BAB - 18 - Gloryo

84 6 1
                                    

Sebelumnya gue udah empat kali ke Tibet. Pertama kali saat sebuah event para traveler meskipun gue bukan influencer di bidang itu. Tapi nyatanya gue mendapat kesempatan karena sebelumnya pernah bekerja sama dengan National Geograpic untuk sebuah projek yang mengekspos hutan Sumatra.

Tadinya gue ingin bisa melihat prosesi adat khususnya pemakaman langit yang terkenal itu. Pemakaman langit itu salah satu tradisi Tibet yang secara simpel nya gue kasih tahu adalah pemakaman jasad dengan cara di biarkan di makan oleh burung pemakan bangkai yang bernama Nazar Culture. Jadi itu adalah satu kepercayaan mereka agar bisa masuk surga.

Tapi jelas wisatawan atau orang asing sangat terlarang di prosesi itu karena diyakini bisa membawa energi negatif pada roh dari jasad yang di makamkan. Sebelumnya gue sudah mengenal salah satu anak dari tetua adat di sana. Kami cukup dekat karena dia juga berada di projek National Geograpic kala itu. Tiap ke Tibet gue juga pasti bertemu dengan dia. Dan gue mendapat kepercayaan untuk bisa mengikuti berbagai prosesi adat yang cukup sakral karena sudah dianggap sebagai kerabat. Pengalaman yang jelas tidak bisa di dapatkan oleh semua orang. Tapi ya begitu, tidak selalu ada orang meninggal dan dimakamkan dengan ritual pemakaman langit setiap saat. Jujur, gue selalu sangat penasaran dengan ritual satu itu sampai berkali-kali ke Tibet. Dan beruntungnya, anak tetua adat kenalan gue ini memberitahu jika ada alternatif lain. Ada beberapa situs pemakaman yang sama di daerah Qinghai yang terbuka untuk wisatawan.

Banyak aturan dan prosesi adat yang harus gue ikuti agar bisa menyaksikannya. Dan ya, gue akhirnya mendapatkan kesempatan itu setelah hampir sepuluh hari di Qinghai. Tadinya gue berpikir akan lebih lama di sana mengingat kematian bukanlah hal yang pasti. Tapi beruntungnya gue mendapatkan pengalaman itu. Gue benar-benar senang walaupun itu adalah pengalaman yang cukup mengerikan untuk gue pribadi. Lo banyangin aja ngeliat mayat di makan burung.

Dan kalau saja tidak ada acara bulanan dengan donatur shelter, mungkin gue akan masih di sana untuk sekali lagi menyaksikannya. Gue jelas harus menghormati para donatur-donatur ini karena sangat berarti untuk semua anjing di shelter. Begitulah, seluang luangnya waktu gue, tetap aja ada hal yang harus gue lakukan. Hidup memang tidak pernah bebas seratus persen. Tapi ya, gue akui jika gue sangat menikmati hidup yang gue miliki. Bisa ke mana-mana karena banyak waktu luang dan juga uang.

Gue juga nggak ngerti di mana awal saat gue menyukai traveling. Sejak kecil gue dan Ganesh emang sudah sering di bawa Papi dan Mami ke mana-mana. Apalagi karena privilage dari Papi yang seorang pilot penerbangan internasional. Tapi saat di mana gue hanya ingin travelling sendirian, gue nggak ingat. Pokoknya kenceng-kencengnya itu pas kuliah.

Ibarat gue seneng makan karena waktu kecil sering di kasih jamu buyung upik, mungkin semuanya berawal karena dari kecil gue emang udah sering di bawa jalan-jalan sama orang tua.

Di awal-awal kuliah tuh gue pengen banget ke sebuah negera karena menonton sebuah film dokumenter. Afrika. Iya, basic sekali teman-teman. Gue pergi dengan dua teman gue ke sana dan seperti apa yang gue lihat di film, Afrika emang segokil itu. Duit untuk ke sana waktu itu gue dapat dari Mami yang seharusnya digunain buat beli mobil pertama gue. Ya intinya habis deh itu duit karena penebangan ke sana juga cukup mahal belum lagi biaya hidup dan hal-hal yang gue lakukan di sana.

Udah tuh, Afrika. Eh si anjing ini mau lagi. Gue penasaran sama Machu Picchu di Peru karena cukup hype kala itu. Apalagi waktu gue baca tentang peradaban suku Inca. Pokoknya gue merasa harus ke sana deh sebelum gue mati. Tapi ya gitu, duitnya nggak ada. Mau minta Mami, gue gitu aja ngerasa nggak tahu diri. Udah duit buat bakal beli mobil di pake, eh malah minta lagi. Kan nggak tahu di untung.

Waktu itu gue dan beberapa teman pergi ke museum Fatahilah buat nongkrong karena salah satu teman kami sampingan menjadi tour guide di sana. Dan gitu aja, gue minta ikut jadi tour guide buat ngumpulin duit. Beruntung gue bisa bahasa inggris meski grammar gue sering di komen sama Ganesh. Awalnya gue cuma di museum itu, tapi kemudian salah satu teman game online gue dari Amerika ke Indo bersama keluarga besarnya dan minta di guide di Jakarta. Waktu itu sih duitnya lumayan ya, tapi di saat gue pikir-pikir lagi sekarang, gue merasa seharusnya gue dibayar lebih mahal dari itu. Babi.

Semua awalnya mungkin dari pekerjaan tour guide itu karena gue mengenal banyak orang dari berbagai negara. Dan itu menyenangkan buat gue. Terus berlanjut tuh sampe ke Bali sampe juga ke Italy. Ceritanya sehabis dari Machu Picchu itu, gue udah ngumpulin duit lagi untuk ke Italy. Judulnya, dadakan jadi tour guide di negri orang karena dompet gue kecopetan. Bermodal nekat dan berlagak sok tahu, gue ingat banget nge-guide lebih dari lima kelompok. Salah satunya itu gue pernah nge-guide orang asal Brazil di Venesia. Mereka nggak ada yang bisa bahasa inggris dan sebatas ngerti yes, no, smoking, i love you doang, anjing. Mereka cuma bisa bahasa Portugis. Mana HP gue ikut di tas yang kecopetan dan harus pake HP mereka buat bolak-balik translate lagi. Karena itu lah gue ke-trigger untuk bisa menguasai banyak bahasa. Gini-gini gue menguasai banyak bahasa.

Mau apa?

Mandarin?

Jangankan Mandarin, bahkan gue bisa bahasa kantonis. Nggak Sejago Mandarin sih, tapi lumayan lah. Gue masih bisa tuh kalo ketemu Andy Lau ngobrolin prospek peternakan lele yang ada di Sukabumi.

Portugis? Jepang?

Nyatanya gue menguasai beberapa bahasa wajib di era globalisasi itu.

Terakhir, gue punya sertifikasi bahasa isyarat yang juga bisa gue gunain untuk pekerjaan di bidang itu. Tapi nggak, gue mau menguasainya hanya untuk bisa berkomunikasi aja.

Karena mulai hobi traveling dan sibuk belajar bahasa baru, akhirnya gue jadi suka bolos sampai ambil cuti kuliah dan nggak pernah ngelanjutin lagi sampai sekarang.

Nggak apa-apa. Easy. Cuma tamat SMA tapi udah keliling dunia? Bisa jadi bahan buat sombong lagi tuh.

Gue juga pernah ditawarin salah satu teman dari teman gue yang seorang producer station TV untuk punya acara travelling sendiri. Tapi nggak gue ambil karena gue nggak suka di depan kamera. Cukup satu-satunya pengalaman gue dengan dokumenter National Geograpic itu.

Gue nggak bisa hitung udah ke negara dan kota mana aja gue di dunia ini karena saking banyaknya. Hampir dua belas tahun travelling mulu ya kalian pikir aja. Tapi gue tandain di tato peta dunia di punggung gue. Indonesia mah udah penuh titik merah, tanda pernah gue kunjungi. Kalau dunia sih masih satu per tiga lagi kayaknya. Gue belom pernah ke negara kutub-kutuban dan beberapa negara arab soalnya.

Biasanya gue nggak punya jadwal atau planning kalau mau traveling. Gue pergi ya pergi aja. Semaunya dan se mood nya. Tiba-tiba besok mau ke Shinjuku buat wisata malam, tiba-tiba ke Bali pengen di kepang terus di tato temporary, atau tiba-tiba minggu depannya ke thailand karena pen lihat orang buka tutup soda pake memew. Gue se random itu. Asal visanya aman.

Dan percaya deh, gue juga se lumayan banyak duit itu juga.

Sini, pangku dulu sama Om.

Alive or Alone (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang