BAB - 58 - Gloryo

87 12 3
                                    

"Semuanya nggak ada artinya. Semuanya nggak ada artinya. Semuanya nggak ada artinya."

Gue membiarkan Kaluna dengan mantranya itu saat kami bangun di kasur yang sama tanpa pakaian. Mata gue menatap pintu kamar yang terbuka saat beberapa detik lalu dia keluar dari sana. Dan kini dia tengah di kamar mandi entah melakukan apa. Mungkin memikirkan kembali apa benar-benar semuanya memang tidak ada artinya buat dia.

Bangkit, gue memungut celana gue di lantai dan memakainya, bertepatan dengan keluarnya Kaluna dari kamar mandi dengan handuk melilit di tubuhnya. Dan gue ingin melepasnya begitu aja.

"Keluar sana, gue mau ganti baju!"

"Bahkan gue udah-"

Dia mendorong tubuh gue keluar lalu menutup pintu kamarnya di depan muka gue.

"Pertandingannya jam enam, kan?" Dia bertanya dari dalam kamar.

Gue belum membuka mulut saat dia sudah kembali bersuara. "Ya udah, ntar habis pulang kantor gue langsung ke sana."

"Nggak barengan sama gue?"

"Jam segitu mah macet, mau nyampe jam berapa kalau harus main jemput-jemputan dulu?"

"Nanti gue akan jemput Lo ke kantor." Putus gue tanpa menghiraukan ucapannya.

"Terus mobil gue?"

"Ntar minta Mang Cep yang jemput aja."

"Oh... Ya udah."

Tadinya gue pikir Kaluna akan memberi alasan lagi agar dia nggak perlu barengan sama gue. Tapi dia jelas udah terdengar tenang-tenang aja seolah mantra yang dia ucapin tadi berhasil bahwa apa yang lagi-lagi kami lakukan benar-benar tidak artinya.

Atau pura-pura tenang?

Cukup lama gue hanya diam di sofa di saat akhirnya dia keluar dari kamar dengan setelan kerjanya yang mendadak begitu seksi di mata gue.

"Gue pergi dulu," Dia melahap sepotong roti tawar polos dengan sebelah tangan yang sibuk menyusun isi tas.

Gue berdiri dan mendekatinya waktu sibuk masang sepatu. Bergerak untuk mengecup bibirnya singkat sebelum dia benar-benar pergi.

"Hati-hati."

Dia menatap gue sepersekian detik lalu hilang di balik pintu yang kemudian dia tutup.

Dan seperti yang gue katakan, gue akan menjemputnya ke kantor saat dia udah tampak siap dengan tasnya saat gue sampai di sana.

"Why do you look in the mirror so much?" Komentar gue waktu dia sibuk sama cermin  di mobil gue.

Dia nggak menoleh dan terus sibuk dengan dirinya sendiri. "Ya kenapa nggak? Kali aja maskara gue luntur."

Itu hanya berselang beberapa menit waktu dia kembali sibuk sama cermin dan membuat gue meliriknya lagi.

"Why do you do it every minute?"

"Lipstik gue keknya pucat banget deh."

Gue menghela nafas saat kembali fokus ke jalanan. Terus kenapa kalau pucet? Dia jelas keliatan baik-baik aja.

Dan tak lama setelah itu dia lagi-lagi melihat dirinya di pantulan cermin yang membuat gue nggak bisa untuk nggak berkomentar lagi.

"Stop looking in the mirror."

Maksud gue, kenapa dia harus terlihat lebih cantik saat akan di lihat banyak orang?

"Yiyiyiyiyiyi..." Dia meledek gue sambil memoles bedak ke mukanya. "Ngomel mulu Lo babi! Ya kenapa kalau gue ngaca mulu? Di sana rame ya! Emang Lo mau kalau gue malu-maluin karena dekil?"

Alive or Alone (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang