17. Bangga

625 31 0
                                    

“Hallo, Mbak Nita!” seru Aliyah saat Nita membuka pintu.

Nita tersenyum lebar. “Ayi, kalo bertamu ke rumah orang itu ucapin salam, bukan hallo.”

Aliyah tertawa kecil. “Maaf, Mbak Nita. Assalamualaikum!”

“Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.”

Hari ini libur syuting dan Aliyah menepati ucapannya untuk berkunjung ke rumah Nita. Dia datang seorang diri sembari menenteng plastik belanjaan. Aliyah ingin mengajak Nita memasak seblak pedas yang sedang viral.

Anak kecil berambut sebahu, berlari menghampiri Aliyah dengan penuh semangat. “Hai, Kak Ayi!” 

Aliyah merespon dengan sumringah sapaan Jaza. Keduanya pun bertos ria. “Hari ini kita akan masak seblak, Zsa! Kamu suka ‘kan?”

“Iwh! Masak seblak? Nggak, aku nggak suka seblak. Gak enak, pedas.” Wajah Jaza meringis jijik. Dia tidak pernah suka seblak, selain pedas, pula penampilan makanan itu kurang menarik, benyek. Jaza geli melihatnya.

Aliyah mendesah kecewa. “Padahal aku beli bahan banyak, loh. Mubazir dong.”

“Ya, gapapa. Mama, suka seblak. Kedoyanannya, malahan.” Jaza menunjuk ibunya yang hanya membalas dengan gerakan alis.

Ketiganya pun sarapan bersama. Kebetulan Nita membeli tiga bungkus nasi uduk untuk dirinya, Jaza, dan pengasuh. Namun, jatah si pengasuh, dia berikan pada Aliyah, yang bertepatan datang bertamu hari ini. Untuk pengasuh anaknya nanti, Nita akan mengganti jatah sarapannya dengan uang.

Selesai makan, ketiganya pun bersantai di sofa. Jaza sibuk dengan buku tulisnya, sedangkan Nita dan Aliyah bermain ponsel. Seperti itu terus hingga ketika seruan Jaza memecahkan keheningan. Dia menunjukan tulisannya pada Nita, menanyakan pendapat wanita itu.

“Udah selesai ya? Keren!” Nita mengacungkan kedua ibu jari sembari menyunggingkan senyuman. Dia tengah mengajari Jaza menulis. Semula dia melatihnya untuk menceritakan keseharian sang anak. Kemudian membelikan buku-buku cerita, untuk memancing daya imajinasinya. 

Sekarang, setelah dua tahun dilatih, Jaza bisa membuat cerita utuh. Awalnya hanya bisa membikin premis, lalu awalan cerita, dan baru kali ini anaknya itu bisa menyelesaikan cerita imajinasinya sampai tamat. Nita merasa bangga padanya.

Pujian Nita pada Jaza mengalihkan perhatian Aliyah dari ponsel. Dia pun beringsut mendekati wanita dewasa di ujung sofa. “Wah! Apa ini? Ini bikinan kamu sendiri?” tanyanya pada Jaza.

“Betul banget!” Jaza mengacungkan sebelah ibu jari sembari nyengir. Dia merasa puas dapat menyelesaikan cerita karangannya. Jaza tidak sabar ingin mendapatkan lebih banyak sanjungan dari sang ibu. Anak kecil itu yakin kini ibunya tersebut merasa puas dan bangga padanya.

“Bentar, Mama, baca ya.”

Aliyah ikut membaca bersama Nita. Dia penasaran bagaimana tulisan Jaza. Aliyah yakin anak kecil itu akan mewarisi bakat ibunya.

Nita tersenyum bangga saat membaca tulisan sang anak. Dia jadi teringat almarhum suaminya. Ismail tidak pernah memprotes hobi Nita atau mencemooh, mengatai Nita tidak waras seperti halnya saudara-saudara Nita. Dia membiarkan wanita itu mengeksplorasi bakatnya.

Nita tersentak saat air mata jatuh ke telapak tangannya. Dia terkekeh canggung pada Aliyah dan Jaza yang terlongong-longong, bengong, menatapnya.

“Mbak Nita, kenapa?” Aliyah memandangnya penuh tanya. Apa tulisannya sebagus itu sampai membuat Nita menangis? Pikirnya. Aliyah menatap karangan Jaza dengan seksama, membaca ulang dengan serius.

“Mama, pasti ingat ayah, ya? Maaf ya, Ma,” ucap Jaza penuh sesal. Tokoh utama dalam cerita pendek tersebut merupakan Ismail–ayahnya. Jaza membuat sang ayah menjadi sosok pahlawan pembela kebenaran yang melindungi binatang malang dari pemburu kejam di hutan. Cerita itu terinspirasi dari film hewan yang ditontonnya beberapa waktu lalu di televisi.

Aliyah langsung berpusing, menatap Nita serius. Sementara Nita lekas mengelus puncak kepala anaknya. “Ayahmu di surga, pasti bangga padamu, Zsa.”


Om Duda Love Mbak Janda (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang