukaan ayahnya.

“Mengaku apa?” Zach memijat kepala.

Aliyah menjeling sinis. “Tahu ah! Aku pusing!” Dia turun dari mobil Zach, membanting pintu kendaraan tersebut penuh marah. Dia kecewa, hilang kesabaran, karena merasa pengorbanannya selama ini, menjaga kekasih ayahnya, tidak dihargai.

Zach menyandar lemas ke punggung jok seraya menatap punggung Aliyah yang berlalu. Baru kali ini dia mendapatkan kemarahan dari sang anak. Dia tidak suka bermasalah dengannya. Zach tidak sanggup bermusuhan dengan Aliyah. “Aliyah,” gumamnya bak mantra.

Tiba-tiba dering ponsel mengalihkan perhatiannya. Zach pun lekas membuka pesan singkat dari salah satu temannya. Teman-temannya mengadakan pesta minum di salah satu bar bilangan Jakarta Selatan dan mengundangnya. Zach yang kebetulan sedang mumet dan pengang, menerima ajakan sang teman tanpa berpikir ulang.

***

“Kamu kenapa? Pagi-pagi, kok, udah cemberut aja. Semangat dong!” kata Sarah pada sang anak yang terlihat lesu.

Aliyah malah menghela napas berulang-ulang, enggan menjawab pertanyaan ibunya. Suasana hatinya benar-benar buruk pagi ini gara-gara Reno semalam terus menempeli Nita dan ayahnya yang enggan terbuka. Sungguh Aliyah merasa kesal sendiri, ingin menyentil Reno si ulat jauh-jauh, menghempaskannya supaya tidak mendekati kekasih sang ayah dan menghipnotis ayahnya guna mengakui perasaannya pada Nita.

Sarah Aletta–ibunya Aliyah–berbicara menggunakan isyarat mata pada Herlan Susono–suaminya. Dia meminta sang suami untuk membantunya berbicara dengan Aliyah, karena merasa ada yang aneh dari tingkah anaknya tersebut.

“Ada apa, Ayi?” tanya Herlan setelah mengerti keinginan istrinya.

Aliyah tetap bungkam dengan wajah masam, malah bertopang dagu sembari memainkan nasi goreng di piringnya. Dia kehilangan nafsu makan dan malas melakukan rutinitasnya.

“Ayi, kamu ….”

“Menurut Mama dan Ayah, Mbak Nita, gimana?” tanya Aliyah, memotong ucapan Herlan. Dia ingin meminta pendapat kedua orang tuanya.

“Gimana? Gimana, Sayang?” Sarah tidak mengerti.

“Papa suka sama Mbak Nita, tapi dia nggak mau ngaku. Pusing aku. Sebenernya mau papa itu apa? Kenapa memendam perasaannya?”

Sarah dan Herlan saling pandang. Mereka cukup mengenal Zach dan merasa mustahil laki-laki tersebut tulus menyukai seorang wanita, sebab mencintainya. Zach merupakan tipe manusia yang sangat rasional. Dia tidak akan membiarkan perasaan sesaat seperti itu menguasainya. Pria tersebut selalu bisa mengendalikan perasaannya.

“Kayaknya kamu salah paham, Ayi,” tutur Sarah dengan penuh kehati-hatian. Dia tidak ingin mengecewakan, apalagi menyakiti putrinya. Sarah berharap Aliyah selalu mendapatkan apa yang sang anak inginkan.

“Papa kamu nggak mungkin bisa mencintai wanita. Dia tipe manusia yang sangat mencintai dirinya sendiri lebih dari apa pun.” Herlan menatap sang putri dengan senyuman hangat.

Om Duda Love Mbak Janda (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang