BAB - 40 - Gloryo

116 13 1
                                    

Gue terkekeh seiring kaki ini membawa gue keluar dari gedung kantor Kaluna. Gue yakin dia masih berdiri di tempatnya tadi. Terdiam dan terus menatap punggung gue karena kata-kata yang gue bisikin.

Well, Kaluna emang punya pantat yang bagus. And i like it.

Gue hanya merasa gemas sekali dengan sikapnya yang seolah-olah nggak terjadi apa-apa. Tadinya gue juga berpikir akan melupakannya, tapi saat melihat dia berusaha keras untuk melakukan hal yang sama, jelas membuat gue begitu saja ingin menggodanya. Dan benar aja, dia keliatan kaget waktu gue kembali mengingatkan apa yang terjadi kemarin.

Jujur aja, gue juga nggak menduga kalau kami akan tidur bareng. I have no idea what i am doing. Meski gue tahu kami hanya berteman, tapi apa yang terjadi semalam nggak bisa gue lupain gitu aja lah. Nyatanya Kaluna terlalu luar biasa untuk menjadi wanita yang hanya numpang lewat di hidup gue. Meski gue yakin nggak punya perasaan apapun padanya sejauh ini. Gue yakin dia pun begitu. Bukan karena apa yang sudah terjadi dia akan memiliki perasaan yang lebih ke gue. Gue tahu Kaluna bukanlah tipe orang yang mudah jatuh cinta. Dan sekali lagi, dia Kaluna. Gue mengenalnya lebih dari itu. Tapi, agar semua ini menjadi lebih menyenangkan, gue berencana akan terus menggodanya sampai dia beneran jengah dan kami kembali seperti sedia kala. Tanpa khawatir dengan apa yang udah terjadi.

Itu terdengar lebih baik daripada kami berdua sama-sama berusaha pura-pura seolah nggak terjadi apa-apa.

Gue melakukannya karena suka berteman dengan dia. Dan gue mau kami baik-baik aja kayak biasanya. Awkward-awkward nggak jelas tentu aja bikin semuanya terasa aneh karena pertemanan kami hanya tentang bertengkar sejak dulu.

You know what I mean.

Menyetir dari kantor Kaluna menuju salah satu cabang restoran sate, gue bertemu dengan Encha yang begitu aja memuji penampilan baru gue.

"Udah lama banget rasanya gue nggak liat Lo serapi ini." Katanya sambil tersenyum.

"Masih cocok, kan?" Tanya gue sambil nyeruput es jeruk.

Dan seperti biasa, Encha akan menanyai gue pertanyaan yang sama.

"Lo udah makan?"

"Belum, nanti aja habis kita ketemuan sama orangnya."

Penampilan rapi bukan semata-mata karena gue bosan dengan penampilan apa adanya seperti yang udah-udah. Hari ini gue akan bertemu investor untuk restoran sate cabang baru yang rencananya akan memiliki lokasi yang paling besar di antara restoran cabang lain. Gue hanya nggak mau menganggap remeh bisnis gue dengan berpakaian apa adanya untuk bertemu investor besar. Ya, nyatanya gue cukup serius dengan uang.

Pertemuan dengan pihak investor kali ini berjalan lancar dan nggak memakan waktu lama karena semua surat-suratnya juga sudah mereka siapkan. Gue hanya perlu menandatangi beberapa berkas sambil mengobrol tentang rencana gue selanjutnya.

Sangga yang kemudian datang udah dikerumuni orang-orang yang mengenalinya sejak tadi. Dan mau nggak mau gue meminta security untuk segera membawanya ke ruangan VIP karena Sangga terus melambai ke arah gue yang tadinya masih ngobrol.

"Lagian kenapa siang-siang begini Lo ke sini? Udah tahu rame. Niat banget nyari perhatian." Kata gue sambil sibuk dengan sup buntut dan nasi.

"Ya gue nggak tahu kalau ternyata gue seterkenal itu."

Biasa, si anjing itu sok merendah buat meroket.

Gue mengangkat kepala dan bisa melihat kesombongan di mukanya. "Gue juga baru tahu Lo seterkenal itu. Kok bisa ya? Padahal kualitas acting juga biasa aja, kelakuan minus pula."

Dia terkekeh, lalu mengangkat kaca mata mahalnya ke atas rambut. "Lo nyimpen nomor asisten si investor tadi nggak?"

Yang cantik-cantik pasti selalu ketangkap radar mata penjahat kelamin model Sangga. Mustahil kelewatan pokoknya.

Alive or Alone (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang