BAB - 44 - Gloryo

85 8 2
                                    

Siang itu gue ke rumah Ganesh karena dia lagi nggak enak badan dan merengek minta gue temenin. Nggak lupa dengan sup buatan Mami yang juga gue bawa buat dia. Plus buah-buahan organik dari kebun Mami. Pokoknya ribet deh. Gue udah kayak balik dari kampung halaman. Kurang bawa ayam aja udah.

"Kalo aja kaki Papi nggak keseleo dan Mami harus jagain di rumah-"

Ganesh yang lagi membuka termos sup, langsung menoleh. "Oh lo terpaksa?"

"Menurut Lo?"

"MAKASIH GLO..."

Ludy sedang ke Singapura. Dan kini tugasnya menjadi tugas gue. Termasuk menjemput Summer ke sekolah. Tapi gue senang untuk yang satu itu. Apalagi waktu Summer berlari ke arah gue dengan pipinya yang merah karena habis main kejar-kejaran sama temennya.

"Hai princess..." Gue berjongkok agar dia bisa memeluk gue. "Mau langsung pulang atau beli coklat dulu?"

Mata Summer yang besar berkedip.

"Sssttt..." Gue menempelkan telunjuk di bibir bersamaan dengan senyumnya yang lebar sekali.

Balik ke rumah Ganesh setelah menemani Summer menghabiskan coklatnya, gue beralih niupin kolam berenang karet karena Summer memintanya. Kolam berenang rumah mereka lagi di kuras. Jadilah begitu. Habis, habis deh nih nafas gue.

"Nih pompanya." Kata Ganesh waktu menghampiri gue ke taman samping rumahnya.

"Kenapa nggak Lo bilang dari tadi?" Gue mau memakinya, tapi Summer dengan baju renangnya yang lucu itu sedang mendekat ke arah kami.

"Biar Lo mati kehabisan nafas." Katanya enteng. "Kapan lagi coba ada orang mati habis niup kolam karet? Konyol banget tuh kalau sampe keluar di berita." Dia ketawa lalu berbalik menghampiri Summer yang lagi kesusahan masang kaca mata renangnya.

Pengen banget rasanya gue lempar pompa itu ke kepala Ganesh. Kalau aja nggak ada Summer. Udah gue bikin geger otak dia.

Selesai bikin kolam renang dan nemenin Summer bersenang-senang, gue yang mau balik malah dititipin oleh-oleh dari Jepang buat Kaluna. Temannya baru balik dari Jepang dan ada sesuatu untuk Kaluna.

"Anter sendiri aja napa sih? Atau suruh dia jemput." Segala gue jadi kurir semua orang.

"Ya elah! Nitip gini doang ngomel aja Lo!" Dia nonjok lengan gue. "Sana, anterin." Dia ngedorong punggung gue.

Ujung-ujungnya gue emang kurir khusus buat Kaluna. Karena sekarang, gue udah nyampe di gedung apartemen nya itu.

Tapi dia nggak ada dan gue kembali ke lobi sambil mau menelponnya sebelum HP gue mati. Gue berakhir numpang mencharge di resepsionis sambil membaca majalah bisnis di sofa lobi. Sesekali akan melihat ke  pintu masuk kalau-kalau Kaluna muncul dari sana setelah dari basemen. Tapi nggak, gue menunggu cukup lama bahkan sampai baterai HP gue hampir terisi penuh.

Makanya gue nitipin titipan dari Ganesh itu ke resepsionis saat gue sudah siap pergi dengan HP gue yang selesai di charge. Gue memencet tombol lift untuk ke basement dan tepat saat pintu lift terbuka, gue menemukan Kaluna dan Kafi.

"Glo?" Kaluna diikuti Kafi keluar dari lift itu.

"Barusan gue nitip titipan Ganesh buat lo di resepsionis." Kata gue ke arah Kaluna sebelum menerima uluran tangan Kafi. "Dude."

"Lo nungguin gue?" Tanya Kaluna.

"Nggak."

"Kenapa nggak telfon atau chat gue dulu?'

"HP gue mati." Kata gue dan di detik berikutnya HP gue berbunyi yang membuat sebelah alis Kaluna naik.

"Gue pikir HP lo mati?"

"Tadinya, gue habis numpang nge charge bentar di resepsionis. Sana ambil titipan Lo."

"Gue duluan, Dude." Gue menerima tangan Kafi lagi sebelum masuk ke dalam lift sebelum akhirnya menerima panggilan dari Jenar.

Iya Jenar.

Mantan pacar gue waktu SMP.

Setelah ketemu di tempat Mas Rinanto, kami bertukar nomor telpon. Gue nggak mungkin nggak ngasih kan waktu dia minta gitu aja?

Siapa tahu ada link bisnis.

"Lo udah lama di sini?" Kata gue waktu mendatanginya ke sebuah cafe nggak jauh dari apartemen Kaluna.

"Nggak kok. Aku juga baru datang." Dia tersenyum. "Kamu mau pesen apa?"

"Apa aja, gue haus banget nih."

Jenar memilihkan minuman untuk gue sambil kami ngobrol-ngobrol ringan. Lebih tepatnya dia yang nanya-nanya tentang hidup gue sekarang.

"Shelter yang ada di daerah ini juga?" Tanyanya waktu gue bilang kalau gue mengelola sebuah tempat penampungan anjing itu.

Gue mengangguk. "Lo suka anjing nggak? Kalau mau adopt bisa kabarin gue aja."

"Aku kan dulu punya golden, kamu lupa?"

"Emang iya?" Gue nggak inget.

"Aku nggak nyangka kalau kamu masih temenan sama Kaluna sampai selama ini."

Gue menatapnya tanpa menjawab.

"Kalian nggak pacaran, kan?"

"Nggak."

Dia senyum lagi dan membuat gue tersenyum tipis. Dari dulu Jenar emang se to the point itu. Mungkin karena itu dulu gue pernah suka sama dia.

"Kamu inget nggak kalau dulu aku pernah cemburu sama Kaluna. Tapi ternyata kamu malah sama yang lain setelah kita putus. Padahal tadinya aku pikir kamu bakal sama Kaluna."

"Bukannya Lo di Jerman ya? Ada apa balik ke Jakarta?" Gue mengalihkan pembicaraan itu karena nggak penting dan ingat pernah mendengar kabar itu dari teman lama.

"Kamu tahu aku di Jerman?" Dia senyum lagi.

"Gue pernah nggak sengaja denger."

"Papa yang minta aku balik sih. Jadi Papa lagi bangun bisnis perhiasan gitu. Dan dia mau aku ikut. Jadi ya udah, aku balik deh."

Tuh kan, gue mah emang feeling sama bau-bau bisnis begini.

"Perhiasaan macam apa?"




Alive or Alone (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang