BAB - 1 - Kaluna

474 20 3
                                    

Lilin berangka 30 itu aku tiup setelah merapal doa agar aku selalu hidup sehat dan bahagia. Iya, hari ini aku tepat berumur 30 tahun. Dengan karir yang bagus, tabungan cukup dan lajang. Hal yang cukup membanggakan dan mampu membuat tidurku nyenyak setiap hari. Meski nyatanya aku tak lebih sebagai seorang Wanita tua dengan rahim berdebu.

"Happy birthday sayang..." Mama mencium pipiku seraya memeluk tubuhku dengan erat. Dia mendoakan agar aku selalu hidup bahagia dengan apapun pilihanku. Diikuti Papa yang mengelus kepalaku sambil mendoakan hal-hal yang tak kalah baik untuk anak gadis satu-satunya ini.

Tepuk tangan mengiringi lagu selamat ulang tahun yang kemudian dinyanyikan oleh keluarga besar yang diundang  Mama di hari spesial ku kali ini. Doa-doa baik ku terima dari beberapa anggota keluarga untuk kehidupanku, pun doa penuh sindiran yang tentunya datang dari mulut Budhe Asri, kakak Papa yang paling besar dan yang paling julid di antara semua saudaranya.

Wanita itu mendatangiku saat tengah memilih makanan penutup di meja. "Selamat ulang tahun Kaluna, semoga cepat dapat jodoh ya, nggak apa-apa telat daripada nggak sama sekali. Usia tiga puluhan masih bisa punya anak kok walaupun agak berat."

Menikah dan punya anak adalah dua hal besar yang masing-masing perlu persiapan diri yang matang. Pernikahan bukan mainan untuk anak kecil yang belum dewasa. Dan Budhe Asri jelas tak paham dengan konsep itu.

Wajah Budhe Asri yang menyebalkan itu kemudian ku balas dengan senyum mengembang seolah tidak terusik dengan mulutnya yang terkenal pedas ngalahin sambal bakso Mas Triono yang sering lewat di komplek rumahku.

"Makasih doanya ya Budhe, tapi sekali lagi aku nggak minat nikah atau punya anak. Aku sudah sangat bahagia dengan diriku sendiri." Aku kemudian melahap sepotong lapis legit tanpa beban sebelum wanita itu menepuk lenganku tak cukup pelan.

"Hus! Jangan ngomong begitu," dia menatapku lurus-lurus, "kamu nggak boleh putus asa, walaupun susah, kamu harus terus berusaha, emang nggak kasihan sama orang tua kamu? Kamu anak satu-satunya lho Kaluna."

Aku terkekeh kecil mendengar kata-katanya itu.

See?

Memang lebih baik aku mengabaikan saja wanita berusia enam puluhan awal itu. Semakin di ladeni, semakin menjadi-jadi dia. Tapi sekuat apapun aku menahan diri, nyatanya aku selalu berakhir jengah padanya. Maka begitu saja mulutku membalas karena ingin membuatnya kesal.

"Iya ya, kayak waktu Intan nikah, Budhe kelihatan bahagia banget."

Ruangan yang tadinya berisik mendadak hening karena ucapanku yang sarkas dan keras. Siapapun tahu jika Intan anak bungsu Budhe Asri menikah karena MBA. Bahkan wanita itu menangis seharian tidak mau keluar kamar saat tahu kabar yang layaknya membuat wajahnya dipenuhi kotoran. Belum lagi menantunya yang awalnya dia banggakan sebagai penebus malu kini menjadi pengangguran. Intan yang terus hamil pun nyatanya belum bisa kembali bekerja untuk memenuhi semua kebutuhan rumah tangganya. Alhasil, anak menantu dan tiga cucunya kini tinggal bersama Budhe Asri dengan uang pensiunan suaminya uang sudah meninggal.

Dan kini, raut wajah Budhe Asri sudah berubah, dia jelas siap meledak membalas ku. Tapi sebelum itu, aku membuka mulut lagi untuk menutup semua kata-kataku. "Aku jelas lebih memilih menjadi perawan tua seperti sekarang daripada menikah lalu membuat wajah orang tua ku dipenuhi malu ya Budhe."

Mulut Budhe Asri sudah bergetar siap untuk menangis saat kemudian aku berlalu dengan santai dan mencomot sebuah tiramisu box. Tidak peduli saat wanita itu mulai pura-pura lemas memegangi kepalanya lalu meminta beberapa anggota keluarga membopongnya untuk duduk. Trik yang selau lalu dia lakukan untuk menghindari malu atau sudah tidak bisa berkata-kata lagi. Tapi tetap saja,  dia memaksa diri untuk membalas semua omongan yang keluar dari mulutku dengan berapi-api.

Alive or Alone (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang