BAB - 10 - Gloryo

132 16 0
                                    

Siang itu gue pamit pada Mami dan Papi sebelum berangkat pergi ke Pulau Seribu untuk acara penanaman terumbu karang. Tak lupa meraih potongan terakhir singkong rebus di atas meja hasil dari kebun Mami yang selalu enak.

"Hati-hati ya Ujang." Mami memeluk gue erat-erat.

Melepaskan pelukan kami kemudian, gue beralih pada Papi yang tengah sibuk belajar bermain skateboard di halaman belakang. Keringatnya tampak sudah membasahi kaos yang tengah dia kenakan.

"Pap, See you later. I'm in hurry. Bye!  "

Tangan Papi melambai dari kejauhan, "take care Mate!"

Gue segera ke depan karena sopir taksi online yang sebelumnya dipesankan oleh Mang Cep, sudah menunggu. Dan langsung sibuk dengan laptop di paha saat mobil sudah melaju. I have a meeting with some big fish from Kuala Lumpur. Dan kalau berjalan lancar, gue akan bermitra dengan si pengusaha ini untuk membuka restoran sate Maranggi di sana.

Perjalanan menuju Pulau Seribu yang gue pikir cukup memakan waktu nyatanya lebih cepat dari perkiraan. Pasalnya supir yang kini mengendarai mobil kemudian gue ketahui adalah orang Priuk saat kami mengobrol.

Acara menanam terumbu karang itu berjalan lancar seperti biasanya dan kemudian gue mengikuti beberapa acara salah satunya  bersama teman kami dari kepariwisataan. Kami membahas banyak hal hingga berakhir makan malam bersama.

Malam itu, gue kembali menyelam bersama dua orang teman untuk menghabiskan waktu karena gue pribadi tidak tahu mau melakukan apalagi. Beberapa orang juga sudah mulai beristirahat di kamar masing-masing di saat tenaga gue selalu berlebih untuk cepat-cepat melakukan hal yang sama.

Awal gue menyukai kegiatan menyelam karena Pulau Alor di NTT. Ada ikan duyung yang langka di sana di sekitar perairan Sika. Keberadaannya biasanya diketahui oleh pawang Dugong. Dan waktu itu gue beruntung sekali karena bisa langsung melihatnya berhubung kunjungan ke sana cukup dibatasi karena alasan pelestarian. Sejak saat itulah gue mendalami kegiatan menyelam karena nyatanya sangat menyenangkan.

Malam itu gue akhiri saat akhirnya mulai merasa lelah. Gue harus segera tidur karena sudah berjanji akan membantu Mami memanen ubi-ubi Cilembunya besok. Tapi nyatanya gue dan teman-teman penyelam lain malah terlibat obrolan seru hingga kami baru tidur jam tiga pagi dan empat jam setelahnya gue harus kembali pulang dalam keadaan masih sangat mengantuk. Pun saat tiba di rumah, gue kembali tidur dan baru terbangun saat hari sudah mulai sore.

Gue menuruni tangga dan  melangkah menuju kebun belakang setelah meraih sekaleng cola karena suara yang tak asing itu. Kaluna tampak dengan semangat membantu Mami memanen ubi-ubi dengan topi pantai milik Mami yang melekat di kepalanya.

"Tanamnya di Jakarta, tapi namanya tetap ubi Cilembu." Papi dengan bahasa Indonesianya yang khas duduk di sebelah gue dengan topi yang dia putar ke samping untuk menutupi sinar matahari. Pria tua itu sudah terlihat seperti anak gaul jaman delapan puluhan sekarang.

Gue terus menatap Kaluna yang tampak masih semangat sambil meneguk Coca-Cola di tangan gue. Berbeda sekali dengan dirinya yang gue kenal sangat malas bergerak.

"Kamu ingat nggak, dulu Kaluna jago manjat pohon mangga?" Papi tampak sangat kagum dengan hal itu saat kemudian gue terkekeh begitu mengingatnya.

"Bagaimana acaranya?" Papi menoleh singkat.

"Nice. But I'm bare tired now. Kawasan itu benar-benar udah parah terumbu karangnya Pap, dan beberapa minggu setelah ini rencananya kami akan ke sana lagi."

Papi mengangguk bersamaan dengan Kaluna dan Mami yang sudah mendekat dengan gerobak berisi ubi-ubi itu.

"Kandang monyet gue kotor tuh, nggak sekalian mau lo bersihin?"

Alive or Alone (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang