BAB - 12 - Gloryo

105 11 0
                                    

Kaluna :
Dimana lo?

Gue membaca pesan itu saat perjalanan macet menuju shelter tanpa berniat membalasnya. Kaluna jelas lah mau ngerepotin gue kalo udah nanya begitu. Penyakitnya dari dulu yang tampaknya susah berubah. Hidupnya terasa ada yang kurang aja gitu kalo nggak ngerepotin orang.

Bodo anjing!

Terakhir gue udah repot-repot antar sup buntut ke apartemennya di saat gue lagi sibuk nguras kolam koi. Males banget kalau masih mau direpotin lagi. Mending gue nontonin YouTube orang ngeluarin kepala anak kecil dari sela pagar.

Perjalanan menuju shelter yang seharusnya ditempuh dalam waktu dua puluh menit doang, kini tampaknya harus gue tempuh dalam waktu berkali lipatnya. Ya... Bisa dua kali blowjob lah.

"Woy jalan, ngentot!"

Gue menghembuskan asap rokok saat orang di mobil sebelah memaki sambil mengeluarkan kepalanya dari jendela. Tak peduli dengan anak perempuan di sebelahnya yang tampak cukup terkejut karena ucapannya itu.

Tit... tit...

"Asu!"

Dan pastilah suara klakson dan maki-makian terdengar di mana-mana kalau dalam keadaan macet begini. Maksud gue, apa gunanya Lo begitu, tolol? Itu lampu merah nggak bakal langsung berubah kalau Lo marah-marah nggak jelas. Dasar, sama aja kek gue.

"Bro..." Sapaan itu datang dari Doni, anak dari karyawan shelter yang mengidap down syndrom berumur sembilan belas tahun. Dengan topi safari yang tampak baru dia dapatkan karena gue baru melihatnya. Senyumnya mengembang saat mendekati gue sebelum memberi pelukan ringan.

"Hai Bro!" Balas gue memeluknya. "Gimana, di sini aman-aman aja kan?" Tanya gue kemudian saat kami berjalan beriringan.

"Aman Bro." Katanya sambil memberikan jempol ke depan hidung gue.

"Udah makan belum?"

Tangannya bergerak mengusap perut. "Udah kenyang."

"Emang tadi makan apa?"

"Indomie." Balasnya sambil nyengir. Gue yakin bapaknya nggak tahu kalau dia makan Indomie lagi. Tahu-tahu utang di warung depan udah dua ratus ribu, aja. Biasanya Doni akan memesan Indomie goreng dan pop ice rasa melon. Gue hapal banget setelah beberapa kali membayar hutangnya.

"Nggak boleh makan Indomie mulu, makan nasi lah."

Dia masih nyengir saat mendekat dan berbisik ke telinga gue. "Jangan bilang Bapak."

"Bilangin ah!" Gue meliriknya yang sudah merenggut cemas.

"Bro..." Wajahnya memelas saat kedua tangannya bertaut memohon. Bukan marah apalagi membentak, biasanya Mas Sasuni hanya ngambek dengan tidak akan bicara kepada Doni jika tahu anaknya itu makan mie instan terus-terusan.

Gue terkekeh saat dia ikut terkekeh. "Iya... Nggak dibilangin. Tapi jangan makan Indomie lagi."

Kepalanya mengangguk meski gue tidak yakin dengan itu.

Doni adalah anak dari Mas Sasuni, salah satu karyawan shelter yang bertugas merawat anjing-anjing. Dia duda setelah ditinggal istrinya yang meninggal karena kanker kulit bahkan sejak Doni masih balita. Gue salut sih sama laki-laki kayak Mas Sasuni yang memilih membesarkan anak satu-satunya itu daripada memilih menikah lagi. Pasalnya Doni jelas membutuhkan perhatian lebih banyak dari anak normal lainnya.

"Dokter..." Senyum Doni mengembang menatap ke belakang gue.

Gue berbalik dan mendapati dokter Angel mendekat sambil melambaikan tangannya.

"Hai Doni..."

"Hai Dokter..." Doni tersenyum malu-malu seperti kebiasaannya begitu bertemu dokter hewan itu.

Alive or Alone (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang