BAB - 9 - Kaluna

102 11 2
                                    

Weekend pertamaku setelah menjadi manager di kantor baru nyatanya cukup aku nantikan. Meski baru menjabat di posisi itu, tapi pekerjaan untukku sudah menunggu hingga membuatku tidak bisa sedikit santai seperti sebelumnya.

Dan begitu saja aku bangun pagi-pagi sekali, tidak seperti saat hari kerja yang rasa-rasanya susah sekali saat ingin membuka mata. Apa kalian juga begitu?

Dan sedari tadi, kerjaan ku hanya tiduran menonton variety show makan-makan Amerika. Ditemani junk food dan seblak yang sudah ku pesan online sejak tadi.

Hahhh...

Nyatanya menjadi mager adalah hal terbaik di dunia. Dan inilah yang sering aku lakukan di hari liburku. Bangun pagi tanpa mandi lalu bermalas-malasan sambil menonton dan tak hentinya mengunyah layaknya seekor kerbau. Aku suka bekerja, tapi di satu sisi aku juga sangat menikmati saat aku tidak melakukan apa-apa. Itulah kehidupan seimbang yang aku jalani agar selalu waras di dunia yang keras mengalahkan perutnya Ronaldo ini.

Ngomong-ngomong soal Ronaldo, aku begitu saja memilih untuk beralih menonton variety show pacarnya yang cukup aku idolakan itu. Wanita luar biasa yang sangat cocok bersanding dengan pesepak bola sekelas Ronaldo. Dia sangat produktif dengan melakukan banyak hal meski sudah memiliki beberapa orang anak. Belum lagi bentuk tubuh dan kebugarannya yang membuat banyak wanita iri itu. Dan semuanya jelas berbanding terbalik dengan apa yang kini aku lakukan.

Bahkan kini aku menahan untuk tidak buang air kecil karena terlalu seru dengan tontonan itu. Barulah saat benar-benar  tak kuat lagi aku  segera berlari menuju toilet. Kebiasaan yang ingin sekali  aku ubah tapi ternyata tidak semudah itu.

Selesai buang air kecil, mataku tanpa sengaja tertuju pada timbangan di bawah kabinet wastafel. Dan iseng berdiri di atasnya dengan harapan...

Kok naik dua kilo, sih?

Aku segera turun sambil melihat pantulan wajah di cermin wastafel. Meski pipiku terlihat biasa saja, tapi lemak di bawah daguku terlihat mengganggu.

Mood ku jelas sudah rusak begitu saja.

Apa-apaan ini?

Tapi, bodo amat lah ya. Mungkin mulai Senin nanti aku akan mengatur pola makan ku lagi. Makan makanan yang lebih sehat dan teratur. Meski kenyataannya 80% dari diriku tidak yakin dengan rencana itu.

Bel kemudian berbunyi bersamaan dengan aku yang keluar dari toilet. Itu Kafi, kemarin dia mengatakan jika dia akan berkunjung ke tempatku dan dia benar-benar datang bahkan dengan sebuah paper bag yang cukup besar.

"Hadiah pindahan lo." Katanya sambil mengulurkannya padaku.

"Diffuser?" Aku menatapnya lagi setelah mengintip ke dalam paper bag itu. "Cleo kan udah beliin juga... kenapa lo-"

"Yang punya Cleo taruh di sini, yang dari gue bisa buat di kamar lo." Potongnya lalu duduk di sofaku yang nyaman.

Senyumku sudah jelas mengembang karena benda bermerk itu. Kafi memang pandai memilih hadiah meski tidak terlalu kreatif. "Ini apa?"

"Coklat. Oleh-oleh dari nyokap. Kan baru pulang dari Belanda kemarin."

Senyumku sudah pasti lebih lebar saat segera membuka bungkusannya lalu melahapnya begitu saja.

"Makasih Kaf..."

"Belum mandi lo?"

"Nggak ada sejarah mandi pas weekend di kamus gue kecuali kalo keluar. Dan lo jelas mandi dulu sebelum ke sini, bagus lo ketemu gebetan lo, tapi ini lo cuma ketemu gue."

Dia kemudian menoleh sambil terkekeh kecil, "emang gue nggak boleh rapi ketemu lo?"

"Ya buat apa?" Aku sudah bergabung di sofa bersamanya. "Buang-buang waktu kalo mandi dulu sebelum ketemu gue mah. Nih gue masih bau iler."

"Kecium kok." Guraunya yang ku hadiahi dengan kekehan kecil

"Lo makan seblak lagi? Kenapa nggak makan makanan yang bener sih?" Seperti biasa, Kafi akan selalu berkomentar jika sudah melihat makanan berkuah itu.

"Lo pikir ini palsu? Seblak ngenyangin banget lho."

"Masalahnya lo selalu makan seblak pedes banget." Tatapan Kafi lurus pada mangkok seblak ku yang meninggalkan kuah merah menyala.

"Ya kalo nggak pedes nggak enak lah."

Kafi sudah kembali menatapku. "Lo nggak takut sakit kalo makan makanan begitu terus?"

"Kalo pun gue sakit, kan ada elo. Iya nggak?"

Kafi sudah kembali terkekeh. "Cleo nggak ke sini?"

"Anaknya lagi nggak enak badan." Aku melahap coklat berikutnya sambil melanjutkan. "Kalo Kohar nggak bales chat gue, setan."

"Ya dia pasti sama gebetannya lah, ngapain ngeladenin lo."

"Ya iya sih. Terus lo kenapa nggak sama gebetan lo juga?"

"Gebetan yang mana?" Tanyanya acuh sambil menganti tontonan di TV.

"Kek banyak aja gebetan lo! Segala pake nanya yang mana. Itu yang terakhir kali lo bilang."

"Udah enggak."

"Kenapa? Cantik begitu." Balasku lagi karena teringat bagaimana rupa wanita yang tengah melanjutkan sekolah masternya di perguruan ternama itu.

Kafi tidak langsung menjawab karena sibuk dengan remote control  di tangannya. "Lo pikir cantik doang, cukup?"

"Gue pikir cukup untuk kalian para lelaki ini?"

Dan Kafi tampak tidak mau membahasnya lagi karena dia tahu jika aku akan mendebatnya.  Dia malah beralih memilih sebuah film dokumenter dan membahasnya selagi menonton. Aku akan selalu tersenyum melihat sifat Kafi yang satu itu. Dia tidak terlalu suka untuk beradu argumen karena dia pernah mengatakan jika itu melelahkan.

Kami berakhir menonton film dokumenter itu tentunya dengan suara Kafi yang membahas apa yang dia pikir menarik. Tapi tidak saat selanjutnya kami menonton film romantis terkenal. Dia hanya diam di saat aku yang mulai bersuara.

"I can't believe God make's only one  Channing Tatum in this world and I have to marry some random guy." Komentarku saat melihat aktor itu berakting. Sebenarnya aku tidak mengidolakan pria itu karena jujur saja bukan tipeku, tapi entah kenapa aku suka melihatnya. Kalau kata Kohar mah dia mirip sama yang main bola tuh, siapa namanya? Yang mirip sama sherk itu lho.

"Oh, jadi sekarang lo udah mau nikah?" Tanya Kafi menyadari ucapan asalku.

"Nggak, gue masih nggak mau nikah. Ini cuma omongan doang."

"Oh..."

Weekend ku yang ditemani Kafi berlanjut saat kemudian dia membantu membereskan apartment. Pria itu cukup terusik dengan hal yang tidak tertata. Dan itu keuntungan besar untukku sebagai teman baiknya. Beberapa furniture kecil juga ada yang baru datang hari ini dan Kafi dengan senang hati merakitnya.

"Gini kali ya pasangan baru menikah dan punya rumah." Kataku saat Kafi duduk di lantai dengan nyaman bersama peralatan untuk merakit side table itu.

"Dan lo nggak pengen?"  Kafi mendongak untuk menatapku yang tengah berdiri tidak jauh darinya.

Pengen?

Apa?

Menikah?

"Nggak." Balasku lalu berbalik untuk melangkah santai ke dapur.

Alive or Alone (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang