BAB - 48 - Gloryo

93 10 8
                                    

Gue melajukan motor matic itu di tengah terik kota Jakarta yang sibuk di jam makan siang. Berbelok di persimpangan menyelip sana-sini.

"Adem banget rumah lo kek BCA prioritas." Itu adalah hal pertama yang gue katakan begitu sampai di rumah Ganesh.

Tapi kemudian gue merasakan aura-aura yang membuat bulu kuduk gue berdiri waktu muka Ganesh kenceng banget waktu melewati ku gue.

"Kenapa Lo?" Gue memutar badan ke arahnya yang duduk di sofa buat ngerangkai bunga.

"Biasa, ngambek ya Lay?" Ludy yang tiba-tiba muncul langsung mengambil tempat duduk di sebelah bininya itu. "Mata genitnya mana..."

Dan dengan lirikan Ganesh yang tajamnya berbahaya ngalahin tajamnya pacul punya Mang Muki, membuat Ludy langsung menutup mulutnya rapat-rapat.

"Seru nih..." Gue mendekat dan duduk di antara mereka dan menjadi satu-satunya orang yang tersenyum di situasi perang dingin itu.

"Bilang kalo dia nggak boleh tidur di kamar." Ganesh menyenggol kaki gue dengan kakinya.

Gue menoleh ke arah Lud yang sudah menepuk paha gue. "Bilang juga kalo gue nggak akan main PS sampai subuh lagi."

Ganesh mendengus lalu menyenggol kaki gue lagi. "Bilang kalo itu cuma sebentar, palingan ntar diam-diam main lagi trus alasannya kerja."

Lud menepuk paha gue, lagi. "Bilang kalo kali ini gue janji."

Gue memutar kepala ke kanan, natap Ganesh yang nggak mau noleh dikit pun. "Gampang banget bikin janji udah kek buang dahak."

"Beneran Lay... Janji..." Lud udah memelas kek yang udah-udah. "Mana badan aku pegel banget Lay. Pijitin dong..."

Ganesh melirik Lud sekilas lalu malah pergi gitu aja, balik-balik dia udah bawa koyo yang dia kasih ke gue.

"Kasih ke dia tapi jangan bilang dari gue."

Gue ngasih koyo itu ke Lud. "Ini dari gue, bukan dari Ganesh."

Dan Ganesh membawa vas yang berisi bunga yang selesai dia rangkai lalu pergi ke lantai atas. Meninggalkan gue dan Lud begitu aja.

Gue mau jadi perantara begini karena kemaren baru aja dibeliin air backpack baru sama Ganesh. Ya siapa tahu lain kali dia beliin gue lagi.

"Jadi, ini koyo dari Lo atau dari Ganesh?" Tanya Lud sambil memasangnya ke pinggang.

"Dari dia, tapi dia nggak mau bilang kalau itu dari dia." Jelas gue yang di detik berikutnya membuat kami terkekeh.

"Jangan berisik!"

Dan kami sama-sama langsung menutup mulut saat suara Ganesh terdengar dari lantai atas.

Gue berakhir lenye-lenye sambil ngerokok di taman samping rumah Ganesh ditemani makanan sehat dari kulkas. Lud lagi terus sibuk ngebujuk Ganesh dan gue nggak mau ikut campur lagi karena kalau salah-salah, malah jadi gue yang kena.

Lud yang belum berhasil ngebujuk bininya harus pergi untuk menjemput Summer ke sekolah. Pulang-pulang keponakan gue itu minta di bikinin kolam karet lagi seperti beberapa hari lalu. Bertepatan dengan Ganesh yang udah rapi dan bilang kalau mau nemenin nyari tanaman hias sama Mami.

"Awas ya kalau pulang-pulang rumah berantakan." Ganesh hanya menatap gue tanpa mau menoleh ke arah lakinya.

Tapi Lud menjawab dengan gaya militernya sambil memberi hormat tangan di samping jidat. "Yes ma'am."

Lud yang tadi memelas kini tampak sangat ceria waktu dia mesen McD sebagai makanan sehabis berenang. Kami bertiga beristirahat di ruang TV karena cukup lelah. Tadinya kami hanya ingin menemani Summer berenang, tapi kemudian Lud yang konyol membuat ide bermain seluncuran matras waterboom ala-ala. Tak lupa membuat busa sabun yang membuat ponakan gue sangat senang. Sebagai seorang ayah, Lud nyatanya cukup mirip dengan Papi. Dia melakukan hal tak terduga untuk membuat anak-anaknya senang. Dan kini, dia yang berniat menidurkan anaknya malah tertidur lebih dulu.

Summer pindah ke pelukan gue saat perlahan dia ikut tertidur. Yang gue tahu gue juga tertidur lalu terbangun karena suara tawa Summer dari taman samping. Ludy dan Summer sedang bermain sepeda di sore hari yang cerah itu. Iya, gue tidur sampai sore. Menguap besar lagi, gue meregangkan badan di saat bersamaan gue mendengar Ganesh. Dia dan Lud sudah langsung berpelukan nggak peduli saat siang tadi mereka berantem.

Dan gue tersenyum untuk apa yang gue lihat. What a nice view.

Gue kemudian di interupsi oleh HP gue yang berbunyi menandakan pesan masuk.

Jenar :
Kamu di mana?

Gue baru sadar kalau tadi gue mengabaikannya setelah meminta share location.

Jenar :
Aku lagi sendirian di rumah

Jenar :
Kamu masih ingat rumah aku kan?

Gue menguap lagi lalu bangkit. Memakai kamar mandi Ganesh untuk membersihkan diri karena setelah berenang tadi kami langsung tidur. Nggak lupa memilih baju Lud dari dalam lemarinya.

"Mau ke mana lagi Lo?"

Gue tidak menjawab waktu Ganesh bertanya karena sibuk dengan baju-baju yang gue yakin belum di pakai oleh Lud itu. Katanya sayang make baju-baju mahal yang dibeliin Ganesh.

"Jenar?"

Gue menoleh dan mendapati Ganesh udah ngelirik HP gue waktu Jenar ngirim pesan lagi.

"Bukan Jenar mantan Lo waktu SMP itu kan?" Dia was-was sendiri.

"Lha, emang kenapa?" Kata gue waktu menemukan kaos berwarna putih gading yang tag merk-nya masih ada itu.

"Ingetin kalo gue males banget liat dia. Kok bisa ketemu lagi kalian?"

"Nggak sengaja pas makan bakso."

"Terus balikan?"

Gue memakai kaos itu setelah menarik tag merk-nya di bagian leher. "Nggak."

"Terus kenapa ketemuan lagi?"

"Ya kenapa nggak?"

Tangan Ganesh begitu saja bergerak menoyor kepala gue sebelum dia keluar dari kamar.

Gue memakai motor Mang Cep menuju rumah Jenar yang masih gue ingat dimana. Dulu gue suka dia ajak ke rumahnya buat belajar bareng. Tapi belajarnya berdua doang.

"Aku pikir kamu udah lupa dimana rumah aku." Dia membawa gue melewati ruang keluarganya yang luas.

"Lo benar-benar sendirian?" Tanya gue menoleh kanan kiri waktu naik tangga. "Ada ART, kan?" Sendirian versi dia pastilah beda dengan sendirian versi gue.

"Ya ada. Sopir juga ada di belakang. Tapi keluarga aku nggak ada yang lagi di rumah, itu maksudnya. Kenapa? Kamu khawatir kalau aku beneran sendirian di rumah?"

Gue mengabaikan ucapannya waktu dia buka pintu kamarnya. "Kalau di bawah nanti ada yang ganggu kita nggak sih?"

Gue menatapnya lurus-lurus sebelum masuk ke dalam kamarnya lebih dulu. Kamar yang sama walaupun interiornya udah beda banget.

"Gue boleh ngerokok nggak?" Tanya gue waktu berjalan ke balkonnya.

"Boleh."

"Kenapa kolam berenangnya udah nggak ada?" Gue menatap bekas kolam berenang yang kini dibikin jadi gazebo.

"Nggak ada yang make juga, semua orang di rumah ini sibuk. Apalagi sejak aku pindah sekolah ke Jerman."

Gue menghembuskan asap rokok sambil menahan badan di pagar balkon.

"Aku nggak nyangka kita bisa ketemu lagi."

Gue menatapnya lalu menghisap rokok gue lagi. "Kita mau bahas bisnis itu kan?"

Dia terkekeh. "Are you sure?"

Nggak sih.

Dia mendekat dan mencium dada gue di balik kaos. Detik berikutnya kepalanya mendongak. "Gimana kalau kita bahas ini dulu?"

Gue menjatuhkan puntung rokok gue yang masih panjang lalu menginjaknya. Membiarkan Jenar mengalungkan tangannya di leher gue.

"With my pleasure." Dan gue langsung  melumat bibirnya sambil membawa tubuhnya masuk ke dalam kamar.

Alive or Alone (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang